Tuesday, March 24, 2015

Neraka



   Suatu hari, setelah bangun, sementara menghadirkan diri di hadapan Allah, sekonyong-konyong aku diliputi keputusasaan. Kegelapan pekat melingkupi jiwaku. Aku bergulat sekuat tenaga hingga tengah hari. Pada waktu siang, sungguh ketakutan yang mematikan mulai merayapiku; kekuatan jasmani mulai meninggalkanku. Bergegas aku masuk ke dalam bilikku, jatuh di atas kedua lutut di hadapan Salib dan mulai berseru-seru memohon belas kasih Tuhan. Namun, Yesus tak mendengarkan seruanku. Aku merasa kekuatan jasmaniku lenyap sama sekali. Aku terkapar di atas lantai, keputusaan menguasai segenap jiwaku. Aku menderita siksaan hebat yang tiada bedanya dengan siksaan neraka. (24)

   Suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, berselimutkan pasir dan bunga-bunga, penuh riang-ria, musik dan segala macam kesenangan. Orang berjalan menapakinya, menari-nari dan berpesta-pora. Mereka tiba di ujung jalan tanpa menyadarinya. Di ujung jalan terdapat suatu jurang yang sangat mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa jatuh secara membabi-buta ke dalamnya; sementara berjalan, mereka berjatuhan. Jumlah mereka sungguh amat banyak hingga mustahil menghitung mereka. Aku melihat jalan yang lain, atau tepatnya jalan setapak, sebab jalan itu sempit, onak duri dan bebatuan bertebaran di atasnya; orang-orang yang menapakinya bercucuran airmata, segala macam sengsara menimpa mereka. Sebagian terjatuh di atas bebatuan, tetapi segera bangkit dan terus maju. Di ujung jalan terdapat suatu taman yang indah mempesona penuh dengan berbagai macam sukacita, dan segenap jiwa-jiwa ini masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka. (153)

   Pada hari ini aku dibimbing oleh seorang malaikat ke jurang neraka. Suatu tempat siksa yang dahsyat; alangkah mencengangkan besarnya dan luasnya! Macam-macam siksa yang aku lihat: Siksa pertama yang merupakan neraka adalah perasaan kehilangan Tuhan; kedua adalah sesal batin yang tak kunjung henti; ketiga adalah kondisi jiwa yang tak akan pernah berubah; keempat adalah api yang akan membakar jiwa tanpa membinasakannya - sungguh suatu siksa yang amat mengerikan, bagaikan suatu kobaran api rohani murni, yang menyala-nyala karena murka Allah; siksa kelima adalah kegelapan terus-menerus dan bau busuk yang amat memuakkan, dan meskipun keadaan gelap, para iblis dan jiwa-jiwa terkutuk saling melihat satu sama lain dan semua yang jahat, baik yang lain maupun diri sendiri; siksa keenam adalah kehadiran iblis yang terus-menerus; siksa ketujuh adalah keputusasaan yang mengerikan, kebencian terhadap Tuhan, kata-kata umpatan, kutuk serta hujat. Siksa-siksa inilah yang diderita oleh mereka semua yang terkutuk secara bersama-sama, tetapi itu bukanlah akhir dari siksa. Ada siksa-siksa khusus yang diperuntukkan bagi jiwa-jiwa tertentu. Inilah siksa rasa. Tiap-tiap jiwa mengalami siksa dahsyat yang tak terlukiskan sehubungan dengan dosa yang dilakukannya. Ada gua-gua dan ruang-ruang penyiksaan di mana siksa yang satu berbeda dengan yang lainnya. Pastilah aku mati seketika begitu melihat siksa-siksa itu jika penyelenggaraan Ilahi tidak menopang aku. Biarlah para pendosa tahu bahwa ia akan disiksa untuk selama-lamanya dalam keabadian dengan cara ia berbuat dosa. Aku menuliskan ini atas perintah Tuhan, agar tak satu pun jiwa dapat mengelak dengan mengatakan bahwa tidak ada neraka, atau bahwa tak seorang pun pernah ke sana, sehingga tak seorang pun dapat mengatakan seperti apa neraka itu.  

   Aku, Suster Faustina, atas perintah Tuhan telah mengunjungi jurang-jurang neraka agar aku dapat menceritakan kepada jiwa-jiwa mengenainya dan menjadi saksi atas keberadaannya. Aku tak dapat berbicara mengenainya sekarang; tetapi aku telah menerima perintah dari Tuhan untuk meninggalkannya dalam bentuk tulisan. Setan penuh dengki terhadapku, tetapi mereka harus tunduk padaku atas perintah Tuhan. Apa yang aku tulis adalah sekedar suatu bayangan samar dari apa yang aku lihat. Tetapi aku memperhatikan satu hal: bahwa sebagian besar jiwa-jiwa di sana adalah mereka yang tidak percaya akan adanya neraka. Ketika aku kembali, aku nyaris tak dapat pulih dari ketakutanku. Betapa dahsyat jiwa-jiwa menderita sengsara di sana! Sebab itu, aku berdoa bahkan dengan terlebih khusuk demi pertobatan orang-orang berdosa. Aku tiada henti memohon belas kasihan Tuhan atas mereka. Ya Yesus-ku, lebih baiklah aku dalam sakrat maut hingga akhir dunia, di tengah penderitaan yang paling hebat, daripada menghinakan Engkau dengan dosa yang paling remeh sekalipun. (741)

