Tuesday, June 16, 2015

Dairi St.Faustina: 01 - 100

(1) O, Kasih Abadi, Engkau memerintahkan supaya Gambar Kudus-Mu dilukis, dan Engkau mewahyukan kepada kami sumber kerahiman yang tak terselami. Engkau memberkati siapa saja yang menghampiri sinar-Mu dan jiwa yang serba hitam akan berubah menjadi seputih salju. O Yesus yang manis, di sinilah Engkau membangun takhta kerahiman-Mu untuk membawa sukacita dan pengharapan kepada manusia yang berdosa. Dari hati-Mu yang terbuka, ibarat dari suatu sumber yang jernih, mengalirlah penghiburan kepada hati dan jiwa yang bertobat. Semoga pujian dan kemuliaan bagi Gambar ini tidak pernah berhenti mengalir dari jiwa manusia. Semoga pujian kepada kerahiman Allah meluap dari setiap hati, kini, dan pada setiap saat, dan selama-lamanya. O Allahku.

(2) Apabila aku menatap ke masa depan, aku menjadi takut, tetapi buat apa mencebur ke dalam masa depan? Hanya saat sekarang yang berharga bagiku, sebab masa depan sama sekali belum pasti akan bertandang dalam jiwaku. Sama sekali tidak ada dalam kekuasaanku, untuk mengubah, mengoreksi, atau menambah sesuatu pada masa lampau; sebab baik orang bijak maupun para nabi tidak dapat melakukannya. Maka, apa yang telah direngkuh oleh masa lalu harus kuserahkan kepada Allah. O masa kini, engkaulah milikku sepenuhnya. Aku ingin menggunakanmu sebagaimana aku dapat. Meskipun aku lemah dan kecil, Engkau memberi aku rahmat, yakni kemahakuasaanmu. Maka, sambil berserah kepada kerahiman-Mu, aku meniti hidupku seperti seorang anak kecil, sambil setiap hari mempersembahkan kepada-Mu hatiku yang bernyala-nyala karena cinta akan kemuliaan-Mu yang semakin besar.

(3) Allah dan Jiwa-jiwa. Raja Kerahiman, bimbinglah jiwaku. Sr. Maria Faustina dari Sakramen Mahakudus. Vlnius, 28 Juli 1934.

(4) O Yesusku, karena berserah kepada-Mu, aku merangkai ribuan bunga, dan aku tahu bahwa mereka semua akan bermekaran ketika Mentari Allah bersinar atas mereka. O Sakramen yang agung dan ilahi, yang menyelubungi Allahku! Yesus, sertailah aku setiap saat, maka rasa takut tidak akan menyusup ke dalam hatiku.

(5) Allah dan Jiwa-jiwa. O Tritunggal yang mahakudus, terpujilah Engkau kini dan sepanjang segala masa. Terpujilah Engkau dalam segala karya-Mu dan dalam segala makhluk-Mu. Ya Allah, semoga keagungan kerahiman-Mu dikagumi dan dimuliakan.

(6) Aku harus menuliskan perjumpaan-perjumpaan jiwaku dengan-Mu, ya Allah, yakni perjumpaan pada saat-saat kunjungan-Mu yang istimewa. Aku harus menulis tentang Engkau, Yang Tak Terselami dalam kerahiman-Mu terhadap jiwaku yang papa. Kehendak-Mu yang kudus adalah kehidupan jiwaku. Aku telah menerima perintah ini lewat orang yang bagiku adalah wakil-Mu di bumi ini, yang mengartikan kehendak-Mu yang kudus bagiku. Yesus, Engkau melihat betapa sulit bagiku untuk menulis, betapa aku tak mampu merumuskan dengan jelas apa yang aku alami dalam jiwaku. Ya Allah, dapatkah sebuah pena menuliskan sesuatu yang sering kali tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata? Tetapi, Engkau memberiku perintah untuk menulisnya, ya Allah;  ini sudah cukup bagiku.

(7) Warsawa, 1 Agustus 1935. Masuk Biara. Sejak usia tujuh tahun, aku mengalami panggilan yang jelas dari Allah, yakni rahmat panggilan untuk hidup membiara. Pada tahun ketujuh dari hidupku itulah, untuk pertama kalinya, aku mendengar suara Allah dalam jiwaku; yakni, suatu undangan untuk menempuh kehidupan yang lebih sempurna. Tetapi, aku tidak selalu patuh kepada panggilan rahmat ini. Aku tidak menjumpai seorang pun yang dapat menjelaskan hal ini kepadaku.

(8) Aku memasuki tahun kedelapan belas dalam hidupku. Aku mengungkapkan permintaan yang tulus kepada orang tuaku untuk mendapat izin masuk biara. Orang tuaku menolak mentah-mentah. Sesudah penolakan ini, aku kembali menjalani hal-hal yang sia-sia dalam hidup ini, tanpa memperhatikan lagi panggilan rahmat itu meskipun jiwaku tidak menemukan kepuasan apa pun dalam hal-hal itu. Panggilan rahmat yang tak kunjung berhenti itu menjadi siksaan yang berat bagiku; tetapi aku berusaha menekannya dengan aneka hiburan. Dalam hati, aku mengelak dari Allah, dan dengan segenap hatiku berpaling kepada makhluk-makhluk. Tetapi, rahmat Allah berjaya dalam jiwaku.

(9) Sekali peristiwa, aku mengikuti pesta dansa bersama salah seorang saudari. Sementara setiap orang menikmati sukacita, jiwaku mengalami siksaan yang hebat. Tatkala aku mulai menari, tiba-tiba aku melihat Yesus di sisiku. Yesus tersiksa oleh rasa sakit, pakaian-Nya dilucuti, dan tampak seluruh tubuh-Nya penuh dengan luka. Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku, “Berapa lama Aku harus bersabar menunggumu dan berapa lama engkau akan terus mencobai Aku?” Pada saat itu, musik yang memesona itu tidak terdengar lagi olehku, teman-teman yang ada bersamaku hilang dari pandanganku; hanya tinggal Yesus dan aku. Aku mengambil tempat duduk di dekat saudariku tercinta, pura-pura sakit kepala untuk menutupi apa terjadi dalam jiwaku. Sesaat kemudian, diam-diam aku menyelinap keluar, meninggalkan saudariku dan semua temanku, dan aku berjalan menuju katedral St. Stanislaus Kostka.

(10) Kemudian aku mendengar kata-kata ini, “Pergilah segera ke Warsawa; di sana engkau akan masuk biara!” Aku beranjak dari doaku, pulang ke rumah, dan mengemasi barang-barang yang perlu kubawa. Sejauh aku dapat, aku menceritakan kepada saudariku apa yang terjadi di dalam jiwaku. Aku mengatakan kepadanya untuk menyampaikan selamat tinggal kepada orang tua kami, dan dengan demikian, dengan hanya membawa pakaian yang aku kenakan, tanpa membawa barang lain apa pun, aku tiba di Warsawa.

(11) Ketika aku turun dari kereta api dan menyaksikan semua orang pergi menyusuri jalan masing-masing, aku dicekam oleh rasa takut. Apa yang harus kulakukan? Kepada siapa aku harus pergi karena aku tidak mengenal seorang pun di Warsawa? Maka aku berkata kepada Bunda Allah. “Maria, tuntunlah aku, bimbinglah aku.” Serta merta, aku mendengar dalam hatiku kata-kata yang memberitahukan kepadaku agar aku meninggalkan kota dan pergi ke suatu desa yang tidak jauh dari kota itu, tempat aku akan menemukan rumah yang aman untuk bermalam. Aku berbuat demikian dan sungguh, aku menemukan segala sesuatu persis seperti yang dikatakan kepadaku oleh Bunda Allah.

(12) Pada hari berikutnya, pagi-pagi benar, aku kembali ke kota dan masuk ke gereja pertama yang aku lihat. Di sana, aku mulai berdoa untuk mengetahui lebih lanjut kehendak Allah. Misa kudus dirayakan yang satu sesudah yang lain. Dalam salah satu misa itu, aku mendengar suara, “Pergilah kepada imam itu dan katakan segala sesuatu kepadanya; ia akan memberitahukan kepadamu apa yang harus engkau lakukan kemudian.” Sesudah misa, aku pergi ke sakristi. Aku menceritakan kepada imam itu segala yang telah terjadi dalam jiwaku, dan aku minta kepadanya untuk memberikan nasihat biara manakah yang harus kumasuki.

(13) Mula-mula imam itu heran, tetapi ia menasihati aku agar sungguh-sungguh percaya bahwa Allah akan menjaga masa depanku. “Untuk sementara waktu,” katanya, “aku akan mengirim engkau kepada seorang ibu yang saleh; dengannya engkau akan tinggal sampai kamu masuk ke biara.” Ketika aku datang kepada ibu ini, ia menyambutku dengan sangat ramah. Selama aku tinggal bersamanya, aku mencari-cari suatu biara, tetapi pada pintu biara mana pun aku mengetuk, aku selalu ditolak. Kesedihan mencekam hatiku, dan aku berkata kepada Tuhan Yesus, “Tolonglah aku; jangan meninggalkan aku sendirian.” Akhirnya, aku mengetuk pintu biara kami.

(14) Ketika itu Muder Superior, sekarang Muder Jenderal Michaela, keluar menemui aku. Sesudah percakapan singkat, ia menyuruh aku pergi kepada Tuan rumah itu dan bertanya apakah Ia akan menerimaku. Aku langsung mengerti bahwa aku harus menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan penuh sukacita, aku pergi ke kapel dan bertanya kepada Yesus, “Tuan rumah ini, apakah Engkau menerima aku? Aku disuruh bertanya demikian oleh seorang dari para suster-Mu.” Sekonyong-konyong, aku mendengar suara ini, “Aku menerima engkau; engkau ada di dalam Hati-Ku.” Ketika aku keluar dari kapel, Muder Superior pertama-tama bertanya, “Nah, sudahkah Tuhan menerima engkau?” Aku menjawab, “Ya!” “Kalau Tuhan sudah menerimamu, maka aku pun akan menerimamu.”

