Saturday, December 20, 2014

Paus Yohanes Paulus II: Paus Kerahiman




“Ketika aku berdoa untuk tanah airku, Polandia, aku mendengar Yesus bersabda,
'Dari Polandia akan muncul `anak api' yang akan mempersiapkan dunia untuk kedatangan-Ku yang terakhir.'”

~ St Faustina Kowalska, Buku Catatan Harian VI, 93
Dan sungguh terjadi; dialah Karol Wojtyla, yang menjadi Paus Yohanes Paulus II

Pada tanggal 6 Maret 1959 Paus Yohanes XXIII memaklumkan dilarangnya penyebarluasan Devosi Kerahiman Ilahi dalam bentuk seperti yang diajarkan dalam tulisan-tulisan Sr Faustina. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 1965, Kardinal Karol Wojtyla selaku Uskup Agung Krakow, dalam upayanya mendukung Devosi Kerahiman Ilahi, membuka Proses Informatif, yaitu proses di mana dilakukan penelitian resmi atas hidup, keutamaan-keutamaan, tulisan maupun devosi yang diajarkan Sr Faustina Kowalska. Proses Informatif berhasil dengan gemilang hingga menghantar dibukanya Proses Beatifikasi Sr Faustina pada tanggal 31 Januari 1968.

Berkat perjuangan gigih Kardinal Karol Wojtyla, akhirnya pada tanggal 15 April 1978, Paus Paulus VI memaklumkan diterbitkannya “Notifikasi” yang menyatakan bahwa larangan yang dibuat pada tahun 1959 “tidak berlaku lagi”. Terima kasih Kardinal Karol Wojtyla! Enam bulan berselang, 16 Oktober 1978, kardinal dari Polandia ini diangkat sebagai Paus yang ke-264 dengan nama Yohanes Paulus II.   

Sebagai Imam Agung di Roma, bukan saja Paus Yohanes Paulus II menggiatkan disebarluaskannya Devosi Kerahiman Ilahi, lebih lagi, dipengaruhi oleh Buku Catatan Harian St Faustina Kowalska, beliau menerbitkan ensiklik yang sangat indah, Dives In Misericordia (Kaya dalam Kerahiman), yang sepenuhnya bertutur mengenai Kerahiman Ilahi. Dalam ensiklik tertanggal 30 November 1980 ini, Sri Paus berbicara mengenai Kristus sebagai “inkarnasi kerahiman … sumber belas kasih yang tak habis-habisnya.” Lebih jauh ia menekankan bahwa “Program mesianik Kristus, program belas kasih” haruslah menjadi “program umat-Nya, program Gereja.” Sepanjang ensiklik, Bapa Suci menegaskan bahwa Gereja - teristimewa dalam masa modern sekarang ini - mengemban “tugas dan kewajiban” untuk “memaklumkan dan mewartakan belas kasih Allah,” untuk “memperkenalkan dan mewujud-nyatakannya” dalam hidup segenap umat manusia, serta untuk “datang kepada belas kasih Allah,” memohonkannya dengan sangat bagi seluruh dunia.

Pada tanggal 22 November 1981, setahun setelah diterbitkannya Dives in Misericordia, Paus mengunjungi tempat ziarah Cinta yang Berbelas Kasih di Collevalenza, Italia, dalam perjalanan ziarah pertama di luar Roma setelah percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Di sana Sri Paus menegaskan, “Sejak awal mula pelayanan saya di Tahta St Petrus di Roma, saya menganggap pesan ini [Kerahiman Ilahi] sebagai tugas istimewa saya. Penyelenggaraan ilahi telah mempercayakannya kepada saya dalam situasi manusia, Gereja dan dunia sekarang ini.”

Dalam audiensi umum pada tanggal 10 April 1991, Bapa Suci mengatakan “Pesan ensiklik mengenai Kerahiman Ilahi `Dives In Misericordia' secara istimewa dekat pada kita. Mengingatkan kita akan sosok Abdi Allah, Sr Faustina Kowalska. Biarawati yang bersahaja ini secara istimewa mendekatkan pesan Paskah dari Kristus yang Maharahim kepada Polandia dan kepada seluruh dunia.”

Pada tahun 1993, pada hari Minggu Kerahiman Ilahi yang jatuh pada tanggal 18 April, Paus Yohanes Paulus II memaklumkan Sr Faustina Kowalska, biarawati sederhana dari Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih, sebagai beata. Tujuh tahun kemudian, juga pada hari Minggu Kerahiman Ilahi, pada tanggal 30 April 2000, Bapa Suci mengangkat Beata Faustina, yang disebutnya sebagai “Rasul Besar Kerahiman Ilahi di jaman kita”, ke dalam himpunan para kudus Gereja. Semuanya itu, baik beatifikasi maupun kanonisasi St Faustina Kowalska, dilakukan sri paus di Roma, bukan di Polandia, guna menggarisbawahi bahwa Kerahiman Ilahi diperuntukkan bagi seluruh dunia.

Dalam kanonisasi St Faustina, Paus secara resmi pula memaklumkan bahwa hari Minggu pertama sesudah Paskah wajib dirayakan Gereja semesta sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Pentingnya hari Minggu Kerahiman Ilahi ini ditandai juga dengan dikeluarkannya dekrit pada tanggal 13 Juni 2002 mengenai indulgensi yang diberikan Gereja, baik indulgensi penuh maupun sebagian, kepada mereka yang mempraktekkan Devosi Kerahiman Ilahi dengan syarat-syarat seperti yang ditetapkan.

Lebih jauh, pada tanggal 17 August 2002, Sri Paus bahkan mempersembahkan seluruh dunia kepada Kerahiman Ilahi saat beliau memberkati tempat ziarah internasional Kerahiman Ilahi di Lagiewniki, Polandia:

“`Bapa yang kekal, kupersembahkan kepada-Mu Tubuh dan Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an PutraMu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, sebagai pemulihan dosa-dosa kami dan dosa seluruh dunia; demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia' (Buku Catatan Harian, 476). Kepada kami dan seluruh dunia…. Betapa dunia sekarang ini membutuhkan Kerahiman Ilahi! Di setiap benua, dari penderitaan manusia yang terdalam, terdengar seruan mohon belas kasih Allah. Di mana kebencian dan hasrat dendam berkuasa, di mana perang mengakibatkan sengsara dan kematian orang-orang tak berdosa, di sana rahmat belas kasih dibutuhkan demi menenangkan hati dan pikiran manusia serta mendatangkan damai. Di mana tidak ada lagi rasa hormat terhadap harkat dan martabat manusia, di sana cinta Allah yang berbelas kasih dibutuhkan; dalam terang-Nya kita melihat nilai tak terkatakan dari setiap pribadi manusia. Belas kasih dibutuhkan guna menjamin bahwa setiap ketidakadilan di dunia akan berakhir dalam terang kebenaran.

Oleh karenanya, pada hari ini, dari tempat ziarah ini, dengan khidmad saya mempersembahkan dunia kepada Kerahiman Ilahi. Saya melakukannya dengan keinginan yang berkobar agar pesan cinta Allah yang berbelas kasih, yang diwartakan di sini melalui Santa Faustina, dikenal oleh segenap umat manusia di dunia dan memenuhi hati mereka dengan pengharapan. Kiranya pesan ini memancar dari tempat ini ke tanah air kita yang tercinta dan ke segenap penjuru dunia. Kiranya janji Tuhan Yesus digenapi: dari sini haruslah memancar `anak api yang akan mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya yang terakhir' (bdk Buku Catatan Harian, 1732).

Anak api ini perlu dinyalakan oleh rahmat Tuhan. Api belas kasih ini perlu disampaikan ke seluruh dunia. Dalam belas kasih Allah dunia akan menemukan damai dan umat manusia akan menemukan kebahagiaan! Saya mempercayakan tugas ini kepada kalian, Saudara dan Saudari terkasih, kepada Gereja di Krakow dan di Polandia, dan kepada segenap pencinta Kerahiman Ilahi yang datang ke tempat ini dari Polandia dan dari seluruh dunia. Kiranya kalian menjadi saksi-saksi belas kasih Allah!”

Sepanjang 26 tahun masa pontifikat beliau, tak kunjung henti Bapa Suci Yohanes Paulus II menerangkan Kerahiman Ilahi kepada umat beriman, pula menyerukan pentingnya serta mendesaknya pesan Kerahiman Ilahi bagi segenap umat manusia, sebab itulah ia kemudian dikenal sebagai “Paus Kerahiman”.

`Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu…. Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:21-23).