  Yesus mengasihi jiwa-jiwa. Ia rindu menyelamatkan para pendosa yang menuju neraka. “[Desaklah] segenap jiwa-jiwa untuk mengandalkan jurang belas kasihan-Ku yang tak terhingga, sebab Aku rindu menyelamatkan mereka semua. Di salib, sumber belas kasih-Ku dibuka lebar-lebar dengan tombak bagi segenap jiwa - tak suatu jiwa pun Aku kecualikan!” (1182)

   Aku mengalami suatu siksaan jiwa yang hebat apabila aku melihat Tuhan dihinakan. Hari ini aku mengetahui bahwa dosa-dosa berat sedang dilakukan tak jauh dari pintu kami. Saat itu sore hari. … Tetapi, ketika aku berlutut untuk berdoa, Tuhan mengijinkanku untuk mengalami bagaimana suatu jiwa yang ditolak oleh Tuhan menderita. Tampak olehku bahwa hatiku terkoyak-koyak, dan pada saat yang sama aku mengerti betapa hebat suatu jiwa yang demikian melukai Hati Yesus yang Maharahim. Makhluk malang itu tak hendak menerima belas kasihan Tuhan. (1274)

   “Hilangnya setiap jiwa membenamkan-Ku ke dalam kesedihan yang hebat. Engkau senantiasa menghibur-Ku apabila engkau berdoa bagi orang-orang berdosa. Doa yang paling berkenan bagi-Ku adalah doa demi pertobatan orang-orang berdosa. Ketahuilah, Puteri-Ku, bahwa doa ini senantiasa didengarkan dan dijawab.” (1397)

   Ketika para suster bangun pada pukul sebelas malam untuk ibadat malam dan menyambut Tahun Baru, aku menggeliat kesakitan sejak senja tiba, dan hal ini berlangsung hingga tengah malam. Aku mempersatukan penderitaanku dengan doa-doa para suster yang beribadat malam di kapel dan melakukan silih kepada Tuhan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang berdosa. (1451) Ketika jam berdentang duabelas kali, jiwaku membenamkan diri terlebih lagi dalam permenungan, dan aku mendengar suatu suara dalam jiwaku, “Janganlah takut, anak kecil-Ku, engkau tidak sendirian. Bertempurlah dengan gagah berani, sebab lengan-Ku menopang engkau; bertempurlah demi keselamatan jiwa-jiwa, desaklah mereka untuk mengandalkan kerahiman-Ku, sebab itulah tugasmu dalam hidup ini dan dalam hidup yang akan datang.”Setelah kata-kata ini, aku mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam mengenai kerahiman ilahi. Hanya jiwa yang menghendaki [untuk dikutuk] akan dikutuk, sebab Tuhan tiada mengutuk siapapun. (1452)

   Wahai, betapa kerahiman Tuhan melampaui batas pengertian! Tetapi - sungguh mengerikan - ada juga jiwa-jiwa yang secara sukarela dan sadar menolak serta mencemooh rahmat ini! Meski suatu jiwa ada di ambang maut, belas kasihan Tuhan menganugerahkan kepada jiwa saat batin yang hidup, sehingga jika jiwa bersedia, jiwa memiliki kemungkinan untuk kembali kepada Tuhan. Tetapi terkadang, kebebalan jiwa begitu besar sehingga secara sadar mereka memilih neraka; mereka menyia-nyiakan segala doa yang dipanjatkan jiwa-jiwa lain kepada Tuhan bagi mereka dan bahkan menyia-nyiakan upaya Tuhan Sendiri. (1698)

Surga



   Suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu lebar, berselimutkan pasir dan bunga-bunga, penuh riang-ria, musik dan segala macam kesenangan. Orang berjalan menapakinya, menari-nari dan berpesta-pora. Mereka tiba di ujung jalan tanpa menyadarinya. Di ujung jalan terdapat suatu jurang yang sangat mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa jatuh secara membabi-buta ke dalamnya; sementara berjalan, mereka berjatuhan. Jumlah mereka sungguh amat banyak hingga mustahil menghitung mereka. Aku melihat jalan yang lain, atau tepatnya jalan setapak, sebab jalan itu sempit, onak duri dan bebatuan bertebaran di atasnya; orang-orang yang menapakinya bercucuran airmata, segala macam sengsara menimpa mereka. Sebagian terjatuh di atas bebatuan, tetapi segera bangkit dan terus maju. Di ujung jalan terdapat suatu taman yang indah mempesona penuh dengan berbagai macam sukacita, dan segenap jiwa-jiwa ini masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala penderitaan mereka. (153)