(15) Begitulah aku diterima. Tetapi karena banyak alasan, aku masih harus tinggal di dunia selama lebih dari satu tahun bersama perempuan saleh itu, dan aku tidak kembali ke rumahku sendiri. Pada waktu itu, aku harus bergulat dengan banyak kesulitan, tetapi Allah begitu murah dengan rahmat-Nya. Suatu kerinduan yang semakin membara akan Allah mulai menguasai hatiku. Perempuan itu, walaupun sungguh saleh, tidak memahami kebahagiaan hidup membiara dan, dalam kebaikan hatinya ia mulai membuat rencana lain untuk masa depan hidupku. Tetapi, aku merasa bahwa aku memiliki hati yang begitu lapang sehingga tidak suatu pun akan mampu memenuhinya. Maka aku mengarahkan jiwaku yang penuh rindu kepada Allah.

(16) Kini, tibalah oktaf Hari Raya Tubuh Kristus. Allah memenuhi jiwaku dengan terang batin, yakni suatu pengetahuan yang amat mendalam mengenai Dia sebagai Kebaikan dan Keindahan Tertinggi. Aku mulai menyadari betapa besar cinta Allah kepadaku. Sejak kekal kasih-Nya bagiku. Itu terjadi pada suatu Ibadat Sore. Dengan kata-kata yang sederhana, yang mengalir dari hati, aku mengucapkan kepada Allah kaul kemurnian kekal. Mulai saat itu aku merasakan hubungan yang semakin mesra dengan Allah, Mempelaiku. Sejak saat itu aku selalu tinggal bersama Yesus.

(17) Akhirnya, tibalah saat pintu biara dibuka bagiku - itu terjadi pada 1 Agustus, pada petang hari, pada vigili [Pesta] Maria Ratu Para Malaikat. Aku merasa sangat bahagia; rasanya aku telah menapakkan kakiku di dalam kehidupan Firdaus. Satu-satunya doa yang menyembur dari hatiku adalah doa syukur.

(18) Tetapi, sesudah tiga pekan, aku sadar bahwa di biara itu begitu sedikit waktu untuk berdoa, dan di antara banyak hal lain yang berkecamuk dalam jiwaku adalah keinginan untuk memasuki suatu komunitas religius dengan peraturan yang lebih ketat. Gagasan ini sungguh menguasai jiwaku, tetapi kehendak Allah tidak ada di dalamnya. Tetapi gagasan itu atau lebih tepat godaan itu semakin hari menjadi semakin kuat sampai pada suatu hari aku memutuskan untuk mengungkapkan rencana itu kepada Muder Superior dan untuk seterusnya meninggalkan [biara]. Tetapi Allah mengatur situasi sedemikian rupa sehingga aku tidak dapat berjumpa dengan Muder Superior. Sebelum pergi tidur, aku melangkah masuk ke kapel kecil dan aku minta kepada Yesus supaya memberikan terang untuk memecahkan masalah ini. Tetapi, aku tidak menerima suatu pun dalam jiwaku kecuali kegelisahan aneh yang tidak aku pahami. Namun, kendati semuanya itu, aku menata hatiku untuk menghadap Muder Superior keesokan harinya tepat sesudah misa dan memberitahukan keputusanku kepadanya.

(19) Aku masuk ke kamarku. Para suster sudah tidur - lampu-lampu sudah dipadamkan. Aku masuk ke kamar dengan rasa kesedihan dan ketidakpuasan; aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan diriku. Aku merebahkan diri ke lantai dan mulai berdoa dengan mendesak agar aku boleh mengetahui kehendak Allah. Di mana-mana, terjadi keheningan seperti dalam tabernakel. Semua suster sedang beristirahat seperti Hosti putih terkumpul dalam piala Yesus. Hanya dari kamarkulah Allah dapat mendengar keluh kesah suatu jiwa. Aku tidak tahu bahwa orang tidak boleh berdoa di kamar sesudah pukul sembilan malam tanpa izin. Tak lama kemudian cahaya terang benderang meliputi kamarku, dan pada korden aku melihat wajah Yesus yang sangat bersedih. Ada luka segar pada wajah-Nya, dan air mata yang deras tercurah pada selimut penutup tempat tidurku. Tanpa memahami apa arti semua ini, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapa yang telah menyakiti Engkau demikian?” Dan Yesus menjawab, “Engkaulah yang akan menyebabkan rasa sakit-Ku ini kalau engkau meninggalkan biara ini. Ke tempat inilah Aku memanggilmu, bukan ke tempat lain, dan [di sini] Aku telah mempersiapkan banyak rahmat bagimu.” Aku memohon ampun dari Yesus dan seketika itu juga aku mengubah keputusanku. Hari berikutnya adalah hari pengakuan dosa. Aku menyampaikan semua yang telah terjadi dalam jiwaku, dan bapak pengakuan menjawab bahwa, dari semua itu, kehendak Allah sangat jelas bahwa aku harus tetap tinggal dalam Kongregasi ini dan aku bahkan tidak lagi berpikir tentang suatu Kongregasi religius lain. Sejak saat itu, aku selalu merasa bahagia dan puas.

(20) Tidak lama kemudian, aku jatuh sakit. Muder Superior yang penuh cinta mengirimku bersama dua orang suster lain untuk beristirahat di Skolimow, tidak jauh dari Warsawa. Pada saat itulah aku bertanya kepada Tuhan siapa lagi yang harus aku doakan. Yesus berkata bahwa pada malam berikutnya Ia akan memberitahukan kepadaku siapa yang harus aku doakan.

[Malam berikutnya] aku melihat Malaikat Pelindungku, yang memerintahkan aku untuk mengikuti dia. Dalam sekejap, aku berada di tempat berkabut yang penuh dengan api, di mana ada satu himpunan besar jiwa yang sedang menderita. Mereka berdoa dengan amat khusyuk bagi diri mereka sendiri, tetapi tanpa hasil bagi mereka; hanya kita yang dapat membantu mereka. Nyala yang membakar mereka sama sekali tidak menyentuhku. Malaikat Pelindungku tidak meninggalkan aku sesaat pun. Aku menanyakan kepada jiwa-jiwa itu penderitaan apa yang paling mereka rasakan. Mereka menjawab kepadaku serentak bahwa siksaan yang paling mereka rasakan adalah kerinduan akan Allah. Aku melihat Bunda Allah mengunjungi jiwa-jiwa di Purgatorium. Jiwa-jiwa itu menyebutnya “Bintang Samudra”. Ia membawa kesegaran bagi mereka. Aku ingin berbicara dengan mereka lebih lama, tetapi Malaikat Pelindungku memberi isyarat kepadaku untuk pergi. Kami keluar dari penjara yang penuh penderitaan itu. [Aku mendengar suara dari dalam hatiku] yang berkata, “Kerahiman-Ku tidak menghendaki hal ini, tetapi keadilan menuntutnya.” Sejak saat itu, aku menghayati persekutuan yang lebih erat dengan jiwa-jiwa yang menderita.

(21) Akhir masa postulat [29 April 1926). Para superiorku mengirim aku ke novisiat d Krakow. Sukacita yang tak terlukiskan menguasai jiwaku. Ketika tiba di novisiat, Suster.... sedang menghadapi sakratulmaut. Beberapa hari kemudian ia datang kepadaku dan meminta supaya aku pergi kepada Muder Pembimbing Para Novis dan mengatakan kepadanya agar ia meminta kepada bapak pengakuannya, yakni P. Rospond, untuk mempersembahkan baginya satu misa dan tiga doa panah. Mula-mula aku setuju, tetapi pada hari berikutnya aku memutuskan bahwa aku tidak akan pergi menghadap Muder Pembimbing sebab aku tidak yakin apakah ini hanya suatu mimpi atau kenyataan. Maka aku tidak pergi. Pada malam berikutnya, hal yang sama berulang dengan lebih jelas; aku tidak ragu-ragu lagi. Tetapi pagi harinya, aku masih memutuskan bahwa aku baru akan mengatakan hal itu kepada Muder Pembimbing kalau aku melihat dia pada siang hari. Sekonyong-konyong aku berjumpa dengan Suster Henryka di lorong biara. Ia mencela aku karena tidak segera pergi, dan kegelisahan yang luar biasa memenuhi jiwaku. Maka aku langsung menghadap Muder Pembimbing dan menceritakan kepadanya segala sesuatu yang telah aku alami. Muder menjawab bahwa ia akan memperhatikan hal itu. Seketika itu ketenangan menyelimuti jiwaku, dan pada hari ketiga Suster itu datang kepadaku dan berkata, “Semoga Allah membalasmu!”

(22) Pada hari aku mengenakan busana [biarawati], Allah memberitahukan kepadaku betapa banyak aku harus menderita. Dengan jelas, aku menyaksikan apa konsekuensi dari penyerahan diriku. Sejenak aku mengalami penderitaan itu. Tetapi kemudian, Allah kembali memenuhi jiwaku dengan penghiburan-penghiburan yang besar.

(23) Menjelang akhir tahun pertama novisiatku, kegelapan mulai membayangi seluruh jiwaku. Aku merasakan tidak ada penghiburan dalam doa; untuk dapat bermeditasi, aku harus berusaha sekuat tenaga; ketakutan mulai melanda hatiku. Semakin dalam aku merenungi diriku, semakin aku tidak menemukan apa-apa selain kesedihan yang mencekam. Aku pun dapat melihat dengan jelas kekudusan Allah yang agung. Aku tidak berani mengangkat mataku kepada-Nya, tetapi merebahkan diriku ke tanah ke bawah kaki-Nya dan memohon belas kasih-Nya. Hampir enam bulan jiwaku berada dalam keadaan seperti ini. Di saat-saat yang sulit ini, Muder Pembimbing kami yang terkasih membesarkan hatiku. Tetapi, semakin hari penderitaan itu semakin berat.