Sebelum menyampaikan kata-kata ini, Yesus memperlihatkan kedua tangan dan lambung-Nya. Ia menunjuk pada luka-luka Sengsara, teristimewa luka yang menembusi Hati-Nya, sumber darimana memancar aliran deras belas kasih yang dicurahkan atas umat manusia. Dari Hati itu, Sr Faustina Kowalska, beata yang sejak saat ini akan kita sebut sebagai santa, melihat dua berkas sinar yang memancar dari Hati-Nya dan menyinari dunia: `Kedua sinar itu,' jelas Yesus Sendiri kepadanya suatu hari, `melambangkan darah dan air' (Buku Catatan Harian, Libreria Editrice Vaticana, h. 132).

Darah dan Air! Pikiran kita segera melayang pada kesaksian yang diberikan Yohanes Pengarang Injil, yang, ketika seorang prajurit di Kalvari menikam lambung Kristus dengan tombak, melihat darah dan air memancar darinya (bdk 19:34). Di samping itu, jika Darah mengingatkan kita akan Kurban Salib dan anugerah Ekaristi, maka Air, dalam simbolisme Yohanes, melambangkan bukan saja Pembaptisan, melainkan juga karunia Roh Kudus (bdk Yoh  3:5; 4:14; 7:37-39).

Kerahiman Ilahi tercurah atas umat manusia melalui hati Kristus yang tersalib: “Puteri-Ku, katakanlah bahwa Aku adalah inkarnasi cinta dan belas kasih,” demikian pinta Yesus kepada Sr Faustina (Buku Catatan Harian, h. 374).” ~ Paus Yohanes Paulus II, 30 April 2000

“Tak ada yang lebih dibutuhkan manusia selain daripada Kerahiman Ilahi - cinta yang berlimpah belas kasih, yang penuh kasih sayang, yang mengangkat manusia di atas segala kelemahannya ke ketinggian yang tak terhingga dari kekudusan Allah.” ~ Paus Yohanes Paulus II, 7 Juni 1997

“Di mana, jika tidak dalam Kerahiman Ilahi, dunia dapat menemukan tempat pengungsian dan terang pengharapan? Umat beriman, pahamilah kata-kata itu dengan baik.” ~ Paus Yohanes Paulus II, 21 April 1993

“Jadilah rasul-rasul Kerahiman Ilahi di bawah bimbingan keibuan penuh kasih sayang dari Santa Perawan Maria” ~ Paus Yohanes Paulus II, 22 Juni 1993

Melihat begitu kuat keterikatannya pada Kerahiman Ilahi, adakah kita heran bahwa menjelang akhir hayatnya, kala tubuhnya mulai rapuh dan gemetar dimakan usia serta didera penyakit, kala banyak pihak menuntut pengunduran diri beliau, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali penyerahan dirinya, “Totus Tuus,” katanya, “Apakah Yesus pada saat-saat akhir penderitaan-Nya turun dari salib?” (bdk Buku Catatan Harian, 1484). Apakah kebetulan belaka bahwa Bapa Suci wafat pada malam vigili Minggu Kerahiman Ilahi, yang pada tahun itu jatuh pada tanggal 3 April 2005? Apakah kita juga merasa aneh jika Paus Kerahiman yang Agung ini meninggalkan bagi kita pesannya untuk Minggu Kerahiman, yang kemudian dibacakan pada pesta hari itu oleh seorang pejabat Vatican kepada umat beriman yang berkumpul di St Petrus sesudah Perayaan Misa Kudus yang dipersembahkan bagi kedamaian kekal jiwanya?  

“Pesan Kerahiman Ilahi senantiasa dekat dan lekat di hati saya. Seolah sejarah telah mengukirkannya dalam pengalaman tragis Perang Dunia II. Dalam tahun-tahun sulit itu, belas kasih Allah sungguh merupakan suatu penopang dan sumber pengharapan yang tak habis-habisnya, bukan hanya bagi rakyat Krakow, melainkan bagi seluruh bangsa. Itulah juga pengalaman pribadi saya yang saya bawa ke Tahta St Petrus dan yang dalam tingkat tertentu membentuk gambaran akan Pontifikat ini. Saya mengucap syukur kepada Penyelenggaraan Ilahi bahwa saya dapat ikut ambil bagian secara pribadi dalam digenapinya kehendak Kristus, melalui penetapan Minggu Kerahiman Ilahi. Di sini, dekat jasad St Faustina Kowalska, saya juga mengucap syukur dapat memaklumkan beatifikasinya. Tak henti-hentinya saya berdoa kepada Tuhan: `kasihanilah kami dan seluruh dunia'”

~ Paus Yohanes Paulus II, 7 Juni 1997,
saat berziarah ke makam St Faustina Kowalska

St. Faustina Kowalska: Rasul Kerahiman Ilahi




Helena Kowalska dilahirkan di Glogowiec, Polandia pada tanggal 25 Agustus 1905 sebagai anak ketiga dari sepuluh putera-puteri pasangan suami isteri Katolik yang saleh Stanislaw Kowalski dan Marianna Babel. Ayahnya seorang petani merangkap tukang kayu. Keluarga Kowalski, sama seperti penduduk Glogowiec lainnya, hidup miskin dan menderita dalam penjajahan Polandia oleh Rusia.

Helena hanya sempat bersekolah hingga kelas 3 SD saja. Ia seorang anak yang cerdas dan rajin, juga rendah hati dan lemah lembut hingga disukai orang banyak. Sementara menggembalakan sapi, Helena biasa membaca buku; buku kegemarannya adalah riwayat hidup para santa dan santo. Seringkali ia mengumpulkan teman-teman sebayanya dan menjadi `katekis' bagi mereka dengan menceritakan kisah santa dan santo yang dikenalnya. Helena kecil juga suka berdoa. Kerapkali ia bangun tengah malam dan berdoa seorang diri hingga lama sekali. Apabila ibunya menegur, ia akan menjawab, “Malaikat pelindung yang membangunkanku untuk berdoa.”

Ketika usianya 16 tahun, Helena mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Tetapi, setahun kemudian ia pulang ke rumah untuk minta ijin masuk biara. Mendengar keinginan Helena, ayahnya menanggapi dengan tegas, “Papa tidak punya uang untuk membelikan pakaian dan barang-barang lain yang kau perlukan di biara. Selain itu, Papa masih menanggung hutang!” Puterinya mendesak, “Papa, aku tidak perlu uang. Tuhan Yesus Sendiri yang akan mengusahakan aku masuk biara.” Namun, orangtuanya tetap tidak memberikan persetujuan mereka.

Patuh pada kehendak orangtua, Helena bekerja kembali sebagai pembantu. Ia hidup penuh penyangkalan diri dan matiraga, hingga suatu hari pada bulan Juli 1924 terjadi suatu peristiwa yang menggoncang jiwanya.

“Suatu ketika aku berada di sebuah pesta dansa dengan salah seorang saudariku. Sementara semua orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa, sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara, nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku: “Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan mengabaikan-Ku” Saat itu hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana. Aku mengambil tempat duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi, meninggalkan saudari dan semua teman-temanku, melangkahkan kaki menuju Katedral St Stanislaus Kostka.

Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (= prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Lalu aku mendengar kata-kata ini: “Segeralah pergi ke Warsawa, engkau akan masuk suatu biara di sana.” Aku bangkit berdiri, pulang ke rumah, membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Sebisaku, aku menceritakan kepada saudariku apa yang telah terjadi dalam jiwaku. Aku memintanya untuk menyampaikan selamat tinggal kepada orangtua kami, dan lalu, dengan baju yang melekat di tubuh, tanpa barang-barang lainnya, aku tiba di Warsawa,” demikian tulis St Faustina di kemudian hari.

Setelah ditolak di banyak biara, akhirnya Helena tiba di biara Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. Kongregasi ini membaktikan diri pada pelayanan kepada para perempuan yang terlantar secara moral. Sejak awal didirikannya oleh Teresa Rondeau, kongregasi mengaitkan misinya dengan misteri Kerahiman Ilahi dan misteri Santa Perawan Maria Berbelas Kasih.

“Ketika Moeder Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku, setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan kegirangan aku menuju kapel dan bertanya kepada Yesus: “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”

Segera aku mendengar suara ini: “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.” Ketika aku kembali dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan menerimamu?” Aku menjawab, “Ya.” “Jika Tuan telah menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.” Begitulah bagaimana aku diterima dalam biara.”