   Ketika aku di Kickers (1930) guna menggantikan salah seorang suster untuk jangka waktu yang singkat, suatu siang aku berjalan melintasi taman dan berhenti di tepi danau; lama aku berdiri di sana, menikmati sekelilingku. Sekonyong-konyong aku melihat Tuhan Yesus di dekatku, dengan lembut Ia berkata, “Semua ini Aku ciptakan untukmu, mempelai-Ku; ketahuilah bahwa segala keindahan ini tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah Aku persiapkan untukmu dalam keabadian.”Jiwaku diliputi penghiburan begitu rupa hingga aku tinggal di sana sampai sore hari, yang bagiku serasa sekejap saja. Hari itu adalah hari bebasku, yang disisihkan untuk retret satu hari, sehingga aku cukup bebas mempersembahkan diriku dalam doa. Oh, betapa Allah, yang kebaikan-Nya tak terhingga, melimpahi kita dengan kebajikan-kebajikan-Nya! Kerap kali terjadi bahwa Tuhan menganugerahiku karunia-karunia terbesar saat aku sama sekali tak mengharapkannya. (158)

   Setelah aku pergi ke refectory pada waktu membaca, seluruh keberadaanku mendapati dirinya tengelam dalam Tuhan. Secara batin, aku melihat Tuhan memandangi kami dengan sukacita yang besar, aku tinggal seorang diri dengan Bapa Surgawi. Pada saat itu, aku mendapatkan pemahaman yang terlebih mendalam akan Ketiga Pribadi Allah, kepada siapa sepatutnya kita mengkontemplasikan segala kekekalan dan, setelah berjuta-juta tahun, akan mendapati bahwa kita baru saja memulai kontemplasi kita. Oh, betapa luar biasa kerahiman ilahi, yang mengijinkan manusia untuk ikut ambil bagian dalam tingkat yang begitu tinggi dalam kebahagiaan ilahi-Nya! Pada saat yang sama, betapa hebat sakit hatiku terkoyak-koyak mendapati begitu banya jiwa telah menolak kebahagiaan ini. (1439)

   Februari 1938. Pada waktu meditasi, Tuhan memberiku pemahaman akan sukacita surgawi dan akan para kudus setibanya kita di sana; mereka mengasihi Tuhan sebagai satu-satunya tumpuan kasih mereka, namun demikian mereka juga memiliki kasih yang lembut dan tulus bagi kita. Dari wajah Allah sukacita ini memancar kepada semuanya, sebab kita melihat-Nya muka dengan muka. Wajah Allah begitu manis hingga jiwa jatuh kembali ke dalam ekstasi. (1592)

   Ketika pada waktu adorasi aku mengulang-ulang doa, “Allah yang Kudus” beberapa kali, suatu kehadiran Allah yang nyata sekonyong-konyong meliputiku, dan aku terperangkap dalam roh di hadapan keagungan Tuhan. Aku melihat bagaimana para malaikat dan para kudus memuliakan Tuhan. Kemuliaan Tuhan begitu dahsyat hingga aku tak berani untuk berusaha menggambarkannya, sebab aku tak akan mampu melakukannya, dan jiwa-jiwa akan berpikiran bahwa aku sudah menuliskan semuanya. St Paulus, aku mengerti sekarang mengapa engkau tak hendak menggambarkan surga, melainkan hanya mengatakan bahwa apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia…. Sekarang aku telah melihat dengan cara bagaimana aku memuliakan Allah; oh betapa suatu kemalangan! Dan betapa bagai setetes kecil air dibandingkan dengan kemuliaan surgawi yang sempurna. (1604)

Jiwa-jiwa di Api Penyucian




   (Esok malam) Aku melihat malaikat pelindungku yang memintaku untuk mengikutinya. Dalam sekejap aku berada di suatu tempat berkabut penuh api di mana terdapat suatu himpunan besar jiwa-jiwa menderita. Mereka berdoa dengan sungguh-sungguh bagi diri mereka sendiri, tetapi sia-sia belaka; hanya kita yang dapat menolong mereka. Kobaran api yang membakar mereka tak menyentuhku sama sekali. Malaikat pelindung tak sekejap pun meninggalkanku. Aku bertanya kepada jiwa-jiwa ini apakah penderitaan mereka yang paling hebat. Serempak mereka menjawab bahwa siksaan yang paling dahsyat adalah kerinduan akan Tuhan. Aku melihat Santa Perawan mengunjungi jiwa-jiwa di api penyucian. Jiwa-jiwa menyebutnya Kartika Samudera. Santa Perawan mendatangkan kelegaan bagi mereka. Aku ingin berbicara lebih lanjut kepada mereka, tetapi malaikat pelindung memberi isyarat kepadaku untuk segera pergi. Kami keluar dari kurungan sengsara. (Aku mendengar suara batin), “Belas kasih-Ku tak menghendaki ini, tetapi keadilan menuntutnya.” Sejak saat itu, aku memiliki hubungan yang lebih erat dengan jiwa-jiwa menderita. (20)