Tahun kedua novisiat sudah semakin dekat. Setiap kali merenungkan bahwa aku harus mengikrarkan kaul-kaulku, jiwaku merasa ngeri. Aku tidak dapat memahami apa yang sedang aku baca; aku tidak dapat bermeditasi; aku merasa bahwa doa-doaku tidak berkenan di hati Allah. Tetapi, kendati semuanya itu, bapak pengakuanku tidak mengizinkan aku melewatkan satu komuni kudus pun. Allah sedang bekerja dengan sangat aneh di dalam jiwaku. Aku tidak memahami sama sekali tentang apa yang dikatakan bapak pengakuanku kepadaku. Kebenaran-kebenaran iman yang sederhana pun menjadi sulit aku mengerti. Jiwaku sangat sedih, tidak mampu menemukan penghiburan di mana pun.

Pada titik tertentu, muncul dalam hatiku kesan yang amat kuat bahwa aku ditolak oleh Allah. Pemikiran yang mengerikan ini sangat menusuk hatiku; di tengah-tengah penderitaan itu jiwaku mulai mengalami sakratulmaut. Aku ingin mati tetapi tidak bisa. Dalam hatiku muncul pemikiran; apa gunanya mengupayakan keutamaan-keutamaan; mengapa harus bermati raga kalau semua itu ditolak oleh Allah? Ketika aku memberitahukan hal ini kepada Pembimbing para novis, aku mendapat jawaban ini, “Ketahuilah, Suster, bahwa Allah telah memilihmu untuk meraih kesucian yang tinggi. Ini adalah tanda bahwa Allah menghendaki Suster hidup sangat dekat dengan Dia di surga. Hendaknya Suster sungguh-sungguh mengandalkan Tuhan Yesus.”

Pemikiran mengerikan bahwa telah ditolak oleh Allah sungguh merupakan siksaan yang diderita oleh orang terkutuk. Aku berlari kepada luka-luka Yesus dan mengulangi kata-kata penyerahanku, tetapi kata-kata itu menimbulkan siksaan yang semakin menyakitkan dalam diriku. Aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus, dan aku mulai berbicara kepada Yesus, “Yesus, Engkau berkata bahwa lebih mudah seorang ibu melupakan bayinya daripada Allah melupakan ciptaan-Nya, dan kalaupun ada ibu yang dapat melupakan bayinya, Aku Allah, tidak pernah akan melupakan ciptaan-Ku. O Yesus, tidakkah Engkau mendengar betapa jiwaku mengeluh? Sudilah mendengarkan rintihan-rintihan yang memilukan dari anak-Mu. Aku mengandalkan Engkau, ya Allah, sebab surga dan bumi akan berlalu, tetapi sabda-Mu akan bertahan selama-lamanya.” Tetapi, aku tetap tidak menemukan saat kelegaan.

(24) Pada suatu hari ketika aku baru saja bangun dari tidur ketika aku menempatkan diriku di hadirat Allah, tiba-tiba aku diliputi rasa putus asa. Kegelapan yang pekat menyeliputi jiwaku. Aku bergulat setengah mati sampai siang hari. Sesudah tengah hari, ketakutan-ketakutan yang sungguh mengerikan mulai mencekam diriku; kekuatan fisikku mulai surut. Dengan cepat aku pergi ke kamarku, berlutut di depan salib dan mulai menangis memohon belas kasih Allah. Tetapi, Yesus tidak mendengarkan seruanku. Aku merasa kekuatan fisikku habis sama sekali. Aku jatuh lunglai di lantai, rasa putus asa melanda seluruh jiwaku. Aku merasakan siksaan yang mengerikan, yang tidak ada bedanya dengan siksaan neraka. Tiga perempat jam aku berada dalam situasi seperti itu. Aku ingin pergi dan bertemu dengan Muder Pembimbing, tetapi aku terlalu lemah. Aku ingin berteriak, tetapi aku tidak memiliki suara. Untunglah, salah seorang suster masuk ke kamarku. Mendapati aku dalam keadaan aneh seperti itu, ia langsung memberi tahu Muder Pembimbing. Seketika itu juga Muder datang. Begitu masuk ke kamarku ia berkata, “Demi ketaatan suci, bangkitlah dari lantai” Sekonyong-konyong, suatu kekuatan membangkitkan aku dari lantai dan aku berdiri tegak, dekat dengan Muder Pembimbing. Dengan kata-kata yang ramah, Muder mulai menjelaskan kepadaku, ini adalah cobaan yang diberikan kepadaku oleh Allah, katanya, “Percayalah dengan teguh; Allah itu senantiasa Bapa kita walaupun Ia menguji!”
Aku kembali melaksanakan tugas-tugasku seolah-olah aku telah keluar dari kubur; perasaanku diliputi dengan apa yang telah dialami oleh jiwaku. Dalam ibadat sore, jiwaku mengalami sakratulmaut lagi dalam kegelapan pekat yang mengerikan. Aku merasa bahwa aku berada dalam kuasa Allah yang adil, dan menjadi sasaran amarah-Nya. Pada saat yang mengerikan itu, aku berkata kepada Allah, “Yesus, dalam Injil Engkau menyamakan diri-Mu dengan seorang ibu yang penuh kasih. Aku percaya akan sabda-Mu sebab Engkaulah Kebenaran dan Kehidupan. Apa pun juga yang terjadi, ya Yesus, aku mengandalkan Engkau meskipun dalam hatiku berkecamuk perasaan yang bertentangan dengan pengharapan. Lakukanlah apa yang ingin Kaulakukan terhadapku: Aku tidak pernah akan meninggalkan Engkau sebab Engkaulah sumber hidupku.” Hanya orang yang pernah mengalami saat-saat serupa itu dapat memahami betapa mengerikan siksaan jiwa seperti itu.

(25) Pada malam hari, Bunda Allah mengunjungi aku, sambil membopong bayi Yesus. Hatiku dipenuhi dengan sukacita, dan aku berkata, “Maria, Bundaku, tahukah engkau betapa mengerikan penderitaanku?” Dan Bunda Allah menjawab, “Aku tahu betapa banyak kamu menderita, tetapi janganlah takut. Aku ikut menanggung penderitaanmu, dan aku akan selalu berbuat demikian.” Ia tersenyum ramah, lalu menghilang. Seketika itu juga, kekuatan dan keberanian yang besar muncul dalam jiwaku; tetapi itu hanya berlangsung satu hari. Tampaknya neraka sudah bersekongkol melawan aku. Suatu kebencian yang mengerikan mulai merasuki jiwaku, suatu kebencian terhadap semua yang kudus dan ilahi. Aku merasakan bahwa siksaan rohani ini akan menjadi bagianku selama sisa hidupku. Aku kembali menghadap Sakramen Mahakudus dan berkata kepada Yesus, “Yesus, mempelai jiwaku, tidakkah Engkau melihat bahwa jiwaku sedang setengah mati merindukan Engkau? Bagaimana mungkin Engkau menyembunyikan diri dari hati yang sedemikian tulus mencintai Engkau? Ampunilah aku, ya Yesus; kiranya kehendak kudus-Mu terjadi atas diri-Ku. Aku akan menanggung penderitaan ini dengan diam seperti merpati, tanpa mengeluh. Aku sama sekali tidak akan membiarkan hatiku menyerukan keluh kesah yang menyedihkan.”

(26) Akhir masa novisiat. Penderitaanku tidak surut. Karena rapuh secara fisik, aku dibebaskan dari semua latihan rohani; maksudnya, semua itu diganti dengan doa-doa seruan yang singkat. Jumat Agung - Yesus merenggut aku ke dalam kasih-Nya yang bernyala-nyala. Ini terjadi sewaktu adorasi sore. Dengan tiba-tiba, kehadiran ilahi menguasai aku, dan aku lupa akan segala sesuatu yang lain. Yesus membuat aku memahami betapa banyak Ia telah menderita bagiku. Ini berlangsung dalam waktu yang amat singkat. Aku merasakan suatu dambaan yang luar biasa - suatu kerinduan untuk mengasihi Allah.

(27) Kaul-kaul pertama. Aku merasakan kerinduan yang bernyala-nyala untuk menghampakan diri demi Allah melalui cinta yang nyata, suatu cinta yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun, termasuk oleh suster-suster yang paling akrab denganku. Tetapi, sesudah pengikraran kaul-kaul itu pun, kekelaman terus menyelubungi jiwaku selama hampir setengah tahun. Pernah terjadi ketika aku sedang berdoa, Yesus memenuhi seluruh jiwaku. Kegelapan jiwaku sirna, dan aku mendengar suara ini dari dalam hatiku, “Engkau adalah sukacita-Ku; engkau adalah nikmat hati-Ku.” Sejak saat itu, aku merasakan kehadiran Tritunggal yang mahakudus di dalam hatiku; maksudnya di dalam diriku. Aku merasakan diriku diliputi terang ilahi. Sejak saat itu, jiwaku bergaul dengan Allah seperti seorang anak dengan Bapanya yang tercinta.

(28) Pernah Yesus berkata kepadaku, “Pergilah kepada Muder Superior dan mintalah kepadanya agar ia mengizinkan engkau mengenakan pakaian yang kasar selama tujuh hari, dan sekali setiap malam engkau boleh bangun dan pergi ke kapel!” Aku menjawab, “Ya”, tetapi aku mengalami kesulitan untuk sungguh pergi kepada Muder Superior. Pada petang hari, Yesus bertanya kepadaku, “Berapa lama engkau akan menangguhkannya?” Aku memutuskan untuk berbicara dengan Muder Superior begitu aku melihat dia.

Hari berikutnya sebelum tengah hari, aku melihat Muder Superior pergi ke ruang makan. Karena dapur, ruang makan, dan kamar Suster Aloysia saling berdekatan, maka aku minta Muder Superior masuk ke kamar Suster Aloysia dan aku memberitahukan kepadanya apa yang diinginkan oleh Tuhan Yesus. Atas permintaan itu, Muder Superior menjawab, “Aku sama sekali tidak akan mengizinkan engkau mengenakan pakaian kasar. Sama sekali tidak! Kalau Tuhan Yesus mau memberi engkau kekuatan raksasa, aku akan mengizinkan mati raga itu.”