Namun demikian, Helena masih harus tetap bekerja lebih dari setahun lamanya guna mengumpulkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada tahap awal tinggal di biara. Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1925, menjelang ulangtahunnya yang ke-20, Helena diterima dalam Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih. “Aku merasa sangat bahagia, seakan-akan aku telah melangkahkan kaki ke dalam kehidupan Firdaus,” kenang St Faustina.

Setelah tinggal di biara, Helena terkejut melihat kehidupan para biarawati yang sibuk sekali hingga kurang berdoa. Karenanya, tiga minggu kemudian Helena bermaksud meninggalkan biara dan pindah ke suatu biara kontemplatif yang menyediakan lebih banyak waktu untuk berdoa. Helena yang bingung dan bimbang rebah dalam doa di kamarnya. “Beberapa saat kemudian suatu terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat menderita. Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu begitu rupa?” Yesus berkata kepadaku: “Engkaulah yang yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau meninggalkan biara. Ke tempat inilah engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat bagimu.” Aku mohon pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.”   

Pada tanggal 30 April 1926, Helena menerima jubah biara dan nama baru, yaitu Sr Maria Faustina; di belakang namanya, seijin kongregasi ia menambahkan “dari Sakramen Mahakudus”. Dalam upacara penerimaan jubah, dua kali Sr Faustina tiba-tiba lemas; pertama, ketika menerima jubah; kedua, ketika jubah dikenakan padanya. Dalam Buku Catatan Harian, St Faustina menulis bahwa ia panik sekaligus tidak berdaya karena pada saat itu ia melihat penderitaan yang harus ditanggungnya sebagai seorang biarawati. Dalam biara, tugas yang dipercayakan kepadanya sungguh sederhana, yaitu di dapur, di kebun atau di pintu sebagai penerima tamu. Semuanya dijalankan Sr Faustina dengan penuh kerendahan hati.

Pada tanggal 16 April 1928, pada hari Jumat Agung, Sr Faustina mengalami kasih Allah secara istimewa hingga ia melupakan segala derita di masa lampau dan semakin memahami sengsara Kristus. Pada tanggal 30 April 1928 Sr Faustina mengucapkan Kaul Pertama yang akan diperbaharui setiap tahun selama lima tahun berturut-turut hingga mengucapkan kaul kekal. Pertengahan tahun 1930, Sr Faustina dipindahkan ke biara di kota Plock.

Pada tanggal 22 Februari 1931, St Faustina mulai menerima pesan kerahiman ilahi dari Kristus. Pada tanggal 18 April 1933 Sr Faustina tiba di Krakow untuk mengikuti retret selama delapan hari sebelum akhirnya mengucapkan kaul kekal pada tanggal 1 Mei 1933. Ia tinggal di biara Krakow selama satu bulan lamanya. Pada tanggal 25 Mei 1933 Sr Faustina dipindahkan ke Vilnius, Lituania. Ia singgah sebentar di kota Czestochowa, yang dikenal sebagai kota Bunda Maria Berbelas Kasih.

Di Vilinius, Sr Faustina diserahi tugas sebagai tukang kebun. Melalui pekerjaan sederhana ini Faustina ingin menyenangkan Tuhan dan semua orang. Bunga-bunga terindah dibawanya ke altar. Buah-buah pohon pertama dibawanya kepada suster pemimpin biara atau pastor yang biasa melayani para suster sebagai pembimbing rohani. Sebuah kejutan menanti Sr Faustina diVilinius. Sudah dua kali ia mendapat penglihatan tentang seorang imam yang akan menjadi pembimbing rohaninya. Dan, akhirnya, ia melihatnya di Biara Vilnius. Imam itu bernama Mikhael Sopocko. Bapa pengakuan para suster ini seorang terpelajar, seorang profesor teologi di Universitas Stefan Batory, Vilinius.

Pater Sopocko menguji Faustina dengan sungguh-sungguh. Ia juga menyuruh Sr Faustina menemui seorang psikiater, Dr. Maria Maciejewska, untuk diperiksa secara seksama. Hanya setelah Faustina dinyatakan sehat secara psikis, ia bersikap positif terhadap Sr Faustina dan bahkan menjadi pelaksana misi yang dipercayakan Tuhan kepada Faustina.

Pater Sopocko meminta Faustina mencatat semua yang dialaminya. Meski sadar akan ketidaklayakannya, serta ngeri akan pemikiran harus berusaha menuliskan sesuatu, toh akhirnya, pada tahun 1934, ia mulai menulis dalam ketaatan pada pembimbing rohaninya, dan juga pada Tuhan Yesus Sendiri. Mula-mula ia menuliskan pengalamannya pada kertas-kertas kecil. Kemudian ia mulai menuliskannya pada buku-buku tulis biasa. Hingga akhir hidupnya, selama empat tahun, ia mencatat wahyu-wahyu ilahi, pengalaman-pengalaman mistik, juga pikiran-pikiran dari lubuk hatinya sendiri, pemahaman serta doa-doanya. Hasilnya adalah suatu buku catatan harian setebal 600 halaman, yang dalam bahasa sederhana mengulang serta menjelaskan kisah kasih Injil Allah bagi umatnya, dan di atas segalanya, menekankan pentingnya kepercayaan pada tindak kasih-Nya dalam segala segi kehidupan kita. Buku itu menunjukkan suatu contoh luar biasa bagaimana menanggapi belas kasih Allah dan mewujud-nyatakannya kepada sesama.

Di kemudian hari, ketika tulisan-tulisan St Faustina diperiksa, para ilmuwan dan juga para teolog terheran-heran bahwa seorang biarawati sederhana dengan pendikan formal yang amat minim dapat menulis begitu jelas serta terperinci; mereka memaklumkan bahwa tulisan St Faustina sepenuhnya benar secara teologis, dan bahwa tulisannya itu setara dengan karya-karya tulis para mistikus besar.

Dari Buku Catatan Harian pula kita tahu bahwa pada tanggal 29 Maret 1934, pada hari Kamis Putih, Sr Faustina dengan suka relamempersembahkan diri sebagai jiwa-silih demi bertobatnya para pendosakhususnya mereka yang telah kehilangan kepercayaan akan kerahiman Allah. Sebagaimana Kristus memintanya untuk menjadi rasul dan sekretaris Kerahiman Ilahi, menjadi teladan belas kasih kepada sesama, menjadi alat-Nya untuk menegaskan kembali rencana belas kasih Allah bagi dunia, demikianlah Sr Faustina mempersembahkan seluruh hidupnya sebagai suatu kurban - hidup yang diperuntukkan bagi orang lain. Dalam hidup sehari-hari ia akan menjadi pelaku belas kasih, pembawa sukacita dan damai bagi sesama; dan dengan menulis mengenai kerahiman ilahi, ia mendorong yang lain untuk mengandalkan Yesus dan dengan demikian mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya kembali.

Pada tanggal 4 Mei 1936, Sr Faustina mendapatkan ijin untuk mendirikan konggregasi baru, tetapi setelah menerima ijin ia justru menjadi tidak berdaya dan tidak mampu melangkah lebih jauh.

Pada bulan September 1937, ketika Faustina menjadi penerima tamu di biara, saat turun hujan deras, pintu biara diketuk olehseorang pemuda yang berpakaian compang-camping. Sr Faustina memberinya sup. Beberapa saat kemudian, sementara membereskan piring sup yang telah kosong, ia tersadar bahwa pemuda itu adalah Tuhan Yesus sendiri. Sekonyong-konyong Yesus pun lenyap dari hadapannya. Dalam bulan September itu juga, Sr Faustina pergi ke percetakan untuk membicarakan kemungkinan mencetak gambar-gambar Yesus yang Maharahim.

Devosinya yang istimewa kepada Santa Perawan Maria Tak Bercela, kepada Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat memberi St Faustina kekuatan untuk menanggung segala penderitaannya sebagai suatu persembahan kepada Tuhan atas nama Gereja dan mereka yang memiliki kepentingan khusus, teristimewa para pendosa berat dan mereka yang di ambang maut.

St Faustina Kowalska menulis dan menderita diam-diam, hanya pembimbing rohani dan beberapa superior saja yang mengetahui bahwa suatu yang istimewa tengah terjadi dalam hidupnya. Setelah wafat St Faustina, bahkan teman-temannya yang terdekat terperanjat mengetahui betapa besar penderitaan dan betapa dalam pengalaman-pengalaman mistik yang dianugerahkan kepada saudari mereka ini, yang senantiasa penuh sukacita dan bersahaja.