   Suatu hari, seorang suster yang telah meninggal dua bulan sebelumnya datang kepadaku. Ia adalah suster dari paduan suara pertama. Aku melihatnya dalam keadaan yang mengerikan, sepenuhnya dilahap api dan wajahnya rusak ngeri. Hal ini berlangsung hanya sekejap saja, lalu ia pun lenyap. Kegentaran hebat merayapi jiwaku sebab aku tidak tahu apakah ia ada di api penyucian atau di neraka. Walau demikian, aku melipatgandakan doa-doaku untuknya. Keesokan malam ia datang kembali; aku melihatnya dalam keadaan yang lebih mengerikan, di tengah-tengah api yang bahkan lebih berkobar-kobar, keputusasaan terpancar jelas di setiap guratan wajahnya. Aku terperanjat melihatnya dalam keadaan yang lebih buruk sesudah doa-doa yang aku panjatkan baginya, maka aku bertanya, “Tidakkah doa-doaku menolongmu?” Ia menjawab bahwa doa-doaku tak menolongnya dan bahwa tak suatu pun yang akan dapat menolongnya. Aku bertanya, “Dan doa-doa yang dipersembahkan seluruh komunitas bagimu; tidakkah doa-doa itu menolongmu sama sekali?” Ia mengatakan tidak; doa-doa itu telah menyelamatkan jiwa-jiwa lain. Jadi kataku, “Jika doa-doaku tidak menolongmu, Suster, tolong janganlah datang lagi kepadaku.” Ia pun lenyap seketika. Walau demikian, aku terus berdoa untuknya.

Selang beberapa waktu ia datang kembali kepadaku pada waktu malam, tetapi penampilannya telah berubah. Tak ada lagi api seperti sebelumnya; wajahnya bercahaya, matanya bersinar-sinar penuh sukacita. Ia mengatakan bahwa aku memiliki kasih sejati bagi sesama dan bahwa banyak jiwa-jiwa lain mendapatkan manfaat dari doa-doaku. Ia mendorongku untuk tak henti-hentinya berdoa bagi jiwa-jiwa di purgatorium; ia menambahkan bahwa ia sendiri tak akan lama lagi tinggal di sana. Betapa mencengangkannya keputusanmu, Tuhan! (58)

   Kala aku pergi ke kebun suatu siang, malaikat pelindungku mengatakan, “Berdoalah bagi mereka yang menghadapi ajal.”Maka, seketika itu juga aku mulai mendaraskan rosario bersama para pekerja kebun bagi mereka yang menghadapi ajal. Setelah rosario, kami mendaraskan berbagai macam doa bagi mereka yang di ambang maut. Selesai berdoa, murid-murid mulai berceloteh gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka timbulkan, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Berdoalah untukku!” Tetapi, karena tak dapat mengerti perkataan ini dengan baik, aku menjauh beberapa langkah dari para murid, sembari memikirkan siapakah gerangan yang kiranya memintaku untuk berdoa. Lalu, aku mendengar kata-kata ini, “Aku, Suster….” Suster ini berada di Warsawa sementara aku, pada saat itu, berada di Vilnius. “Berdoalah untukku hingga aku memintamu berhenti. Aku sedang menghadapi sakrat maut.” Segera aku mulai berdoa dengan khusuk untuknya, (menghadirkan diri) di hadapan Hati Yesus yang sedang meregang nyawa. Suster tak membiarkanku beristirahat, dan aku terus berdoa dari (pukul) tiga hingga lima sore. Pukul lima, aku mendengar kata-kata, “Terima kasih!” dan aku mengerti bahwa ia telah meninggal dunia. Tetapi, dalam Misa Kudus keesokan harinya, aku terus berdoa dengan khusuk bagi jiwanya. Siang hari, sebuah kartu pos datang mengabarkan bahwa Suster … telah meninggal dunia pada saat dan waktu itu. Aku tahu bahwa tepat pada waktu yang sama itulah ia mengatakan kepadaku “Berdoalah untukku.” (315)  

  Sore ini, salah seorang dari para biarawati yang telah meninggal dunia datang dan meminta padaku satu hari berpuasa dan mempersembahkan segala latihan [rohani]ku pada hari itu untuknya. Aku menjawab bahwa aku akan melakukannya. Sejak dini hari berikutnya, aku mempersembahkan semua untuk intensinya. Pada waktu Misa Kudus, aku mengalami secara singkat sengsaranya. Aku merasakan kerinduan yang begitu dahsyat akan Tuhan hingga tampaknya aku akan mati oleh kerinduan untuk bersatu dengan-Nya. Hal ini berlangsung beberapa saat saja, tetapi aku mengerti seperti apa kerinduan jiwa-jiwa di api penyucian itu. (1185-6)

Sakrat Maut dan Kematian




   Kala aku pergi ke kebun suatu siang, malaikat pelindungku mengatakan, “Berdoalah bagi mereka yang menghadapi ajal.”Maka, seketika itu juga aku mulai mendaraskan rosario bersama para pekerja kebun bagi mereka yang menghadapi ajal. Setelah rosario, kami mendaraskan berbagai macam doa bagi mereka yang di ambang maut. Selesai berdoa, murid-murid mulai berceloteh gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka timbulkan, aku mendengar kata-kata ini dalam jiwaku, “Berdoalah untukku!” Tetapi, karena tak dapat mengerti perkataan ini dengan baik, aku menjauh beberapa langkah dari para murid, sembari memikirkan siapakah gerangan yang kiranya memintaku untuk berdoa. Lalu, aku mendengar kata-kata ini, “Aku, Suster….” Suster ini berada di Warsawa sementara aku, pada saat itu, berada di Vilnius. “Berdoalah untukku hingga aku memintamu berhenti. Aku sedang menghadapi sakrat maut.” Segera aku mulai berdoa dengan khusuk untuknya, (menghadirkan diri) di hadapan Hati Yesus yang sedang meregang nyawa. Suster tak membiarkanku beristirahat, dan aku terus berdoa dari (pukul) tiga hingga lima sore. Pukul lima, aku mendengar kata-kata, “Terima kasih!” dan aku mengerti bahwa ia telah meninggal dunia. Tetapi, dalam Misa Kudus keesokan harinya, aku terus berdoa dengan khusuk bagi jiwanya. Siang hari, sebuah kartu pos datang mengabarkan bahwa Suster … telah meninggal dunia pada saat dan waktu itu. Aku tahu bahwa tepat pada waktu yang sama itulah ia mengatakan kepadaku “Berdoalah untukku.” (315)