Aku minta maaf karena telah menyita waktu Muder Superior dan aku meninggalkan kamar Suster Aloysia. Pada saat itu juga aku melihat Yesus berdiri di pintu dapur, dan aku berkata kepada-Nya, “Engkau memerintahkan aku minta izin untuk mati raga ini, tetapi Muder Superior tidak mau mengizinkannya!” Yesus berkata, “Aku berada di sini selama percakapanmu dengan Muder Superior dan Aku mengetahui semuanya. Aku tidak menuntut mati raga darimu, tetapi ketaatan. Dengan ketaatan, engkau memberikan kemuliaan yang besar kepada-Ku dan memperoleh pahala bagi dirimu sendiri.”

(29) Salah seorang Muder, setelah tahu bahwa aku memiliki hubungan yang akrab dengan Tuhan Yesus, berkata kepadaku bahwa aku sedang mengkhayal. Ia berkata bahwa Tuhan Yesus bergaul akrab seperti ini hanya dengan orang-orang kudus dan tidak dengan jiwa-jiwa yang berdosa “seperti engkau, Suster!” Sesudah itu, aku menjadi kurang percaya kepada Yesus. Pada salah satu percakapan pagiku dengan Yesus, aku bertanya, “Yesus, apakah Engkau bukan hanya suatu khayalan?” Yesus menjawab, “Kasih-Ku tidak memperdayakan seorang pun!”

(30) Sekali peristiwa, aku merenung tentang Tritunggal yang mahakudus, tentang hakikat Allah. Aku sungguh-sungguh ingin mengetahui dan memahami siapa Allah itu. ... Tiba-tiba jiwaku terserap dalam apa yang tampaknya merupakan dunia yang akan datang. Aku melihat terang yang tak terhampiri, dan di dalam terang itu, tampaklah sesuatu seperti tiga sumber terang yang tidak dapat aku pahami. Dan dari dalam terang itu, terdengar suara seperti suara halilintar yang memenuhi langit dan bumi. Karena sama sekali tidak memahaminya, aku merasa sangat sedih. Tiba-tiba, dari samudra terang yang tak terhampiri itu tampil Juruselamat kita yang terkasih, yang tak terperikan indahnya dengan luka-luka-Nya yang bersinar. Dan dari balik terang itu, muncul suatu suara yang berkata, “Siapa Allah seturut hakikat-Nya, tidak seorang pun akan memahami-Nya, baik malaikat maupun manusia.” Yesus berkata kepadaku, “Kenalilah Allah dengan merenungkan sifat-sifat-Nya.” Sejenak kemudian, Ia membuat tanda salib dengan tangan-Nya dan menghilang.

(31) Sekali peristiwa, aku melihat suatu himpunan besar manusia di dalam kapel kami, di depan kapel dan di jalan sebab di dalam kapel tidak ada cukup ruang bagi mereka. Kapel itu terhias indah untuk suatu pesta. Ada banyak imam di dekat altar, dan juga suster-suster kami serta suster-suster dari banyak Kongregasi lain. Mereka semua sedang menantikan orang yang akan mengambil tempat di altar. Tiba-tiba, aku mendengar suara yang mengatakan bahwa akulah yang harus mengambil tempat di altar. Tetapi, begitu aku meninggalkan lorong untuk melintasi halaman dan masuk ke kapel, mengikuti suara yang sedang memanggilku, semua orang mulai melemparkan kepadaku apa saja yang mereka pegang: lumpur, batu, pasir, sapu, sedemikian rupa sehingga mula-mula aku ragu untuk melangkah maju. Tetapi, suara itu terus memanggilku bahkan lebih sungguh-sungguh; maka aku berjalan dengan tegar.

Ketika aku memasuki kapel, para superior, para suster, dan para siswi, bahkan orang tuaku mulai memukuli aku dengan apa pun yang dapat mereka pegang, dan dengan demikian mau atau tidak , dengan cepat aku mengambil tempat di altar. Segera sesudah aku berada di sana, orang-orang yang sama, para siswa, para suster, para superior, dan orang tuaku, semuanya mulai menadahkan tangan kepadaku sambil memohon rahmat; dan di pihakku, aku tidak memiliki dendam sedikit pun terhadap mereka karena telah melempariku dengan segala macam barang tadi, dan aku kagum karena aku merasakan suatu cinta yang sangat istimewa justru bagi orang-orang yang telah memaksaku untuk lebih cepat pergi ke tempat yang sudah ditentukan bagiku. Pada saat yang sama jiwaku dipenuhi dengan kebahagiaan yang tak terperikan, dan aku mendengar suara ini, “Lakukanlah apa pun yang engkau inginkan, dan selaras dengan kehendakmu, bagikanlah rahmat kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan kapan saja engkau mau.” Kemudian, sekonyong-konyong, penglihatan itu menghilang.

(32) Pada waktu yang lain, aku mendengar kata-kata ini, “Pergilah kepada Muder Superior dan mintalah kepadanya untuk mengizinkan engkau setiap hari melakukan adorasi selama sembilan hari. Selama adorasi ini cobalah menyatukan dirimu dalam doa dengan Bunda-Ku. Berdoalah dengan segenap hatimu dalam kesatuan dengan Maria, dan berusahalah juga dalam waktu ini melaksanakan Jalan Salib!” Aku mendapat izin meskipun tidak untuk satu jam penuh, tetapi hanya selama waktu luang yang aku miliki sesuadah aku melaksanakan tugas-tugasku.

(33) Novena itu harus kulaksanakan dengan ujud untuk tanah airku. Pada hari ketujuh novena itu, aku melihat Bunda Allah mengenakan pakaian yang cemerlang di antara surga dan bumi. Ia sedang berdoa dengan tangan terkatup di dada dan matanya menatap ke surga. Dari hatinya, terpancar sinar yang berapi-api, sebagian terpancar menuju ke surga, sedangkan sebagian yang lain menyelubungi negara kami.

(34) Ketika aku menceritakan hal ini dan sejumlah hal lain kepada bapak pengakuanku, ia berkata bahwa semua ini bisa jadi sungguh berasal dari Allah, tetapi dapat juga hanya sekadar ilusi. Karena begitu seringnya aku mengalami perubahan [tugas], aku tidak mempunyai seorang bapak pengakuan yang tetap; kecuali itu, aku memiliki kesulitan besar dalam menyampaikan hal-hal seperti itu. Aku berdoa dengan khusyuk supaya Tuhan memberiku rahmat yang besar - yakni seorang pembimbing rohani. Tetapi, doaku baru terjawab sesudah kaul kekalku ketika aku bertugas ke Vilnius. Imam itu adalah Pastor Sopocko. Allah telah memperkenankan aku melihat dia dalam suatu penglihatan batin bahkan sebelum aku tiba di Vilnius.
(35) O, seandainya aku mempunyai seorang Pembimbing rohani sejak awal, tentulah aku tidak menyia-nyiakan begitu banyak rahmat Allah! Seorang bapak pengakuan dapat sangat membantu jiwa, tetapi dapat juga sangat merusak. O, betapa seorang bapak pengakuan harus sungguh cermat dalam kaitan dengan karya rahmat Allah dalam jiwa orang-orang yang mengaku dosa kepadanya! Hal ini sungguh amat penting! Melalui rahmat yang diberikan kepada suatu jiwa, orang dapat mengetahui tingkat keakraban jiwa itu dengan Allah.

(36) Pernah aku dipanggil menghadap pengadilan Allah. Aku berdiri seorang diri di hadapan Tuhan. Yesus menampakkan diri seperti dalam Sengsara-Nya. Sesaat kemudian, luka-luka-Nya menghilang kecuali kelima luka, yakni luka pada kedua tangan, kedua kaki, dan pada lambung-Nya. Tiba-tiba aku melihat keadaan jiwaku persis seperti yang dilihat oleh Allah. Dengan jelas, aku dapat melihat semua yang tidak berkenan di hati Allah. Aku tidak tahu bahwa bahkan pelanggaran-pelanggaran yang paling kecil pun harus dipertanggungjawabkan. Suatu situasi yang luar biasa! Siapa dapat melukiskannya? Berdiri di hadapan Allah Tritunggal yang mahakudus! Yesus bertanya kepadaku, “Siapa engkau?” Aku menjawab, “Tuhan, aku ini hamba-Mu.” “Engkau bersalah, dan harus mendapat hukuman satu hari dibakar di Purgatorium.” Aku ingin langsung menceburkan diri ke dalam nyala Purgatorium, tetapi Yesus menahanku dan berkata, “Apa yang engkau pilih, menderita sekarang selama satu hari atau menderita sedikit lebih lama di bumi? Aku menjawab, Yesus, aku ingin menderita di Purgatorium, dan aku ingin juga menderita rasa sakit yang paling berat di bumi, juga kalaupun itu harus berlangsung sampai akhir dunia.”

Yesus berkata, “Cukuplah salah satu saja; engkau akan kembali ke bumi, dan di sana engkau akan banyak menderita, tetapi tidak lama; engkau akan melaksanakan kehendak-Ku dan memenuhi keinginan-keinginan-Ku, dan seorang hamba-Ku yang setia akan membantu engkau melaksanakan hal ini. Sekarang sandarkanlah kepalamu pada dada-Ku, pada hati-Ku, dan seraplah darinya kekuatan dan kemampuan untuk menanggung semua penderitaan itu sebab engkau tidak akan menemukan kelegaan, atau pertolongan, atau penghiburan di mana pun. Ketahuilah bahwa engkau harus banyak, banyak menderita, tetapi janganlah membiarkan semua ini menggentarkan engkau. Aku menyertaimu.”

(37) Tak lama kemudian aku jatuh sakit. Bagiku kerapuhan ragawi ini menjadi sekolah kesabaran. Hanya Yesus yang mengetahui betapa banyak usaha yang harus kulakukan untuk melaksanakan tugasku.