Kesehatan Sr Faustina semakin memburuk akibat penyakit TBC dan pada tanggal 21 April 1938 ia harus dirawat di rumah sakit. Kepada Moeder Jenderal ia menulis, “Aku semakin diliputi rasa rindu akan AllahKematian tidak menakutkanku, jiwaku penuh kedamaian.” Dan ia mengakhiri suratnya dengan kata-kata, Sampai jumpa di surga.” Karena tubuhnya amat lemah, ia dilarang menyambut Komuni. Namun malaikat datang membawa Komuni Kudus kepadanya, seraya berkata, “ Inilah Tuhan para malaikat. Hal ini berlangsung selama 13 kali berturut-turut.

Pada tanggal 26 September 1938, Pater Sopocko mengunjungi Sr Faustina di Krakow. Faustina mengatakan kepadanya, Aku sibuk berelasi erat dengan Bapa Surgawi.” Dalam kunjungan itu, timbul kesan dalam diri Pater Sopocko bahwa Faustina adalah seorang insan surgawi. Ternyata itulah kunjungan terakhir Pater Sopocko kepada Faustina, karena beberapa hari kemudian, 5 Oktober 1938 pukul 22.45, Sr Faustina wafat dalam usia 33 tahun di Krakow. Pada tanggal 6 Oktober 1938, jenazah Faustina disemayamkan di kapel kecil, di bawah lantai gereja. Pada tgl 7 Oktober 1938, pada hari Jumat pertama, yang adalah juga Pesta Santa Perawan Maria Ratu Rosario, Faustina dimakamkan di pemakaman biara. Di kemudian hari, makamnya dipindahkan ke sebuah kapel yang dibangun khusus di biara. Pada tahun 1967, dengan dekrit Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow, kapel tersebut dijadikan sanctuarium reliqui Abdi Allah Sr Faustina Kowalska.

Pada tahun 1941, Moeder Michael mulai memperkenalkan devosi kerahiman ilahi kepada seluruh konggregasi. Sekarang, pesan Kerahiman Ilahi yang diterima St Faustina telah tersebar luas ke segenap penjuru dunia dan buku catatan hariannya, “Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku” menjadi buku pegangan bagi Devosi Kerahiman Ilahi. St Faustina sendiri tak akan terkejut mengenai hal ini, sebab telah dikatakan kepadanya bahwa pesan kerahiman ilahi akan tersebar luas melalui tulisan-tulisan tangannya demi keselamatan jiwa-jiwa.

Dalam suatu pernyataan nubuat yang ditulisnya, St Faustina memaklumkan: “Aku merasa yakin bahwa misiku tidak akan berakhir sesudah kematianku, melainkan akan dimulai. Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung surga guna meyakinkan kalian akan kebajikan Allah” (Buku Catatan Harian, 281).

Pada tanggal 31 Januari 1968, berdasarkan keputusan Vatican, dibukalah proses beatifikasi Abdi Allah Sr Faustina. Pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 18 April 1993, Sr Faustina dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II dan pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 30 April 2000 dikanonisasi oleh paus yang sama. Pesta St Faustina dirayakan setiap tanggal 5 Oktober.

Mempersiapkan Kedatangan Yesus Yang Terakhir




Tuhan kita menyatakan dengan sangat jelas kepada St Faustina betapa penting serta mendesak untuk mewartakan pesan kerahiman-Nya, sebab dunia membutuhkannya sebagai persiapan menjelang kedatangan-Nya kembali:

“Berbicaralah kepada dunia mengenai kerahiman-Ku…. Itulah tanda akhir jaman.* Sesudahnya akan datang Hari Pengadilan (848)…. Engkau akan mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Ku yang terakhir (429)…. Katakanlah kepada jiwa-jiwa mengenai belas kasih-Ku yang luar biasa ini, karena hari yang mengerikan, hari Pengadilan-Ku, sudah dekat (965)”
“Akhir jaman” dimulai dengan turunnya Roh Kudus dan lahirnya Gereja

Berulang kali Tuhan kita mengatakan kepada St Faustina bahwa Ia menawarkan kepada para pendosa “pengharapan terakhir bagi keselamatan.” Tak peduli betapa berat dosa-dosa kita, Ia menghendaki kita datang kembali kepada-Nya, tetapi kita harus menanggapi panggilan-Nya sekarang, sementara masih ada waktu belas kasih:

“Sebelum Hari Pengadilan, Aku akan mengadakan Hari Kerahiman (1588)…. Aku memperpanjang masa belas kasih demi para pendosa. Tetapi, celakalah mereka apabila mereka tidak mengenali masa kunjungan-Ku ini (1160)….”

“Sementara masih ada waktu, biarlah mereka memperoleh pertolongan dari sumber kerahiman-Ku (848)…. Ia yang menolak untuk masuk lewat pintu belas kasih-Ku, harus masuk lewat pintu keadilan-Ku (1146)”

Bunda Maria juga berbicara kepada St Faustina mengenai mendesaknya pesan kerahiman:

“Haruslah engkau berbicara kepada seluruh dunia mengenai kerahiman-Nya yang tak terhingga dan mempersiapkan dunia bagi Kedatangan Kedua dari Dia yang akan datang, bukan sebagai Juruselamat yang penuh belas kasih, melainkan sebagai Hakim yang adil. Oh, betapa mengerikan hari itu! Hari Pengadilan telah ditetapkan, hari murka Allah. Para malaikat gemetar karenanya. Berbicaralah kepada jiwa-jiwa mengenai kerahiman yang luar biasa ini sementara masih ada waktu untuk menganugerahkan belas kasih (635)”

Bapa Suci Yohanes Paulus II tampaknya memiliki kepekaan yang kuat terhadap gentingnya pesan ini. Pada tahun 1981, di tempat ziarah Cinta yang Berbelas Kasih di Collevalenza, Italia, ia menyatakan bahwa sejak awal mula pelayanannya, ia telah menganggap pesan kerahiman sebagai “tugas istimewa” yang dipercayakan Tuhan kepadanya “dalam situasi manusia, Gereja dan dunia sekarang.” Dalam empat ensikliknya, berulang kali sri paus berbicara mengenai tahun 2000 sebagai “Masa Adven yang baru” dan menekankan bahwa kita sekarang hidup dalam suatu masa persiapan khusus bagi kedatangan kembali Tuhan kita. Ia mendesak kita untuk “memohon dengan sangat kerahiman Allah bagi segenap umat manusia dalam masa sejarah ini… memohon belas kasih Allah pada masa yang sulit dan genting dari sejarah Gereja dan dunia sementara kita mendekati akhir milenium kedua” (Dives In Misericordia).

Mewartakan Kerahiman Ilahi




“Gereja,” tulis Paus Yohanes Paulus II, “haruslah menganggap sebagai salah satu tugas utamanya - di setiap tingkat sejarah manusia dan teristimewa di abad modern sekarang ini - mewartakan serta menghadirkan ke dalam jiwa misteri kerahiman yang secara luar biasa dinyatakan dalam Yesus Kristus” (Dives In Misericordia).

Pentingnya mewartakan Kerahiman Ilahi merupakan tema yang terus-menerus muncul dalam Buku Catatan Harian St Faustina:

“Wartakanlah bahwa kerahiman adalah sifat Allah yang utama. Segala karya tangan-Ku dimahkotai dengan belas kasih (301)….”

“Wartakanlah ke segenap penjuru dunia kerahiman-Ku yang tak terselami (1142)….”

“Jiwa-jiwa yang mewartakan kemuliaan kerahiman-Ku akan Aku lindungi sepanjang hidup mereka bagaikan seorang ibunda yang lembut hati menjaga bayinya, dan di saat ajal, Aku tak akan menjadi hakim bagi mereka, melainkan Juruselamat yang penuh Belas Kasih (1075)….”

“Wartakanlah dengan segala daya upayamu Devosi kepada Kerahiman Ilahi. Aku Sendiri yang akan menyempurnakan kekuranganmu. Katakanlah kepada segenap umat manusia yang sakit untuk datang merapat pada Hati-Ku yang berbelas kasih, Aku akan memenuhinya dengan damai sejahtera (1074).”

“Katakanlah kepada para imam-Ku bahwa para pendosa yang keras hati akan bertobat karena mendengarkan perkataan mereka saat para imam-Ku itu berbicara mengenai kerahiman-Ku yang tak terselami, mengenai cinta kasih dalam Hati-Ku bagi mereka. Kepada para imam yang mewartakan serta mengagungkan kerahiman-Ku, Aku akan menganugerahkan kuasa yang menakjubkan; Aku akan mengurapi perkataan mereka dan menyentuh hati orang-orang kepada siapa mereka berbicara (1521).”