   Dalam sebuah kamar private bersebelahan dengan kamarku, seorang perempuan Yahudi sedang sakit parah. Aku pergi menengoknya tiga hari yang lalu dan ia teramat sedih memikirkan bahwa ia akan segera meninggal dunia tanpa jiwanya dibasuh oleh rahmat Sakramen Baptis. … Aku merasa terinspirasi untuk berdoa di hadapan lukisan yang Yesus perintahkan padaku untuk dilukiskan. Aku berkata, “Tuhan, Engkau Sendiri mengatakan kepadaku bahwa Engkau akan menganugerahkan berlimpah rahmat melalui lukisan ini. Sebab itu, aku mohon kepada-Mu rahmat Pembaptisan Kudus bagi perempuan Yahudi ini.”

… Tibalah saatnya ketika perempuan yang sakit parah ini mulai tak sadarkan diri, dan demi menyelamatkannya, mereka … bergegas pergi … untuk mendapatkan pertolongan. Dan demikianlah si pasien dibiarkan seorang diri, dan Suster membaptisnya, dan sebelum mereka semua bergegas kembali, jiwanya telah indah, berhiaskan rahmat Allah. Sakrat mautnya segera dimulai, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Seolah ia tertidur. Sekonyong-konyong, aku melihat jiwanya naik ke surga dalam keindahan yang begitu mengagumkan. Oh, betapa eloknya jiwa yang dipenuhi rahmat pengudusan! Sukacita meliputi hatiku bahwa di hadapan lukisan ini aku telah menerima rahmat yang begitu luar biasa bagi jiwa ini. (916)   

   28 Januari 1938. Hari ini Tuhan berkata kepadaku, “Puteri-Ku, tuliskanlah kata-kata ini: Segenap jiwa yang akan memuliakan kerahiman-Ku dan menyebarluaskan devosi ini, mendorong yang lain untuk mengandalkan kerahiman-Ku, tidak akan mengalami teror di saat ajal. Kerahiman-Ku akan melindungi mereka dalam pertempuran terakhir itu.... (1540)  

   “Tuliskanlah bahwa apabila mereka mendaraskan koronka ini di hadapan seorang yang di ambang ajal, Aku akan berdiri di antara BapaKu dan dia, bukan sebagai Hakim yang adil, melainkan sebagai Juruselamat yang Penuh Belas Kasih.” (1541)  

   Ketika aku mampir ke dalam kapel, Tuhan mengatakan kepadaku, “Puteri-Ku, bantulah Aku untuk menyelamatkan seorang pendosa yang sedang menghadapi maut. Daraskanlah koronka yang Aku ajarkan kepadamu untuknya.” Ketika aku mulai mendaraskan koronka, aku melihat orang yang menghadapi ajal itu di tengah penderitaan dan pergulatan hebat. nya membela dia, tetapi ia seolah tanpa daya menghadapi dahsyatnya sengsara jiwa. Sekelompok besar roh-roh jahat sedang menanti jiwanya. Tetapi, sementara aku mendaraskan koronka, aku melihat Yesus sebagaimana Ia digambarkan dalam lukisan. Sinar-sinar yang memancar dari Hati Yesus melingkupi orang yang sakit itu, dan kuasa kegelapan melarikan diri dalam kepanikan. Si sakit menghembuskan napas terakhirnya dalam damai. Ketika aku kembali, aku mengerti betapa amat pentingnya koronka ini bagi mereka yang menghadapi ajal. Doa ini meredakan murka Tuhan. (1565)

   Aku kerap berkomunikasi dengan orang-orang yang menghadapi ajal dan memohonkan kerahiman ilahi bagi mereka. Oh, betapa luar biasa kebaikan Tuhan, jauh melampaui pengertian kita. Ada saat-saat dan ada misteri-misteri kerahiman ilahi di mana surga takjub terpana. Biarlah penghakiman kita atas jiwa-jiwa berhenti, sebab belas kasihan Tuhan atas mereka sungguh luar biasa. (1684)