(38) Untuk memurnikan suatu jiwa, Yesus menggunakan alat apa pun yang Ia sukai. Jiwaku merasa ditinggalkan oleh semua makhluk; sering kali maksud-maksud paling baikku disalahtafsirkan oleh para suster, suatu bentuk penderitaan yang paling menyakitkan, tetapi Allah mengizinkanya, dan harus diterima sebab dengan cara ini manusia menjadi semakin menyerupai Yesus. Ada satu hal yang tidak dapat kupahami untuk waktu yang lama: Yesus memerintahkan aku memberitahukan segala sesuatu kepada para superiorku, tetapi para superiorku tidak mempercayai aku dan memperlakukan aku dengan rasa kasihan seolah-olah aku hidup dalam ilusi ataupun berkhayal.

Karena hal ini, yakni karena takut diriku diperdayakan, aku memutuskan untuk menghindari Allah secara batin karena takut berkhayal. Tetapi, rahmat Allah terus memburuku di setiap langkah, dan Allah berbicara kepadaku justru pada saat aku paling tidak mengharapkannya.

(39) Pada suatu hari, Yesus memberitahukan kepadaku bahwa Ia akan menjatuhkan hukuman atas kota yang paling indah di tanah air kami. Hukuman ini akan menjadi seperti hukuman yang dijatuhkan Allah atas Sodom dan Gomora. Aku menyaksikan murka Allah yang amat besar, dan rasa nyeri pun menyayat hatiku. Aku berdoa dalam keheningan. Tak lama kemudian, Yesus berkata kepadaku, “Putri-Ku, satukanlah dirimu erat-erat dengan-Ku selama kurban misa dan persembahkanlah Darah dan Luka-luka-Ku kepada Bapa sebagai pendamaian atas dosa-dosa kota itu. Ulangilah ini tanpa henti selama misa kudus. Lakukanlah ini selama tujuh hari!” Pada hari ketujuh, aku melihat Yesus di tengah awan cemerlang dan aku mulai memohon kepada-Nya untuk mengasihani kota itu dan seluruh negeri kami. Yesus memandang [ke bawah] dengan sangat ramah. Ketika aku menyaksikan keramahan Yesus, aku mulai memohon berkat-Nya. Serta merta Yesus berkata, “Demi engkau, aku memberkati seluruh negeri.” Dan Ia membuat tanda salib atas tanah air kami. Menyaksikan kebaikan Allah ini, suatu sukacita yang luar biasa memenuhi jiwaku.

(40) Tahun 1929. Pada suatu hari, dalam misa kudus, aku merasakan suatu kedekatan yang sangat istimewa dengan Allah, meskipun aku berusaha untuk menghindari-Nya dan melepaskan diri dari Dia. Pada beberapa kesempatan aku telah lari dari Allah karena aku tidak ingin menjadi korban roh jahat; karena orang-orang lain telah berkata kepadaku, lebih dari satu kali, bahwa begitulah halnya. Dan ketidakpastian ini berlangsung agak lama. Dalam misa kudus, sebelum komuni, kami harus membarui kaul. Ketika kami beranjak dari tempat berlutut dan mulai mendaras rumus pengikraran kaul, Yesus tiba-tiba tampak di sampingku mengenakan busana putih dengan pengikat emas di sekeliling pinggang-Nya, dan Ia berkata kepadaku, “Aku memberimu cinta yang kekal sehingga kemurnianmu tidak ternoda dan sebagai tanda bahwa kamu tidak pernah akan takluk kepada godaan-godaan yang melawan kemurnian.” Yesus menanggalkan ikat pinggang emas-Nya dan mengikatkannya pada pingganku.

Sejak saat itu, aku tidak pernah mengalami suatu serangan pun melawan keutamaan ini, baik dalam hati maupun dalam budiku. Belakangan aku mengerti bahwa ini adalah salah satu rahmat yang paling besar yang telah diperoleh Santa Perawan Maria yang tersuci bagiku karena sudah bertahun-tahun aku meminta rahmat ini dari dia. Sejak saat itu aku telah mengalami perkembangan devosiku kepada Bunda Allah. Ia telah mengajar aku bagaimana mencintai Allah secara batin dan juga bagaimana melaksanakan kehendak-Nya yang kudus dalam segala hal. O, Maria, engkau adalah sukacitaku sebab lewat engkau Allah turun ke bumi, [dan] ke dalam hatiku.

(41) Pada suatu kesempatan, aku melihat seorang hamba Allah sudah di ambang bahaya melakukan dosa berat. Aku mulai memohon kepada Allah agar berkenan menjatuhkan atas diriku semua siksaan neraka dan semua penderitaan yang Ia kehendaki asalkan imam itu dibebaskan dan direnggut dari kesempatan melakukan suatu dosa. Yesus mendengar doaku dan, seketika itu juga, aku merasakan suatu mahkota duri menancap di kepalaku. Duri-duri itu menembusi kepalaku dengan kekuatan besar langsung ke otakku. Kesakitan ini berlangsung selama tiga jam; tetapi, hamba Allah itu dibebaskan dari dosa, dan jiwanya diteguhkan oleh rahmat Allah yang istimewa.

(42) Pernah, pada Hari Natal, aku merasakan kemahakuasaan dan kehadiran Allah menyelubungi aku. Dan sekali lagi aku melarikan diri dari perjumpaan batin dengan Tuhan. Aku minta izin kepada Muder Superior untuk pergi ke Jozefinek untuk mengunjungi suster-suster di sana. Muder Superior memberi kami izin, dan kami mulai berkemas-kemas langsung sesudah makan siang. Suster-suster yang lain sudah menunggu aku di pintu biara ketika aku berlari ke kamarku untuk mengambil mantolku. Dalam perjalananku kembali ketika aku melewati pintu kapel kecil, aku melihat Yesus berdiri di ambang pintu. Ia berkata kepadaku, “Pergilah, tetapi aku mengambil hatimu!” Tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak mempunyai hati di dalam dadaku. Tetapi, para suster memperolok-olokku bahwa aku berat hati untuk pergi, sambil berkata bahwa saatnya sudah terlambat, maka aku buru-buru pergi bersama mereka. Tetapi, suatu perasaan tidak nyaman menyelubungi hatiku, dan suatu kerinduan yang aneh menyerang jiwaku meskipun tidak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi dalam diriku kecuali Allah.

Sesudah kami tiba di Jozefinek, baru beberapa menit, aku berkata kepada para suster, “Mari kita pulang!” Para suster minta sekurang-kurangnya istirahat sejenak, tetapi hatiku tidak tenang. Aku menjelaskan bahwa kami harus kembali sebelum hari gelap; dan karena jarak yang harus kami tempuh agak jauh, serta merta kami berangkat pulang. Ketika Muder Superior berpapasan dengan kami di lorong biara, ia bertanya kepadaku, “Apakah suster-suster ini belum berangkat, atau malah sudah kembali?” Aku berkata bahwa kami sudah kembali karena aku tidak ingin kembali di petang hari. Aku menanggalkan mantolku dan langsung pergi ke kapel kecil. Begitu aku masuk, Yesus berkata kepadaku, “Pergilah ke Muder Superior dan katakan kepadanya bahwa engkau kembali, bukan untuk sampai di rumah sebelum gelap, tetapi karena Aku telah mengambil hatimu.” Meskipun hal ini amat sulit bagiku, aku pergi kepada Muder Superior, dan aku mengatakan kepadanya terus terang alasan yang sesungguhnya mengapa aku begitu cepat kembali, dan aku minta maaf dari Tuhan atas segala sesuatu yang telah tidak menyenangkan hati-Nya, maka Yesus memenuhi hatiku dengan sukacita yang besar. Aku mengerti bahwa lepas dari Allah tidak ada kepuasan di mana pun.

(43) Sekali peristiwa, aku melihat dua orang suster yang hampir masuk ke neraka. Kesakitan yang sulit diungkapkan mencekam jiwaku; aku berdoa kepada Allah bagi mereka, dan Yesus berkata kepadaku, “Pergilah kepada Muder Superior dan katakan kepadanya bahwa kedua suster itu ada dalam bahaya melakukan dosa besar!”  Keesokan harinya aku menyampaikan hal ini kepada Muder Superior. Satu dari mereka sudah sungguh-sungguh menyesal sedangkan yang lain sedang bergulat hebat.

(44) Pada suatu hari, Yesus berkata kepadaku, “Aku akan meninggalkan rumah ini.... sebab di sini ada hal-hal yang tidak menyenangkan hati-Ku.” Sebuah Hosti keluar dari tabernakel dan hinggap di tanganku dan aku, dengan penuh sukacita, mengembalikannya ke dalam tabernakel. Kejadian itu terulang untuk kedua kalinya, dan aku melakukan hal yang sama. Kendati hal itu, terjadi lagi untuk ketiga kalinya, tetapi Hosti itu berubah menjadi Tuhan Yesus yang hidup, yang berkata kepadaku, “Aku tidak mau tinggal di sini lebih lama lagi!” Pada saat itu, secara mendadak suatu cinta yang membara terhadap Yesus muncul dalam jiwaku. Aku menjawab, “Dan aku, aku tidak akan membiarkan Engkau meninggalkan rumah ini, Yesus!” Maka Yesus pun menghilang sementara Hosti itu tetap berada di tanganku. Sekali lagi aku mengembalikannya ke dalam sibori dan menutupnya di dalam tabernakel. Dan Yesus tinggal bersama kami. Aku berusaha melaksanakan tiga hari adorasi penyilihan.

(45) Sekali peristiwa Yesus berkata kepadaku, “Katakan kepada Muder Jenderal bahwa di rumah ini ... sedang terjadi hal ini dan hal itu ... yang tidak berkenan kepada-Ku dan sangat menggusarkan Hati-Ku!” Aku tidak langsung menyampaikan hal itu kepada Muder, tetapi ketidaknyamanan yang dibiarkan Tuhan terjadi di dalam hatiku dan tidak memungkinkan aku menunggu lebih lama lagi, dan aku langsung menulis kepada Muder Jenderal, dan damai kembali ke dalam jiwaku.