Santa Perawan Maria: Bunda Kerahiman




Aku bukan saja Ratu Surga, melainkan juga Bunda Kerahiman dan Bunda-mu (330)….”
Aku Bunda bagi kalian semua, syukur kepada kerahiman Allah yang tak terselami (449)

“Salam Ratu Tersuci, Bunda Kerahiman….” Selama berabad-abad umat beriman menyapa Bunda Maria dengan gelar ini, dan sekarang, pada abad modern, Paus Yohanes Paulus II menghadirkan kembali di hadapan kita pentingnya peran unik Bunda Maria dalam rencana belas kasih Allah yang kekal. Dalam ensikliknya, Dives In Misericordia, Bapa Suci menyisihkan satu bagian yang sepenuhnya dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria “Bunda Kerahiman”. Dialah, menurut Bapa Suci, yang memiliki pemahaman paling mendalam akan kerahiman ilahi, dialah yang, lebih dari segala manusia lainnya, layak dan pantas menerima kerahiman Allah. Dipanggil dengan suatu cara yang istimewa untuk ikut ambil bagian dalam misi Putranya dalam menyatakan kasih-Nya, Bunda Maria tak kunjung henti mewartakan kerahiman-Nya “dari generasi ke generasi”.

Bagi St Faustina, Bunda Maria adalah sumber belas kasih Allah yang tak habis-habisnya, sebagai bunda, pelindung, guru, dan perantara. Dari Santa Perawan, ia menerima karunia kemurnian yang istimewa, kekuatan dalam penderitaan, dan pengajaran-pengajaran yang tak terhitung banyaknya mengenai kehidupan rohani. “Bunda Maria adalah instrukturku,” tulis St Faustina, “yang senantiasa mengajariku bagaimana hidup bagi Tuhan (620)…. Semakin aku meneladani Bunda Allah, semakin aku mengenal Allah secara lebih mendalam (843)… sebelum setiap Komuni Kudus, dengan sungguh aku mohon Bunda Allah untuk menolong mempersiapkan jiwaku bagi kedatangan Putranya (114)…. Bunda Maria mengajarkan kepadaku bagaimana mengasihi Tuhan dari lubuk hati yang terdalam dan bagaimana melaksanakan kehendak-Nya yang kudus dalam segala hal (40)…. O Bunda Maria, Bunda-ku, aku menempatkan segalanya dalam tanganmu (79)…. Engkaulah sukacita, sebab melalui engkau, Allah turun ke dalam dunia (dan) ke dalam hatiku (40).”

Sakramen Pertobatan (Rekonsiliasi): Pengadilan Kerahiman Ilahi




Guna membantu kita mempersiapkan diri dalam menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Allah-an Juruselamat kita yang Maharahim dalam Ekaristi, Tuhan meninggalkan bagi kita suatu “mukjizat belas kasih” yang lain, yaitu Sakramen Rekonsiliasi. Di sini, juga, Yesus menghadirkan diri bagi kita - kita semua, tak peduli betapa berat dosa kita - sebagai Juruselamat yang Maharahim, sumber belas kasih yang membasuh, menghibur, mengampuni dan memulihkan hidup kita.

“Apabila engkau datang dalam Sakramen Tobat, kepada sumber belas kasih ini, Darah dan Air yang memancar dari HatiKu senantiasa tercurah merasuki jiwamu (1602).… Dalam Pengadilan Belas Kasih (Sakramen Rekonsiliasi) … mukjizat-mukjizat terbesar terjadi dan berulang tak kunjung henti (1448).… Di sini, sengsara jiwa bertemu dengan Allah yang berbelas kasih (1602).…”

“Datanglah penuh iman di hadapan wakil-Ku (1448).… Aku Sendiri yang menantikan engkau di sana. Aku hanya tersamar dalam diri imam … Aku Sendiri yang bertindak dalam jiwamu (1602).… Akuilah segala dosamu di hadapan-Ku. Pribadi imam, bagi-Ku, hanyalah sekedar selubung. Janganlah pernah menilai imam macam apa yang sedang Aku pergunakan sebagai alat; bukalah jiwamu dalam pengakuan seperti yang akan engkau lakukan terhadap-Ku, dan Aku akan memenuhi jiwamu dengan terang-Ku (1725).…”

“Walau suatu jiwa rusak bagaikan bangkai yang membusuk, hingga dari sudut pandang manusia tidak akan ada lagi harapan pemulihan dan segalanya akan menjadi sia-sia, namun tidak demikian bagi Allah. Mukjizat Belas Kasih memulihkan jiwa itu sepenuhnya …. Dari sumber belas kasih ini, jiwa-jiwa menimba rahmat, semata-mata hanya dengan timba kepercayaan. Jika kepercayaan mereka besar, tak akan ada batas dalam kemurahan hati-Ku (1448).”

Guna menekankan pentingnya kedua sakramen belas kasih yang luar biasa ini, Tuhan kita menetapkan keduanya sebagai prasyarat untuk mendapatkan janji-Nya akan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman bagi mereka yang merayakan Pesta Kerahiman Ilahi. Paus Yohanes Paulus II, yang telah berulang kali menekankan pentingnya pesan kerahiman, menasehati kita, “Gereja dari Masa Adven yang baru… haruslah Gereja Ekaristi dan Tobat” (Redemptor Hominis).

Dalam pidato penutup pada Sinode Uskup di Roma tahun 1983, Bapa Suci menjelaskan bahwa kedua sakramen ini ditetapkan di Senakel dan saling berhubungan erat satu dengan yang lainnya:

“Sesungguhnya, segera sesudah sengsara dan wafat-Nya, tepat pada hari Kebangkitan-Nya, dalam peristiwa kunjungan pertama kepada para Rasul yang berkumpul di Senakel, [di mana dilaksanakan penetapan Ekaristi] Yesus Kristus mengucapkan kata-kata ini: `Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Pentingnya kata-kata dan peristiwa ini sebegitu rupa hingga hendaknya dianggap sejajar dengan pentingnya Ekaristi itu sendiri” (Penitential Catechesis).

EKARISTI: Kehadiran Kerahiman Ilahi



Dalam kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, Tuhan Yesus menganugerahkan kepada kita suatu mukjizat yang luar biasa: Sakramen Ekaristi Kudus.

Kebangkitan Kristus ke dalam kemuliaan bukanlah akhir dari tujuan Inkarnasi, ketika Allah menjadi manusia. Salah satu tujuan Inkarnasi adalah agar Yesus senantisa tinggal bersama kita hingga akhir jaman dalam Ekaristi. Dengan mukjizat kasih-Nya yang terbesar ini, Yesus tinggal bersama kita dalam rupa roti dan anggur, bukan hanya bagi santapan rohani kita saja, melainkan juga agar ditemani oleh kita juga.

Dalam Ekaristi, Kristus sepenuhnya hadir seperti Ia di surga. Ekaristi merupakan inti dari Devosi Kerahiman Ilahi; banyak unsur devosi ini pada dasarnya Ekaristis - terutama lukisan, koronka, dan Pesta Kerahiman Ilahi. Lukisan, dengan kedua sinarnya yang berwarna merah dan yang berwarna pucat, menggambarkan Tuhan Yesus yang Ekaristis, yang Hati-Nya ditikam dan memancarlah daripadanya darah dan air sebagai sumber belas kasih bagi kita. Lukisan Kerahiman Ilahi merupakan gambaran akan anugerah kurban belas kasih Tuhan yang dihadirkan dalam setiap Misa.

Beberapa kali dalam Buku Catatan Hariannya, St Faustina menulis ia melihat kedua sinar yang berwarna merah dan berwarna pucat memancar, bukan dari lukisan, melainkan dari Hosti Kudus; dan suatu ketika, sementara imam mengunjukkan Sakramen Mahakudus, ia melihat kedua sinar yang berasal dari lukisan menembusi Hosti Kudus dan dari Hosti memancar ke segenap penjuru dunia. Jadi, dengan mata iman, hendaknya kita juga melihat dalam setiap Hosti Kudus, Juruselamat yang Maharahim, yang mencurahkan DiriNya Sendiri sebagai sumber belas kasih kepada kita.

Konsep Ekaristi sebagai sumber rahmat dan belas kasih bukan hanya didapati dalam Buku Catatan Harian, melainkan juga dalam ajaran Gereja. Gereja dengan jelas mengajarkan bahwa segala sakramen yang lain diarahkan kepada Ekaristi dan menimba kekuatan darinya.