   Aku sering mendampingi mereka yang menghadapi ajal dan melalui doa-doa memperolehkan bagi mereka kepercayaan akan belas kasihan Tuhan, dan aku memohon kepada Tuhan rahmat ilahi yang berlimpah, yang senantiasa mendatangkan kemenangan. Terkadang belas kasihan Tuhan menyentuh pendosa di saat-saat terakhir dalam suatu cara yang menakjubkan dan misterius. Dari luar, tampaknya seolah segalanya sia-sia tiada guna, namun tidak demikian adanya. Jiwa, dengan diterangi seberkas sinar terakhir rahmat Tuhan yang penuh daya kuasa, berpaling kepada Tuhan pada saat-saat terakhir dengan suatu kekuatan cinta begitu rupa hingga, dalam sekejap, jiwa menerima dari Tuhan pengampunan atas dosa dan penghukuman, sementara dari luar jiwa tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda, baik pertobatan maupun penyesalan, sebab jiwa-jiwa [pada tahap itu] tak lagi bereaksi terhadap hal-hal luar. Wahai, betapa kerahiman Tuhan melampaui batas pengertian! Tetapi - sungguh mengerikan - ada juga jiwa-jiwa yang secara sukarela dan sadar menolak serta mencemooh rahmat ini! Meski suatu jiwa ada di ambang maut, belas kasihan Tuhan menganugerahkan kepada jiwa saat batin yang hidup, sehingga jika jiwa bersedia, jiwa memiliki kemungkinan untuk kembali kepada Tuhan. Tetapi terkadang, kebebalan jiwa begitu besar sehingga secara sadar mereka memilih neraka; mereka menyia-nyiakan segala doa yang dipanjatkan jiwa-jiwa lain kepada Tuhan bagi mereka dan bahkan menyia-nyiakan upaya Tuhan Sendiri. (1698)

   “Berdoalah sebanyak mungkin bagi mereka yang di ambang ajal. Dengan doa-doamu, perolehkanlah bagi mereka kepercayaan akan kerahiman-Ku, sebab yang paling mereka butuhkan adalah kepercayaan, dan itulah yang paling sedikit mereka miliki. Yakinlah bahwa rahmat keselamatan kekal bagi jiwa-jiwa tertentu pada saat-saat terakhir mereka tergantung pada doa-doamu. Engkau tahu kedalaman jurang belas kasihan-Ku, sebab itu timbalah dari sana bagi dirimu sendiri dan teristimewa bagi para pendosa yang malang. Lebih cepat langit dan bumi lenyap daripada belas kasih-Ku menolak mendekap jiwa yang percaya.” (1777)   

   Hari ini Tuhan datang kepadaku dan mengatakan, “Puteri-Ku, bantulah Aku untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Engkau akan pergi kepada seorang pendosa yang sedang menghadapi maut, dan engkau akan terus mendaraskan koronka, dan dengan cara ini engkau akan memperolehkan baginya kepercayaan akan kerahiman-Ku, sebab ia telah berputus asa.” Sekonyong-konyong, aku mendapati diriku sendiri dalam sebuah pondok yang asing di mana seorang tua sedang mengalami sakrat maut di tengah pencobaan hebat. Sekeliling tempat pembaringan aku melihat sekelompok besar roh-roh jahat dan kaum keluarga yang menangis. Ketika aku mulai berdoa, roh-roh kegelapan melarikan diri dengan makian dan ancaman yang ditujukan kepadaku. Jiwa orang tua itu menjadi tenang dan, dipenuhi kepercayaan, beristirahat dalam Tuhan. Pada saat yang sama, aku mendapati diriku sendiri lagi di kamarku sendiri. Bagaimana ini terjadi ... aku sungguh tidak tahu. (1798)

Setan, Roh-roh Jahat dan Karya Mereka



  

 Oh, betapa banyak Aku menderita karena ketidakpercayaan suatu jiwa! Jiwa yang demikian mengaku bahwa Aku Kudus dan Adil, namun tidak percaya bahwa Aku penuh Belas Kasih dan tidak percaya akan Kebajikan-Ku. Bahkan para setan memuliakan Keadilan-Ku, tetapi tidak percaya akan Kebajikan-Ku. (300)

   Setelah adorasi, tengah perjalanan kembali ke bilikku, aku dikepung oleh sekawanan anjing-anjing hitam raksasa yang melonjak-lonjak dan menyalak ribut, berusaha mencabik-cabikku. Aku tahu bahwa mereka bukan anjing, melainkan setan. Satu di antaranya berbicara penuh murka, “Karena engkau telah merenggut begitu banyak jiwa-jiwa dari kami malam ini, maka kami akan mencabik-cabikmu hingga berkeping-keping.” Aku menjawab, “Jika itu adalah kehendak Allah yang Maharahim, perbuatlah yang kalian kehendaki, aku memang pantas menerimanya, sebab aku adalah yang paling malang dari segenap pendosa, sementara Tuhan senantiasa Kudus, adil dan belas kasih-Nya tak terhingga.” Sebagai tanggapan atas kata-kata ini, para iblis serentak menjawab, “Marilah kita lari, sebab ia tidak sendirian; Yang Mahakuasa bersamanya!” Dan mereka lenyap bagaikan debu, bagaikan deru jalanan, sementara aku meneruskan langkahku ke bilik tanpa suatu gangguan, sembari melanjutkan Te Deum dan merenungkan belas kasih Allah yang tak terhingga dan tak terselami. (320)

   Aku mempersatukan penderitaanku dengan penderitaan Yesus serta mempersembahkannya demi diriku sendiri dan demi pertobatan jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebajikan Tuhan. Sekonyong-konyong, bilikku dipenuhi sosok-sosok hitam yang penuh angkara murka dan dengki kepadaku. Satu dari antara mereka berkata, “Terkutuklah engkau dan Ia yang ada dalam engkau, sebab engkau mulai menyiksa kami bahkan di neraka.” Segera setelah aku mengatakan, “Dan Sabda sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” sosok-sosok ini lenyap secepat kilat dalam deru. (323)