(46) Aku sering merasakan sengsara Tuhan Yesus dalam tubuhku, meskipun hal itu tidak dapat dilihat [oleh orang lain], dan aku bersukacita karenanya sebab Yesus menghendaki demikian. Tetapi, ini berlangsung hanya dalam waktu yang singkat. Penderitaan-penderitaan ini mengobarkan jiwaku dengan cinta akan Allah dan akan jiwa-jiwa yang kekal. Cinta menanggung segala sesuatu, cinta lebih kuat daripada maut, cinta tidak takut akan suatu pun..

22 Februari 1931
(47) Sore itu ketika aku berada di dalam kamarku, aku melihat Tuhan Yesus berpakaian jubah putih. Tangan kanan-Nya terangkat seperti sikap memberi berkat, sedangkan tangan kiri-Nya menyentuh jubah-Nya pada bagian dada. Dari balik jubah itu, terpancarlah dua sinar besar: yang satu berwarna merah dan yang lain berwarna pucat. Dalam keheningan aku terus menatap Tuhan; jiwaku tersentak oleh rasa takut, tetapi juga oleh sukacita yang besar. Tidak lama kemudian, Yesus berkata kepadaku, “Lukislah sebuah gambar tepat seperti yang engkau lihat ini, dengan tulisan di bawahnya: Yesus, Engkau Andalanku! Aku ingin supaya gambar itu dihormati mula-mula di kapelmu, dan [kemudian] di seluruh dunia.”

(48) “Aku berjanji bahwa jiwa yang menghormati gambar itu tidak akan binasa. Aku menjanjikan juga bahwa sudah sejak di dunia ini ia akan mengalahkan musuh-musuh[nya], khususnya pada saat kematian. Aku sendiri akan membelanya bagaikan kemuliaan-Ku sendiri.”

(49) Ketika aku menyampaikan hal ini kepada bapak pengakuanku, aku mendapat jawaban ini, “Hal itu dimaksudkan untuk jiwamu.” Ia berkata kepadaku, “Jelasnya, lukislah gambar Allah di dalam jiwamu.” Ketika aku keluar dari kamar pengakuan, sekali lagi aku mendengar suara seperti ini, “Gambar-Ku sudah ada di dalam jiwamu. Aku merindukan adanya Pesta Kerahiman. Aku mengkehendaki agar gambar yang akan engkau lukis dengan kuas itu diberkati secara meriah pada hari Minggu pertama sesudah Paskah; Hari Minggu itu harus menjadi Pesta Kerahiman.”

(50) ”Aku menghendaki agar para imam berkothbah tentang kerahiman-Ku yang besar terhadap jiwa-jiwa orang berdosa. Orang berdosa jangan takut menghampiri Aku. Nyala kerahiman sedang membakar Aku. Aku ingin mencurahkannya atas jiwa-jiwa itu.” Yesus mengeluh kepadaku dengan kata-kata ini, “Ketidakpercayaan di pihak jiwa-jiwa sungguh menyayat-nyayat hati-Ku. Lebih menyakitkan lagi ketidakpercayaan jiwa yang telah Kupilih. Meskipun cinta-Ku kepada mereka tidak terhingga, mereka tetap tidak mempercayai Aku. Bahkan kematian-Ku mereka anggap belum cukup. Celakalah jiwa yang menyalahgunakan [karunia-karunia] ini.”