Dalam Konstitusi Liturgi Kudus (#10), misalnya, dijelaskan, “terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita.” Dan dalam suatu catatan dalam Katekese Konsili Trente, para imam didorong untuk “memperbandingkan Ekaristi sebagai suatu sumber mataair sementara sakramen-sakramen lainnya sebagai anak-anak sungai. Ekaristi Kudus sungguh nyata dan penting disebut sebagai sumber segala rahmat, sebab di dalamnya terkandung sumber karunia dan rahmat surgawi itu sendiri, Sang Pencipta segala sakramen, Tuhan kita Yesus Kristus, daripada-Nya, sebagai sumber dari segalanya, berasal segala kebajikan dan kesempurnaan dari sakramen-sakramen lainnya.”

Maka, tak mengherankan jika St Faustina begitu berdevosi kepada Ekaristi dan menulis begitu mengagumkan mengenainya dalam Buku Catatan Harian:

“O, betapa suatu misteri yang menakjubkan terjadi dalam Misa Kudus! ... Suatu hari kelak kita akan tahu apa yang Tuhan perbuat bagi kita dalam setiap Misa, dan karunia-karunia apa yang Ia sediakan bagi kita di dalamnya. Hanya kasih ilahi-Nya yang dapat memperkenankan suatu karunia yang sedemikian disediakan bagi kita… sumber hidup ini memancar dengan kemanisan dan kuasa yang begitu rupa (914)….”

“Segala yang baik dalam diriku berasal dari Komuni Kudus (1392)…. Di sinilah terletak segala rahasia kekudusanku (1489)…hanya satu hal saja yang menopangku, yaitu Komuni Kudus. Daripadanya aku menimba segala kekuatanku; daripadanyalah segala penghiburanku…. Yesus yang tersamar dalam Hosti Kudus adalah segalanya bagiku…. Aku tak akan tahu bagaimana memuliakan Tuhan jika aku tak memiliki Ekaristi dalam hatiku (1037)….”

“O Hosti yang hidup, satu-satunya daya dan kekuatanku, sumber cinta dan belas kasih, rengkuhlah seluruh dunia, perteguhlah jiwa-jiwa yang lemah. O, diberkatilah saat ketika Yesus menempatkan dalam diri kita HatiNya yang Maharahim! (223)


Jam Kerahiman Ilahi





Dalam penampakan-Nya kepada St Faustina pada bulan Oktober 1937, Tuhan kita menghendaki suatu doa dan meditasi khusus akan Sengsara-Nya setiap jam tiga siang, jam di mana Ia wafat di salib.

“Pada jam tiga, mohonlah belas kasih-Ku, teristimewa bagi para pendosa; dan, meski hanya sesaat saja, benamkanlah dirimu dalam Sengsara-Ku, teristimewa ketika Aku ditinggalkan seorang diri saat meregang nyawa. Inilah jam kerahiman agung…. Pada jam ini Aku tak akan menolak jiwa yang memohon pada-Ku demi Sengsara-Ku (1320).”

“Begitu engkau mendengar jam berdentang pada pukul tiga, benamkanlah dirimu sepenuhnya ke dalam kerahiman-Ku, sembari sujud menyembah dan memuliakannya; mohonlah kemahakuasaan-Nya bagi seluruh dunia, teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang; sebab saat itu belas kasih dibuka lebar bagi setiap jiwa. Pada jam ini engkau dapat memperoleh apa saja yang engkau minta bagi dirimu sendiri dan bagi orang-orang lain; inilah jam kerahiman bagi seluruh dunia - belas kasih menang atas keadilan….”

“Berdoalah Jalan Salib pada jam ini, sejauh hal itu mungkin; jika engkau tak dapat melakukan Jalan Salib, maka setidaknya mampirlah sebentar ke dalam kapel dan bersembah sujudlah di hadapan Sakramen Mahakudus, Hati-Ku yang berlimpah belas kasih; dan jika engkau tak dapat mampir ke kapel, walau hanya sesaat saja benamkanlah dirimu dalam doa di mana pun engkau berada saat itu (1572).”

Dalam Kej 18:16-32, Abraham mohon kepada Allah untuk meringankan persyaratan yang diperlukan agar Allah berbelas kasih kepada penduduk Sodom dan Gomora. Di sini, Kristus Sendiri menawarkan untuk meringankan persyaratan yang diperlukan karena berbagai tuntutan tugas kewajiban kita, dan Ia `mohon' kepada kita agar kita memohon, dengan cara yang paling sederhana sekalipun, belas kasih-Nya, agar Ia dapat mencurahkan belas kasih-Nya atas kita semua.

Mungkin kita tak dapat berdoa Jalan Salib atau bersembah sujud di hadapan Sakramen Mahakudus, tetapi kita semua dapat secara rohani berhenti sejenak, merenungkan Yesus yang sama sekali ditinggalkan seorang diri saat Ia meregang nyawa, dan mendaraskan suatu doa singkat seperti “Yesus, kasihanilah,” atau “Demi sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan seluruh dunia.”

Renungan akan Sengsara Yesus ini, walau singkat, menghantar kita berhadapan muka dengan muka dengan Salib, dan seperti ditulis Paus Yohanes Paulus II dalam Dives In Misericordia, “Di atas Salib-lah perwujudan cinta yang berbelas kasih mencapai puncaknya.” Tuhan mengundang kita, lanjut Bapa Suci, “untuk `berbelas kasih' pada Putra TunggalNya, Dia yang tersalib.” Dengan demikian, renungan kita akan Sengsara hendaknya menghantar kita pada suatu bentuk kasih yang “bukan hanya merupakan tindakan solidaritas terhadap Putra Manusia yang menderita, melainkan juga semacam tindakan `belas kasih' yang ditunjukkan oleh masing-masing kita kepada Putra Bapa yang Kekal.”     


  DOA JAM KERAHIMAN

Ya Yesus, Engkau telah wafat,
namun sumber kehidupan telah memancar bagi jiwa-jiwa
dan terbukalah lautan kerahiman bagi segenap dunia.
O, Sumber Kehidupan,
kerahiman Ilahi yang tak terselami,
naungilah segenap dunia dan curahkanlah diri-Mu pada kami.

Darah dan Air,
yang telah memancar dari Hati Yesus
sebagai sumber kerahiman bagi kami.
Engkaulah andalanku!


  SERUAN KEPADA KERAHIMAN ILAHI

Setiap seruan dimulai dengan:
`Bapa yang kekal,
kupersembahkan kepada-Mu
Tubuh dan Darah
Jiwa dan Ke-Allah-an
PutraMu yang terkasih,
Tuhan kami Yesus Kristus,
sebagai pemulihan dosa-dosa kami
dan dosa seluruh dunia.'

Hening sejenak, renungkanlah Sengsara Yesus. Kemudian, daraskanlah seruan berikut diakhiri dengan: kasihanilah kami dan seluruh dunia.

1.Demi Yesus yang menetapkan Ekaristi sebagai kenangan akan Sengsara-Nya, ….
2.Demi Yesus yang menderita sakrat maut di Taman Getsemani, ….
3.Demi Yesus yang didera dan dimahkotai duri, ….
4.Demi Yesus yang dijatuhi hukuman mati, ….
5.Demi Yesus yang memanggul salib-Nya, ….
6.Demi Yesus yang jatuh di bawah beban berat salib, ….
7.Demi Yesus yang berjumpa dengan BundaNya yang berduka, ….
8.Demi Yesus yang menerima uluran tangan dalam memanggul salib-Nya, ….
9.Demi Yesus yang menerima belas kasih Veronica, ….
10.Demi Yesus yang menghibur para perempuan, ….
11.Demi Yesus yang ditelanjangi, ….
12.Demi Yesus yang disalibkan, ….
13.Demi Yesus yang wafat di Salib, ….
14.Demi Yesus yang dimakamkan, ….
15.Demi Yesus yang dibangkitkan dari antara orang mati, ….

`Allah yang Kudus,
Kudus dan berkuasa,
Kudus dan kekal,
kasihanilah kami
dan seluruh dunia' (diserukan tiga kali)

Minggu Kerahiman Ilahi




BukCatatan Harian St Faustina memuat setidak-tidaknya empatbelas bagian di mana Tuhan kita meminta suatu “Pesta Kerahiman Ilahi” ditetapkan secara resmi dalam Gereja.