   “Bilamana suatu jiwa memuliakan kebajikan-Ku, setan gemetar di hadapannya dan melarikan diri hingga ke dasar neraka yang paling dalam.” (378)

   Setan bahkan dapat menyelubungi diri dengan mantol kerendahan hati, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengenakan mantol ketaatan, dan dengan demikian rancangannya yang jahat akan tersingkap. (939)

   Dalam satu kesempatan, aku melihat setan tergopoh-gopoh mencari seseorang di antara para suster, namun tak berhasil mendapatkannya. Aku merasakan suatu inspirasi batin untuk memerintahkannya, dalam Nama Tuhan, agar ia mengaku kepadaku apa yang sedang dicari-carinya di antara para suster. Dan ia mengaku, walau dengan enggan, “Aku mencari jiwa-jiwa yang malas.” Ketika aku memerintahkan kepadanya lagi dalam Nama Tuhan untuk mengatakan jiwa-jiwa bagaimana dalam hidup religius yang paling mudah didapatkannya, lagi, dengan enggan ia menjawab, “Jiwa-jiwa yang malas dan menganggur.” …. Kiranya jiwa-jiwa yang berlelah payah dengan giat bersukacita. (1127)

   Setan mengaku kepadaku bahwa aku adalah obyek kedengkiannya. Ia mengatakan bahwa “seribu jiwa-jiwa bahkan tidak menyakitiku seperti yang engkau lakukan apabila engkau berbicara tentang belas kasih Allah yang Mahakuasa. Pendosa-pendosa besar mendapatkan kembali keyakinan mereka dan kembali kepada Tuhan, sementara aku kehilangan segalanya. Tetapi, terlebih lagi, engkau menganiayaku secara pribadi dengan belas kasih Allah yang Mahakuasa, yang tak terselami itu.” Aku melihat betapa setan dengki atas kerahiman Allah. Ia tak mau mengakui bahwa Allah itu baik. (1167)

   Sementara aku menuliskan kata-kata ini, aku mendengar setan berteriak-teriak, “Ia menuliskan segalanya, ia menuliskan segalanya, dan karena itulah kita kehilangan begitu banyak! Janganlah kau tulis mengenai kebajikan Allah; Ia adil!” Dan dengan melolong-lolong penuh angkara murka, ia pun lenyap. (1338)      

   Aku melihat seorang imam tertentu yang amat dikasihi Tuhan, tetapi yang amat dibenci setan, sebab ia menghantar banyak jiwa-jiwa ke tingkat kekudusan yang tinggi dan memperuntukkan segalanya hanya demi kemuliaan Allah. Aku tak kunjung henti memohon kepada Tuhan agar kesabaran imam dalam menghadapi mereka yang terus-menerus menentangnya, janganlah habis. Di mana setan tak dapat melakukannya sendiri, ia memperalat manusia. (1384)

   Ketika aku sedang naik ke lantai atas sore ini, sekonyong-konyong suatu perasaan tidak suka yang aneh akan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan meliputiku. Saat itu, aku mendengar setan yang berkata kepadaku, “Jangan lagi pikirkan karya ini. Tuhan tidak berbelas kasih sebanyak yang engkau katakan. Tak perlu berdoa bagi para pendosa, sebab mereka toh akan binasa, lagipula dengan karya belas kasih ini engkau membahayakan dirimu sendiri ke kebinasaan….” suara itu mengambil rupa sebagai ku; seketika itu juga aku menjawab, “Aku tahu siapa engkau: bapa segala dusta.” Aku membuat tanda salib, dan malaikat pun lenyap dengan keributan dan kemarahan yang besar. (1405)

   Mengambil rupa dalam suatu penampakan, ia berkata, “Janganlah berdoa bagi para pendosa, melainkan berdoalah bagi dirimu sendiri, sebab engkau akan binasa.” Tanpa menghiraukan setan, aku terus berdoa dengan melipatgandakan kekhusukanku demi para pendosa. Roh jahat melolong penuh amarah, “Oh, andai saja aku memiliki kuasa atasmu!” dan ia pun lenyap. Aku melihat bahwa penderitaanku dan doaku membelenggu setan dan merebut banyak jiwa-jiwa dari cengkeramannya. (1465)