(51) Ketika aku menyampaikan hal ini kepada Muder Superior bahwa Allah telah meminta hal itu dariku, ia menjawab bahwa Yesus mestinya memberikan suatu tanda supaya dapat diketahui dengan lebih jelas.
Ketika aku minta kepada Tuhan Yesus untuk memberikan suatu tanda sebagai bukti - bahwa Engkau sungguh Allahku dan Tuhanku, dan bahwa permintaan ini datang dari Engkau, - aku mendengar suara ini di dalam hatiku, “Aku akan menjelaskan semua ini kepada Muder Superior lewat rahmat yang akan Kuberikan melalui gambar ini.”
(52) Ketika aku berusaha menghindar dari ilham-ilham batin ini, Allah berkata kepadaku bahwa pada hari penghakiman Ia akan menuntut dariku tanggung jawab atas sejumlah besar jiwa.
(53) Pernah, aku merasa keletihan karena beragam kesulitan yang menimpa aku berhubung dengan apa yang telah dikatakan Yesus kepadaku dan apa yang Ia tuntut dariku untuk melukis gambar ini. Maka aku menata pikiranku untuk mendekati P. Andrasz sebelum aku mengikrarkan kaul kekal, dan untuk minta kepadanya supaya membebaskan aku dari semua inspirasi batin ini dan dari kewajiban untuk melukis gambar ini. Sesudah mendengarkan pengakuanku, Pater Andrasz memberikan jawaban ini kepadaku, “Aku tidak membebaskan Suster dari apa pun; tidaklah tepat bagi Suster untuk menghindar dari aspirasi batin ini, tetapi mutlak perlu - saya tegaskan lagi, mutlak - Suster berbicara dengan bapak pengakuanmu; kalau tidak, suster akan sesat biarpun diberi banyak rahmat ilahi. Untuk sementara Suster datang kepadaku untuk mengaku dosa, tetapi ketahuilah, Suster harus memiliki seorang bapak pengakuan yang tetap; yakni seorang pembimbing rohani.”
Karena kata-kata itu, aku menjadi sangat gelisah. Aku pikir aku akan dibebaskan dari segala sesuatu, dan yang terjadi justru sebaliknya suatu perintah jelas untuk mengikuti perintah Yesus. Dan sekarang masih ada siksaan lain karena aku tidak memiliki seorang bapak pengakuan yang tetap. Meskipun aku pergi kepada bapak pengakuan yang sama untuk suatu masa tertentu, aku tidak dapat membuka jiwaku kepadanya dalam kaitan dengan semua rahmat ini, dan ini menimbulkan rasa sakit yang tak terperikan dalam diriku. Maka aku minta kepada Yesus untuk memberikan rahmat ini kepada orang lain sebab aku tidak tahu bagaimana menggunakannya dan hanya menyia-nyiakannya. “Yesus, kasihanilah aku; janganlah mempercayakan hal-hal yang sedemikian besar kepadaku karena Engkau tahu bahwa aku ini hanyalah sebutir debu.”
Tetapi, kebaikan Yesus itu tidak terbatas; Ia telah menjanjikan kepadaku pertolongan yang kasat mata di bumi ini, dan tidak lama kemudian aku menerimanya di Vilnius, dalam diri Pastor Sopocko. Aku sudah mengenal dia sebelum aku datang ke Vilnius, dalam suatu penglihatan batin. Puji Tuhan! Suatu hari, aku melihat dia di kapel kami, di antara altar dan ruang pengakuan, dan tiba-tiba aku mendengar suara dalam jiwaku yang berkata, “Inilah bantuan kasat mata bagimu di bumi ini. Ia akan membantu engkau melaksanakan kehendak-Ku di bumi ini.”
(54) Suatu hari, dalam keadaan letih karena semua ketidakpastian itu, aku bertanya kepada Yesus, “Yesus, benarkah Engkau ini Allahku atau salah satu jenis hantu? Sebab para Muder Superiorku berkata bahwa semua itu hanya ilusi dan khayalan. Kalau Engkau sungguh Allahku, aku mohon kepada-Mu untuk memberkati aku.” Maka Yesus membuat tanda salib besar atas diriku dan aku pun membuat tanda salib pada diriku. Ketika aku minta ampun dari Yesus atas pertanyaan itu, Ia menjawab bahwa pertanyaanku itu sama sekali tidak menggusarkan Hati-Nya dan bahwa kepercayaanku sangat menyenangkan Dia.
(55) 1933. Nasihat rohani yang diberikan kepadaku oleh Pastor Andrasz, SJ.
Pertama: Suster tidak boleh menghindar dari inspirasi batin ini, tetapi katakanlah selalu semua itu kepada bapak pengakuanmu. Kalau Suster yakin bahwa inspirasi batin itu tidak hanya berkaitan dengan dirimu sendiri, artinya semua itu bermanfaat untuk jiwamu dan untuk jiwa-jiwa lain, aku mendesak Suster untuk mengikutinya; Suster tidak boleh mengabaikannya, tetapi selalu melakukannya dengan berkonsultasi dengan bapak pengakuanmu.
Kedua: Kalau inspirasi batin itu tidak selaras dengan iman dan semangat Gereja, harus langsung ditolak sebagai sesuatu yang datang dari roh jahat.
Ketiga: Kalau inspirasi itu tidak berkaitan dengan jiwa-jiwa pada umumnya, atau tidak sungguh bermanfaat bagi mereka, Suster hendaknya tidak menanggapinya terlalu serius, dan kiranya akan lebih baik untuk mengabaikannya.
Tetapi, hendaknya Suster tidak mengambil keputusan seorang diri sebab dengan mudah akan tersesat meskipun rahmat-rahmat ilahi yang besar. Rendah hatilah, rendah hatilah, dan sekali lagi rendah hatilah, karena manusia tidak dapat berbuat suatu pun dari dirinya sendiri; segala sesuatu itu murni karena rahmat Allah.
Suster berkata kepadaku bahwa Allah menuntut kepercayaan yang besar dari jiwa-jiwa; maka, Suster harus menjadi orang pertama yang menunjukkan kepercayaan itu.
Dan satu kata lagi - terimalah semua ini dengan pikiran yang jernih.
Inilah kata-kata dari salah seorang bapak pengakuan, “Suster, Allah sedang mempersiapkan banyak rahmat istimewa bagimu, tetapi berusahalah membuat hidupmu sebening tetes air mata di hadapan Tuhan, dengan tanpa memperdulikan apa yang dipikirkan orang lain tentang Suster. Biarlah Allah cukup bagimu; hanya Dia.”
Menjelang akhir novisiatku, seorang bapak pengakuan berkata kepadaku, “Gunakanlah seluruh hidupmu untuk melakukan yang baik sehingga aku dapat menulis pada lembaran-lembaran hidupmu: ‘Ia menggunakan seluruh hidupnya untuk berbuat baik.’ Kiranya Allah mewujudkan semua ini dalam diri Suster.”
Pada waktu yang lain bapak pengakuan berkata kepadaku, “Bersikaplah di hadapan Allah seperti janda miskin dalam Injil, meskipun uang yang ia masukkan ke dalam peti persembahan itu kecil nilainya, di hadapan Allah nilainya jauh lebih tinggi daripada semua persembahan besar dari orang-orang yang lain.”
Pada kesempatan lain aku mendapat nasihat ini, “Berusahalah supaya semua yang datang bertemu denganmu akan pergi dengan penuh sukacita. Taburkanlah harumnya kebahagiaan di sekitarmu sebab kamu telah menerima banyak hal dari Allah; jadi, berilah dengan murah hati kepada orang lain. Hendaknya mereka meninggalkan kamu dengan hati yang lebih bahagia, juga kalaupun mereka hanya menyentuh pinggir jubahmu. Camkanlah baik-baik kata-kata yang saat ini kusampaikan kepadamu.”
Pada kesempatan lain, ia masih memberiku anjuran berikut ini, “Biarlah Allah mendorong perahumu ke tempat yang dalam, menuju lubuk kehidupan batin yang tak terselami.”
Inilah beberapa kata dari suatu percakapan yang aku adakan dengan Muder Pembimbing menjelang akhir masa novisiatku, “Suster, biarlah kesederhanaan dan kerendahan hati menjadi ciri khas jiwamu. Jalanilah hidupmu bagaikan seorang anak kecil, yang selalu percaya, selalu polos dan rendah hati, puas dengan segala sesuatu, ceria dalam segala situasi. Sementara orang lain diliputi ketakutan, Suster akan melangkah dengan tenang, berkat kesederhanaan dan kerendahan hati. Suster, ingatlah ini sepanjang seluruh hidupmu sebagaimana air mengalir dari gunung turun ke lembah-lembah, demikian juga rahmat Allah mengalir hanya ke dalam jiwa-jiwa yang rendah hati.”
(56) Ya, Allahku, aku sungguh paham bahwa Engkau menuntut sikap kanak-kanak rohani ini dariku sebab lewat wakil-wakil-Mu Engkau terus menerus memintanya dariku.
Pada awal kehidupan religiusku, penderitaan dan kesengsaraan membuat aku takut dan berkecil hati. Maka aku berdoa terus menerus, memohon kepada Yesus untuk menguatkan diriku dan memberikan kekuatan Roh Kudus-Nya supaya aku dapat melaksanakan kehendak kudus-Nya dalam segala hal sebab sejak semula aku telah menyedari kerapuhanku. Aku tahu dengan baik seperti apa diriku sebab untuk maksud inilah Yesus telah membuka mata jiwaku; aku ini jurang kepapaan, dan berkat itu aku memahami bahwa apa pun yang baik yang ada dalam jiwaku, itu hanya karena rahmat-Nya yang kudus. Pada saat yang sama, kesadaran akan kepapaan pribadiku membuat aku menyadari besarnya kerahiman-Mu. Dalam kehidupan batinku, dengan mata yang satu aku memandang jurang kepapaan dan kehinaanku, sedangkan dengan mata yang lain aku memandang dalamnya kerahiman-Mu, ya Allah.
(57) O Yesusku, Engkaulah kehidupanku. Engkau tahu dengan baik bahwa yang aku dambakan tidak lain adalah kemuliaan nama-Mu dan supaya jiwa-jiwa datang untuk mengenal kebaikan-Mu. O Yesus, mengapa jiwa-jiwa menghindari Engkau? - Aku tidak mengerti. O, andaikan aku dapat memotong-motong hatiku menjadi potongan-potongan kecil dan mempersembahkan kepada-Mu, ya Yesus, setiap potongan sebagai satu hati penuh dan utuh, supaya biarpun sebagian saja menjadi penyilihan atas hati orang yang tidak mencintai Engkau! Yesus, aku mencintai Engkau dengan setiap tetes darahku, dan aku ingin dengan senang hati mencurahkan darahku demi Engkau untuk memberikan kepada-Mu suatu bukti dari kesungguhan cintaku. O Allah, semakin baik aku memahami Engkau, semakin kurang rasanya aku mengenal Engkau, tetapi “ketidaktahuan” ini memungkinkan aku menyadari betapa agunglah Engkau! Dan kemustahilan untuk mengenal Engkau inilah yang kembali menyalakan hatiku bagi-Mu, O Tuhanku. Sejak saat Engkau membiarkan aku menambatkan mata jiwaku kepada-Mu, O Yesus, aku telah menikmati ketenangan dan tidak menginginkan sesuatu lain apa pun. Aku menyadari nasibku pada saat jiwaku kehilangan dirinya di dalam Engkau, satu-satunya sasaran cintaku. Dibandingkan dengan Engkau, segala sesuatu itu hampa belaka. Penderitaan, permusuhan, penghinaan, kegagalan dan kecurigaan yang menghadang jalanku adalah ibarat serpihan-serpihan kayu yang membuat api cintaku bagi-Mu, O Yesus, tetap berkobar.
Keinginan-keinginanku sungguh gila dan tak mungkin dicapai. Aku ingin menyembunyikan dari Engkau bahwa aku sedang menderita. Aku ingin tidak pernah mendapat penghargaan atas usaha-usahaku dan atas perbuatan-perbuatan baikku. Engkau sendirilah, ya Yesus, satu-satunya ganjaran bagiku; Engkau sendiri sudah cukup, o Harta Karun hatiku! Dengan tulus aku ingin ikut serta dalam penderitaan sesamaku dan aku ingin menyembunyikan penderitaanku sendiri, tidak hanya dari mereka, tetapi juga dari Engkau, Yesus.
Penderitaan adalah suatu rahmat yang besar; lewat penderitaan, jiwa menjadi seperti Juru Selamat; dalam penderitaan, cinta menjadi kenyataan; semakin berat penderitaan, semakin murnilah cinta.
(58) Pada suatu malam, seorang suster yang telah meninggal dua bulan sebelumnya datang kepadaku. Dia adalah seorang suster dari kelompok kor pertama. Aku melihat dia dalam keadaan yang mengerikan, seluruh tubuhnya terbakar dengan wajahnya dipenuhi luka yang menyakitkan. Penglihatan ini terjadi dengan sekejap, dan kemudian ia menghilang. Suatu rasa ngeri menyelimuti jiwaku sebab aku tidak tahu apakah ia menderita di Purgatorium atau di neraka. Bagaimanapun aku menggandakan doa-doaku baginya. Malam berikutnya ia datang lagi, tetapi aku melihatnya dalam keadaan yang bahkan lebih mengerikan, di tengah-tengah nyala api yang lebih berkobar-kobar, dan rasa putus asa terlukis di seluruh wajahnya. Aku heran melihat dia dalam keadaan yang lebih buruk sesudah doa-doa yang kupanjatkan baginya, dan aku bertanya, “Tidakkah doa-doaku membantumu?” - Ia menjawab bahwa doa-doaku tidak membantu dia dan bahwa tidak ada suatu pun yang akan dapat membantu dia. - Aku bertanya, “Dan doa yang dipanjatkan seluruh komunitas bagimu, tidakkah semua itu memberikan bantuan bagimu?” - Ia berkata tidak, sebab doa-doa itu telah membantu jiwa-jiwa yang lain. Aku menyahut, “Suster, kalau doa-doaku tidak menolongmu, aku mohon jangan lagi datang kepadaku.” Seketika itu juga ia menghilang. Meskipun demikian, aku tetap berdoa.