“Pesta ini muncul dari lubuk kerahiman-Ku yang terdalam, dan diperteguh oleh kedalaman belas kasih-Ku yang paling lemah lembut (420)…. Adalah kehendak-Ku agar pesta ini dirayakan dengan khidmad pada hari Minggu pertama sesudah Paskah.… Aku menghendaki Pesta Kerahiman Ilahi menjadi tempat perlindungan dan tempat bernaung bagi segenap jiwa-jiwa, teristimewa para pendosa yang malang. Pada hari itu, lubuk belas kasih-Ku yang paling lemah-lembut akan terbuka. Aku akan mencurahkan suatu samudera rahmat atas jiwa-jiwa yang menghampiri sumber kerahiman-Ku (699)”

Tergerak oleh permenungan akan Allah sebagai Bapa yang Maharahim, maka Bapa Suci Yohanes Paulus II menghendaki agar sejak saat ditetapkannya, Minggu Paskah II secara resmi dirayakan sebagai Minggu Kerahiman Ilahi oleh segenap Gereja semesta. Hal ini dimaklumkan beliau pada tanggal 30 April 2000, tepat pada hari kanonisasi St Faustina Kowalska. Lebih lanjut, Paus Yohanes Paulus II memberikan tugas kepada para imam, sebagaimana tercantum dalam Dekrit Penitensiary Apostolik 29 Juni 2002, untuk memberikan penjelasan kepada umat Katolik mengenai Minggu Kerahiman Ilahi ini.   

  PENGHORMATAN LUKISAN KERAHIMAN ILAHI

Lukisan Yesus, Allah yang Maharahim, hendaknya mendapat tempat terhormat yang istimewa pada Pesta Kerahiman Ilahi, sebagai suatu sarana pengingat yang kelihatan atas segala yang telah Yesus lakukan bagi kita melalui Sengsara, Wafat dan Kebangkitan-Nya .… dan juga, sebagai sarana pengingat akan apa yang Ia kehendaki dari kita sebagai balasannya, yaitu percaya penuh kepada-Nya dan berbelas kasih kepada sesama.

“Aku menghendaki lukisan ini diberkati secara khidmad pada hari Minggu pertama sesudah Paskah, dan Aku menghendaki lukisan ini dihormati secara umum agar setiap jiwa dapat tahu mengenainya (341).

  INDULGENSI KHUSUS PADA MINGGU KERAHIMAN ILAHI

Tuhan kita berjanji untuk menganugerahkan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman pada Pesta Kerahiman Ilahi, seperti dicatat sebanyak tiga kali dalam Buku Catatan Harian St Faustina; setiap kali dengan cara yang sedikit berbeda:

“Aku akan menganugerahkan pengampunan penuh kepada jiwa-jiwa yang menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus pada Pesta Kerahiman Ilahi (1109).”

“Jiwa yang menghampiri Sumber Hidup pada hari ini akan dianugerahi pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman (300).”

“Jiwa yang menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus akan mendapatkan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman (699).”

Sebagai kelanjutan dari dimaklumkannya hari Minggu pertama sesudah Paskah sebagai Minggu Kerahiman Ilahi, Imam Agung di Roma, terdorong semangat yang berkobar untuk menggairahkan semaksimal mungkin praktek Devosi Kerahiman Ilahi dalam diri umat Kristiani dengan harapan mendatangkan buah-buah rohani yang berguna bagi kaum beriman, maka pada tanggal 13 Juni 2002 beliau memaklumkan bahwa Gereja memberikan indulgensi, baik indulgensi penuh maupun sebagian, kepada mereka yang mempraktekkan Devosi Kerahiman Ilahi dengan syarat-syarat seperti yang ditetapkan Gereja.

  RAHMAT-RAHMAT LUAR BIASA

Satu hal tampak jelas: melalui janji di atas, Tuhan kita menekankan nilai tak terhingga Sakramen Tobat dan Komuni Kudus sebagai mukjizat-mukjizat belas kasih-Nya. Tuhan ingin kita menyadari bahwa karena Ekaristi adalah Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an-Nya Sendiri, maka Ekaristi adalah “Sumber Hidup” (300). Ekaristi adalah Yesus, Ia Sendiri, Allah yang Hidup, yang rindu mencurahkan DiriNya sebagai Belas kasih ke dalam hati kita.

Dalam penampakan-penampakan-Nya kepada St Faustina, Tuhan kita menunjukkan dengan jelas apa yang Ia tawarkan kepada kita dalam Komuni Kudus dan betapa amat melukai hati-Nya apabila kita acuh tak acuh terhadap kehadiran-Nya:

“Sukacita-Ku yang besar adalah mempersatukan DiriKu dengan jiwa-jiwa. Apabila Aku datang ke dalam hati manusia dalam Komuni Kudus, tangan-tangan-Ku penuh dengan segala macam rahmat yang ingin Aku limpahkan atas jiwa. Namun, jiwa-jiwa bahkan tak mengindahkan Aku; mereka mengacuhkan DiriKu dan menyibukkan diri dengan hal-hal lain. Oh, betapa sedih Aku sebab jiwa-jiwa tak mengenali Kasih! Mereka memperlakukan-Ku bagaikan suatu benda mati (1385)….”

“Sungguh amat menyakitkan hati-Ku apabila jiwa-jiwa religius menerima Sakramen Cinta Kasih hanya karena kebiasaan belaka, seolah mereka tak mengenali santapan ini. Aku tak mendapati baik iman maupun kasih dalam hati mereka. Aku datang ke dalam jiwa-jiwa demikian dengan keengganan besar. Akan lebih baik seandainya mereka tak menerima Aku (1258)….”

“Betapa menyakitkan Aku bahwa jiwa-jiwa begitu jarang mempersatukan dirinya dengan-Ku dalam Komuni Kudus. Aku menanti jiwa-jiwa, dan mereka acuh tak acuh terhadap-Ku. Aku ingin mencurahkan rahmat-rahmat-Ku atas mereka, tetapi mereka tak hendak menerimanya. Mereka memperlakukan-Ku bagaikan suatu benda mati, padahal Hati-Ku penuh cinta dan belas kasih. Agar engkau dapat memahami setidak-tidaknya sedikit rasa sakit-Ku, bayangkanlah seorang ibu yang paling lembut hati, yang amat mengasihi anak-anaknya, namun anak-anaknya itu menolak kasihnya. Bayangkan betapa pilu hatinya. Tak seorang pun akan mampu menghibur hatinya. Begitulah, gambaran akan kasih-Ku (1447).”

Jadi, janji Tuhan kita akan pengampunan penuh merupakan suatu peringatan sekaligus panggilan. Suatu peringatan bahwa Ia nyata hadir dan nyata hidup dalam Ekaristi, berlimpah kasih bagi kita, menanti kita datang kepada-Nya dengan penuh kepercayaan. Suatu panggilan bagi kita semua untuk dibasuh bersih dalam Kasih-Nya melalui Sakramen Tobat dan Komuni Kudus - tak peduli betapa berat dosa-dosa kita - dan kita memulai hidup baru kembali. Yesus menawarkan kepada kita suatu permulaan yang baru, suatu lembaran yang bersih.

Agar dapat sungguh memahami janji ini, kita perlu melihatnya dalam konteks janji-janji lain yang Tuhan Yesus tawarkan kepada kita dalam Pesta Kerahiman. Ia tidak hanya menawarkan satu rahmat saja, melainkan rahmat-rahmat yang tak terhingga:

“Pada hari itu, lubuk belas kasih-Ku yang paling lemah-lembut akan terbuka. Aku akan mencurahkan suatu samudera rahmat atas jiwa-jiwa yang menghampiri sumber kerahiman-Ku. Jiwa yang menerima Sakramen Tobat dan menyambut Komuni Kudus akan mendapatkan pengampunan penuh atas dosa dan penghukuman. Pada hari itu seluruh pintu-pintu rahmat Ilahi dari mana rahmat-rahmat mengalir akan dibuka (699).”

Dalam “Penilaian Resmi” Sensor Teologis Kedua atas catatan-catatan St Faustina, kita dapati penjelasan terperinci mengenai limpahan rahmat istimewa ini:

“Agar Pesta Kerahiman Ilahi dapat sungguh menjadi suatu pengungsian bagi segenap jiwa-jiwa, kemurahan hati Yesus yang terdalam dibuka lebar pada hari ini guna mencurahkan ke atas jiwa-jiwa, tanpa menahan-nahan sedikit pun, segala macam dan segala tingkatan rahmat - bahkan yang belum pernah dikenal sekalipun. Kemurahan hati ini merupakan … motivasi untuk memohon kepada Kerahiman Ilahi, dengan kepercayaan penuh serta tanpa batas, segala karunia rahmat yang ingin Tuhan curahkan pada hari Minggu ini….”