   Ketika aku pergi, dalam pikiran, ke kapel, rohku tenggelam bahkan dalam kegelapan yang terlebih lagi. Keputusasaan sama sekali menguasaiku. Lalu aku mendengar suara setan, “Lihatlah betapa segala sesuatu yang Yesus berikan kepadamu adalah kebalikannya: Ia menyuruhmu untuk mendapatkan sebuah biara, dan lalu Ia memberimu penyakit; Ia menyuruhmu untuk mengusahakan agar ditetapkannya Pesta Kerahiman Ilahi ini, padahal seluruh dunia tak menghendaki pesta yang demikian. Mengapakah engkau berdoa demi perayaan ini? Sungguh sial.” Jiwaku tetap diam dan, dengan dorongan kehendak, terus berdoa tanpa masuk ke dalam percakapan dengan Roh Kegelapan. Walau demikian, suatu perasaan muak yang luar biasa terhadap hidup menguasaiku hingga aku harus berjuang sekuat tenaga dengan dorongan kehendak untuk terus bertahan hidup…. Dan lagi, aku mendengar kata-kata si penggoda… dengan dorongan kehendak, aku mulai berdoa, atau tepatnya, berserah diri kepada Tuhan, mohon secara batin kepada-Nya untuk tidak meninggalkanku pada saat ini. Sudah pukul sebelas malam; sekeliling sunyi sepi. Para suster telah terlelap dalam bilik-bilik mereka; hanya jiwaku sendiri yang tengah bergulat hebat. Si penggoda melanjutkan, “Mengapakah engkau merisaukan jiwa-jiwa lain? Engkau hanya perlu berdoa bagi dirimu sendiri saja. Sementara para pendosa, mereka akan bertobat tanpa perlu doa-doamu. Aku lihat bahwa engkau sangat menderita saat ini. Akan kuberikan kepadamu sedikit nasehat di mana kebahagiaanmu terletak: jangan pernah lagi berbicara tentang belas kasih Allah, sebab mereka layak menerima hukuman yang adil….” Pada akhirnya, si penggoda pun pergilah dan aku, oleh sebab kecapaian, segera saja tertidur pulas. (1498)

(Keesokan paginya) “Setan menggodamu, tetapi ia pergi dengan tangan kosong, sebab engkau tidak masuk dalam percakapan dengannya. Teruslah bertindak demikian. Engkau memberikan kemuliaan besar bagi-Ku dengan bergulat dengan begitu setia. Biarlah kiranya hal ini dicamkan serta diukirkan dalam hatimu, bahwa Aku senantiasa bersamamu, bahkan jika engkau tidak merasakan kehadiran-Ku pada saat pertempuran.” (1499)

   Sementara aku menuliskan ini, aku mendengar setan menggertakkan gigi. Ia tak dapat tahan akan kerahiman Allah; terus-menerus ia memukul-mukul barang-barang dalam bilikku. Walau demikian, aku merasa kuasa dahsyat Allah melingkupiku hingga bahkan aku tak merasa terganggu bahwa musuh keselamatan kita marah besar, dan dengan tenang aku terus menulis. (1583)

   “Janganlah engkau begitu khawatir mengenai masa-masa sulit. Dunia tidak sekuat seperti tampaknya; kekuatannya amat terbatas. Ketahuilah, puteri-Ku, jika jiwamu penuh dengan api kasih murni-Ku, maka segala kesulitan akan menyingkir bagaikan kabut terhalau berkas-berkas matahari dan tak berani menyentuh jiwa. Segala kesulitan dan kesukaran takut memulai pertempuran dengan jiwa yang demikian, sebab mereka tahu bahwa jiwa lebih kuat daripada seluruh dunia….”(1643)   

   Karya ini [Kerahiman Ilahi] akan merenggut sejumlah besar jiwa-jiwa [dari setan], sebab itulah mengapa roh kegelapan terkadang mencobai orang-orang baik dengan begitu hebat, yaitu agar karya mereka terhalang. Tetapi, aku melihat dengan jelas bahwa kehendak Allah sudah mulai dilaksanakan, dan akan dituntaskan hingga ke detail-detailnya yang terakhir…. Tak jadi soal jika terkadang ada saat-saat di mana karya tampaknya sama sekali gagal; pada waktu itulah karya semakin diperteguh. (1659)

   Pencobaan hebat…. Kala aku mulai mempersiapkan diri untuk Sakramen Tobat, pencobaan-pencobaan hebat melawan bapa pengakuan menyerangku. Aku tak melihat setan, tetapi aku dapat merasakan angkara murkanya yang ganas. “Ya, dia hanyalah seorang manusia biasa.” - “Tidak, bukan manusia biasa, sebab ia memiliki kuasa Allah.” (1715)

   Satu dari antara roh-roh yang paling elok tak hendak mengakui kerahiman-Mu, dan dibutakan oleh kesombongan, ia membujuk yang lain untuk berpihak padanya. Malaikat yang elok indah, ia menjadi setan dan dicampakkan dalam sekejap dari ketinggian surga ke kedalaman neraka. (1742)

   Keesokan harinya, aku menyadari dengan jelas kata-kata berikut, “Kau lihat, Tuhan begitu kudus, sementara engkau penuh dosa. Janganlah menghampiri-Nya dan mengaku dosa setiap hari.” Dan sungguh, apapun yang aku pikir tampak bagiku sebagai dosa … ketika hari pengakuan dosa tiba, aku mempersiapkan diri sepanjang misa untuk dosa-dosa yang aku dakwakan atas diriku sendiri. Namun demikian, dalam kamar pengakuan Tuhan memperkenankanku mempersalahkan diri hanya atas dua kelemahan saja, kendati segala daya upayaku untuk mengaku dosa sesuai yang telah aku persiapkan. Kala aku meninggalkan kamar pengakuan, Tuhan mengatakan padaku, “Puteri-Ku, segala dosa yang engkau rencanakan untuk akui bukanlah dosa di mata-Ku; sebab itulah Aku melenyapkan kemampuanmu untuk mengatakannya.” Aku mengerti bahwa setan, sebab hendak mengganggu damaiku, telah menanamkan perasaan bersalah yang berlebih-lebihan dalam benakku. (1802)