Apakah yang harus kita lakukan agar memperoleh rahmat-rahmat yang ingin Tuhan curahkan atas kita? Lagi, “Penilaian Resmi” Sensor Teologis Kedua menyajikan jawabnya:

“Karena kepercayaan penuh merupakan sarana menghampiri Belas Kasih Ilahi, patut kita simpulkan bahwa makna mendalam dari harapan dan janji-janji sehubungan dengan Pesta Kerahiman Ilahi adalah sebagai berikut: Pada hari Pesta-Nya, Yesus ingin menganugerahkan kepada kita semua - teristimewa orang-orang berdosa - suatu limpahan rahmat yang luar biasa. Dan karenanya, pada hari ini Ia menanti kita datang menghampiri Kerahiman-Nya dengan kepercayaan semaksimal mungkin.

  BAGAIMANA MEMPERSIAPKAN DIRI DENGAN PANTAS?

Salah satu cara yang terpenting, tentu saja, dengan menyambut Komuni Kudus pada hari Minggu Kerahiman Ilahi dan menerima Sakramen Tobat yang bahkan dapat dilakukan sebelum Pekan Suci; sepanjang Masa Prapaskah merupakan persiapan untuk menyambut Minggu Kerahiman Ilahi!

Tetapi, kita tidak hanya sekedar dipanggil untuk mohon belas kasih Tuhan dengan penuh kepercayaan, melainkan kita juga dipanggil untuk berbelas kasih kepada sesama. Perkataan Tuhan kita kepada St Faustina mengenai tuntutan untuk berbelas kasih kepada sesama sangat tegas dan jelas:

“Ya, hari Minggu pertama sesudah Paskah adalah Pesta Kerahiman Ilahi, namun demikian haruslah ada perbuatan-perbuatan belas kasih…. Aku menuntut dari kalian perbuatan-perbuatan belas kasih yang timbul karena kasih kepada-Ku. Hendaklah kalian menunjukkan belas kasih kepada sesama di setiap waktu dan di setiap tempat. Janganlah kalian berkecil hati atau berusaha mencari-cari alasan untuk tidak melakukannya” (742).


Novena Kerahiman Ilahi

Pada hari Jumat Agung 1937, Yesus meminta St Faustina mendoakan suatu novena khusus menjelang Pesta Kerahiman Ilahi; novena dimulai pada hari Jumat Agung hingga Sabtu sebelum Minggu Paskah II. Yesus Sendiri yang mendiktekan intensi-intensi novena untuk tiap-tiap hari. Dengan novena ini, St Faustina diminta untuk membawa kepada Hati Yesus Yang Mahakudus sekelompok jiwa-jiwa yang berbeda setiap hari dan membenamkan mereka ke dalam samudera belas kasih-Nya, mohon pada Allah Bapa - dengan mengandalkan jasa-jasa Sengsara Yesus - rahmat-rahmat bagi mereka.

Tidak seperti Novena Koronka, yang dengan jelas Tuhan kehendaki agar setiap orang mendaraskannya, Novena Kerahiman tampaknya diperuntukkan terutama bagi kepentingan pribadi St Faustina. Hal ini dapat dilihat dari perintah Tuhan, di mana Tuhan menyebutkan kata “kamu” dalam bentuk tunggal.

Namun demikian, karena St Faustina diperintahkan untuk menuliskannya, pastilah Tuhan bermaksud agar novena didoakan oleh yang lain juga. Begitu diterbitkan, novena segera menjadi sangat populer; orang banyak mendoakan novena, bukan hanya sebagai persiapan merayakan Minggu Kerahiman Ilahi, melainkan mereka mendoakannya di waktu-waktu lain juga.

Dengan mendoakan Novena kepada Kerahiman Ilahi, kita sungguh menjadikan intensi-intensi Tuhan Yesus sebagai intensi kita sendiri - sungguh suatu perwujudan nyata yang indah dari hak dan kewajiban istimewa Gereja, sebagai Mempelai Kristus, menjadi pendoa di sisi Kristus yang bertahta di atas singgasana belas kasih.

Novena kepada Kerahiman Ilahi dapat dilihat pada booklet “Devosi kepada Kerahiman Ilahi” oleh Stefan Leks; penerbit Kanisius 1993.

Koronka (Chaplet) Kerahiman Ilahi

 



Koronka berasal dari bahasa Polandia, artinya mahkota kecil atau untaian manik-manik indah yang kita hadiahkan kepada orang yang kita kasihi secara istimewa. Pada tahun 1935, St Faustina mendapat suatu penglihatan akan seorang malaikat yang diutus Tuhan untuk melaksanakan murka Allah atas dunia. St Faustina mulai berdoa mohon belas kasihan Tuhan, namun doanya tanpa kuasa di hadapan murka ilahi. Sekonyong-konyong ia melihat Tritunggal Mahakudus dan merasakan kuasa rahmat Yesus melingkupinya. Pada saat yang sama ia mendapati dirinya memohon dengan sangat belas kasih Tuhan dengan kata-kata yang ia dengar dalam batinnya. Sementara ia terus-menerus memanjatkan doa yang diinspirasikan kepadanya, malaikat pelaksana murka ilahi menjadi tak berdaya dan tak kuasa melaksanakan hukuman yang memang sudah sepantasnya. Keesokan harinya, sementara St Faustina memasuki kapel, lagi ia mendengar suara dalam batinnya, Setiap kali engkau masuk ke dalam kapel, ucapkanlah segera doa yang kemarin Ku-ajarkan kepadamu.”

Selanjutnya Yesus mengajarkan Koronka (= Rosario) Kerahiman Ilahi kepada St Faustina:

“Doa ini dimaksudkan sebagai sarana untuk memadamkan murka-Ku. Hendaknya engkau mendaraskannya selama sembilan hari pada rosario biasa dengan cara ini: Pertama-tama hendaknya engkau mengucapkan satu Bapa Kami, satu Salam Maria dan satu Aku Percaya, kemudian,

pada manik-manik “Bapa kami” hendaknya engkau berdoa:

"Bapa yang kekal,
kupersembahkan kepada-Mu
Tubuh dan Darah
Jiwa dan Ke-Allah-an
PutraMu yang terkasih,
Tuhan kami Yesus Kristus,
demi penebusan dosa-dosa kami
dan dosa seluruh dunia."

pada manik-manik “Salam Maria” hendaknya engkau berdoa:

"Demi sengsara Yesus yang pedih,
kasihanilah kami dan seluruh dunia"

Sebagai penutup hendaknya engkau mendaraskan tiga kali doa berikut:

"Allah yang Kudus,
Kudus dan berkuasa,
Kudus dan kekal,
kasihanilah kami
dan seluruh dunia' (474-476).”

Dalam penampakan-penampakan selanjutnya, Yesus menjelaskan bahwa Koronka ini tidak hanya diperuntukkan baginya, melainkan bagi seluruh dunia.

“Doronglah jiwa-jiwa untuk mendaraskan Koronka yang telah Aku berikan kepadamu (1541)…. Barangsiapa mendaraskannya akan menerima rahmat berlimpah di saat ajal (67)…. Apabila koronka ini didaraskan di hadapan seorang yang di ambang ajal, Aku akan berdiri di antara BapaKu dengan dia, bukan sebagai Hakim yang adil, melainkan sebagai Juruselamat yang Penuh Belas Kasih (1541)…. Para imam akan menganjurkannya kepada para pendosa sebagai harapan keselamatan mereka yang terakhir. Bahkan andai ada seorang pendosa yang paling keras hati sekalipun, jika ia mendaraskan koronka ini sekali saja, ia akan menerima rahmat dari belas kasih-Ku yang tak terhingga (687)…. Aku hendak menganugerahkan rahmat-rahmat yang tak terbayangkan kepada jiwa-jiwa yang percaya kepada kerahiman-Ku (687)…. Melalui Koronka ini, engkau akan mendapatkan segala sesuatu, jika yang engkau minta itu sesuai dengan kehendak-Ku (1731).”

Koronka Kerahiman Ilahi adalah doa permohonan yang merupakan kelanjutan dari Kurban Ekaristi, jadi teristimewa tepat jika didaraskan setelah kita ikut ambil bagian dalam Misa Kudus. Koronka dapat didaraskan kapan saja, tetapi Tuhan kita secara khusus mengatakan kepada St Faustina untuk mendaraskannya selama sembilan hari berturut-turut menjelang Pesta Kerahiman Ilahi yang jatuh pada hari Minggu pertama sesudah Paskah (yaitu Minggu Paskah II). “Dengan Novena [Koronka Kerahiman Ilahi], Aku akan menganugerahkan segala rahmat yang mungkin bagi jiwa-jiwa (796).”

Tepat juga mendaraskan Koronka pada “Jam Kerahiman Ilahi” - setiap jam tiga siang, guna mengenangkan wafat Kristus di salib.