Sesudah beberapa lama ia datang lagi kepadaku pada waktu malam, tetapi penampilannya sudah berubah. Tidak ada lagi nyala api, seperti sebelumnya, dan wajahnya kini bersinar, matanya memancarkan sukacita. Ia memberitahukan kepadaku bahwa aku memiliki cinta sejati kepada sesamaku dan bahwa banyak jiwa lain telah mendapat pertolongan dari doa-doaku. Ia mendesak aku untuk terus menerus berdoa bagi jiwa-jiwa di Purgatorium, dan ia menambahkan bahwa ia sendiri tidak akan tinggal di Purgatorium lebih lama lagi. Betapa mengagumkan keputusan Allah!
(59) Tahun 1933. Pada suatu kesempatan, aku mendengar suara ini di dalam jiwaku. “Lakukanlah novena untuk tanah airmu. Novena ini hendaknya terdiri atas pendarasan Litani Orang Kudus. Mintalah izin kepada bapak pengakuanmu!” Aku mendapat izin pada pengakuanku berikutnya dan aku memulai novena langsung pada petang itu.
(60) Menjelang akhir litani, aku melihat suatu sinar cemerlang dan di tengah-tengahnya, tampak Allah Bapa. Di antara bumi dan sinar cemerlang ini, aku melihat Yesus, terpaku pada salib sedemikian rupa sehingga kalau Allah ingin memandang bumi, Ia harus memandangnya melalui luka-luka Yesus. Dan aku mengerti bahwa demi Yesuslah Allah memberkati bumi.
(61) O Yesus, aku bersyukur kepada-Mu atas rahmat agung ini; yakni, bahwa Engkau sendiri telah berkenan memilih seorang bapak pengakuan bagiku, dan bahwa Engkau telah membuat aku mengenalnya melalui penglihatan, bahkan sebelum aku berjumpa dengannya. Ketika aku mengaku dosa pada Pastor Andrasz, aku berpikir bahwa aku akan dibebaskan dari kewajiban untuk mengikuti inspirasi-inspirasi batin ini. Pastor Andrasz menjawab bahwa ia tidak dapat membebaskan aku darinya, “Tetapi Suster, berdoalah agar diberi seorang pembimbing rohani.”
Tidak lama sesudah suatu doa yang khusyuk, aku melihat Pastor Sopocko untuk kedua kalinya di dalam kapel kami, antara ruang pengakuan dan altar. Waktu itu, aku berada di Krakow. Dua penglihatan ini membesarkan semangatku, apalagi ketika aku berjumpa dengan dia persis seperti aku telah melihat dia dalam penglihatan-penglihatan, yang pertama di Warsawa waktu probasiku yang ketiga, dan yang kedua di Krakow. O Yesus, aku bersyukur kepada-Mu karena rahmat yang agung ini!
Sekarang, apabila kadang-kadang aku mendengar orang berkata bahwa mereka tidak memiliki bapak pengakuan, maksudnya seorang pembimbing rohani, ketakutan menguasai hatiku. Sebab aku tahu dengan sangat baik betapa besarnya kerugian yang harus kutanggung selama aku tidak memiliki bapak pengakuan. Begitu mudah orang tersesat apabila tidak memiliki seorang pembimbing!
(62) O Kehidupan yang monoton dan membosankan, betapa banyaknya harta yang kaumiliki! Apabila kau memperhatikan segala sesuatu dengan mata iman, tidak ada dua jam pun yang persis sama, dan monoton serta kebosanan itu pun menghilang. Rahmat yang diberikan kepadaku pada jam ini tidak akan terulang pada jam berikutnya. Bisa saja rahmat itu diberikan lagi kepadaku, tetapi kiranya itu bukan rahmat yang sama. Waktu terus berjalan, tidak pernah kembali lagi. Apa pun yang terkandung di dalamnya tidak pernah akan berubah; ia dimeteraikan dengan suatu meterai kekal.
(63) Pastor Sopocko pasti sangat dikasihi oleh Allah. Aku mengatakan hal ini karena aku sendiri telah mengalami betapa banyak Allah membela dia pada kesempatan-kesempatan tertentu. Ketika aku menyaksikan hal ini, aku sangat bersukacita bahwa Allah memiliki orang-orang pilihan seperti dia.
(64) Wisata ke Kalwaria. Tahun 1929. Aku tiba di Vilnius untuk selama dua bulan menggantikan seorang suster yang telah pergi untuk probasi ketiganya. Namun, aku tinggal lebih dari dua bulan. Pada suatu hari, Muder Superior karena ingin memberiku sedikit kesenangan, memberiku izin, bersama seorang suster lain, pergi ke Kalwaria untuk “napak tilas,” sebagaimana biasa mereka katakan. Saya sangat bersukacita. Meskipun perjalanan itu tidak terlalu jauh, Muder Superior menghendaki agar kami pergi dengan kapal sungai. Petang itu Yesus berkata kepadaku, “Aku menghendaki engkau tinggal di rumah!” Aku menjawab, “Yesus, segala sesuatu sudah disiapkan bagi kami untuk berangkat besok pagi; apa yang harus kulakukan sekarang?” Tuhan menjawab, “Perjalanan ini akan merugikan jiwamu.” Aku menjawab kepada Yesus, “Engkau dapat menemukan jalan keluar. Aturlah segala sesuatu sedemikian rupa sehingga kehendak-Mu akan terlaksana!” Pada saat itu, terdengarlah bunyi bel tanda waktu untuk pergi tidur. Sekilas aku memandang Yesus, lalu pergi ke kamarku.
Keesokan harinya, cuaca sangat indah, dan rekan susterku penuh dengan sukacita membayangkan kenikmatan besar yang akan kami alami dalam menyaksikan segala pemandangan. Tetapi, aku yakin bahwa aku tidak akan pergi meskipun sejauh itu tidak ada halangan apa pun.
Kami harus menyambut komuni kudus lebih awal dan berangkat langsung sesudah doa syukur. Tetapi pada waktu komuni, mendadak cuaca berubah. Awan kelam menutupi langit, dan hujan turun dengan amat lebat. Setiap orang heran akan perubahan cuaca yang begitu mendadak.
Muder Superior berkata kepadaku, “Suster-suster, saya sangat sedih bahwa kamu tidak dapat pergi!” Aku menjawab, “Muder, sungguh tidak masalah bahwa kami tidak dapat pergi; Allah menghendaki agar kami tetap di rumah.” Tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa karena keinginan Yesus sendirilah aku harus tinggal di rumah. Aku mengisi seluruh hari itu untuk hening dan bermeditasi, sambil bersyukur kepada Tuhan karena telah menahan aku di rumah. Pada hari itu Allah memberi banyak penghiburan surgawi.
(65) Pada suatu waktu di masa novisiat ketika Muder Pembimbing menyuruhku bekerja di dapur, aku sangat binggung karena aku tidak biasa menangani panci-panci yang sangat besar. Tugas paling sulit bagiku adalah menuangkan air dari [panci berisi] kentang; kadang-kadang separo kentangnya tumpah. Ketika aku menyampaikan hal ini kepada Muder Pembimbing, ia berkata bahwa dengan berjalannya waktu aku akan menjadi biasa dengan pekerjaan itu dan memperoleh ketrampilan yang diperlukan. Tetapi, tugas itu tidak menjadi lebih mudah, sementara setiap hari kondisi tubuhku menjadi semakin lemah. Maka, aku selalu menghindar apabila tiba saatnya menuangkan air dari [panci berisi] kentang. Para suster memperhatikan bahwa aku menghindari tugas ini dan sangat heran. Mereka tidak tahu bahwa aku tidak dapat menolong biarpun aku mengerahkan seluruh tenaga dan tidak peduli akan diriku sendiri. Pada tengah hari ketika berlangsung pemeriksaan batin, aku mengeluh kepada Allah mengenai kerapuhan tubuhku. Maka aku mendengar suara berikut di dalam jiwaku, “Mulai hari ini, engkau akan melakukannya dengan mudah; Aku akan menguatkan engkau.”
Petang itu ketika tiba waktunya untuk menuangkan air dari [panci berisi] kentang, aku bergegas menjadi orang pertama yang melakukannya karena aku percaya akan kata-kata Tuhan. Aku mengangkat panci dengan mudah dan menuangkan air dengan sempurna. Tetapi ketika aku mengangkat tutupnya untuk membiarkan uap air kentang-kentang itu keluar, aku melihat dalam paci itu, bukan kentang melainkan suatu rangkaian penuh bunga mawar merah, indah tak terlukiskan. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti itu sebelumnya. Karena sangat heran dan tak mampu memahami makna semua ini, aku mendengar suara dalam hatiku yang berkata, “Aku mengubah pekerjaan yang sedemikian berat bagimu menjadi buket-buket bunga yang amat indah, dan keharumannya naik ke takhta-Ku.” Sejak itu, aku berusaha menuangkan air kentang sendiri, tidak hanya selama pekan aku mendapat giliran memasak tetapi juga untuk menggantikan suster-suster lain kalau tiba giliran mereka. Dan aku tidak hanya mampu melakukannya, tetapi aku berusaha menjadi orang pertama yang menolong dalam setiap tugas lain yang berat sebab aku telah mengalami betapa pekerjaan ini sangat berkenan di hati Allah.
(66) O harta yang tak kunjung habis, yakni kemurnian yang mendasari setiap intensi, yang membuat semua perbuatan menjadi sempurna dan berkenan di hati Allah!
O Yesus, Engkau tahu betapa rapuhlah aku; maka tinggallah selalu bersamaku; bimbinglah tingkah lakuku dan seluruh jalan hidupku. Engkau, ya Guruku yang paling baik! Yesus, aku sungguh ketakutan karena aku sadar akan kekuranganku, tetapi serentak hatiku menjadi tenang karena kerahiman-Mu yang tak terhingga, yang melampaui kekuranganku, seperti kebakaan melampaui segala kefanaan. Keterbukaan jiwa ini memenuhi hatiku dengan kekuatan-Mu. O sukacita yang mengalir dari pengenalan akan diri sendiri! O Kebenaran yang tidak berubah, Engkau bertahan selama-lamanya!
(67) Sekali peristiwa, sesudah kaul pertamaku, aku jatuh sakit. Ketika, kendati perawatan yang cermat dan saksama dari para superior serta usaha dokter, aku tidak merasa semakin baik atau semakin buruk, telingaku mulai mendengar suara yang menyimpulkan bahwa aku kurang percaya. Dengan itu, penderitaanku berlipat ganda, dan hal ini berlangsung agak lama. Pada suatu hari, aku mengeluh kepada Yesus bahwa aku menjadi beban bagi para suster. Yesus menjawabku, “Engkau hidup bukan untuk dirimu sendiri tetapi untuk jiwa-jiwa, dan jiwa-jiwa lain akan mendapat pahala dari penderitaanmu. Penderitaanmu yang berkepanjangan akan memberi mereka terang serta kekuatan untuk menerima kehendak-Ku.”
(68) Penderitaan paling berat bagiku adalah perasaan bahwa, baik doa-doaku maupun perbuatan-perbuatan baikku tidak diperkenan oleh Allah. Aku tidak berani mengangkat mataku ke langit. Ini mengakibatkan dalam diriku penderitaan yang sedemikian berat waktu latihan rohani komunitas di kapel. Sesudah latihan rohani itu, Muder Superior memanggil dan berkata kepadaku, “Suster, mintalah rahmat dan penghiburan dari Allah sebab aku dapat melihat sendiri, dan para suster terus menerus mengatakan kepadaku, bahwa pandangan matamu membangkitkan keprihatinan. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan denganmu, Suster. Aku memerintahkan kepadamu untuk berhenti menyiksa diri tanpa alasan.”
Tetapi, semua pembicaraan dengan Muder Superior ini tidak mendatangkan kelegaan dalam hatiku, juga tidak membuat suatu pun menjadi jelas bagiku. Sebaliknya, kegelapan yang bahkan lebih pekat menyembunyikan Allah dariku. Aku mencari pertolongan di kamar pengakuan, tetapi di sanapun aku tidak menemukannya. Seorang imam yang saleh ingin menolongku, tetapi aku begitu lemah sehingga aku bahkan tidak mampu menjelaskan penderitaanku, dan hal ini justru menjadi semakin menyiksa aku. Aku begitu sedih, seperti mau mati rasanya. Kesedihan itu meresapi jiwaku sedemikian rupa sehingga aku tidak mampu menyembunyikannya, dan semua orang yang ada di sekitar aku dapat melihatnya. Aku putus asa. Malam menjadi semakin gelap gulita. Imam yang mendengarkan pengakuanku berkata kepadaku, “Aku melihat rahmat-rahmat yang sangat istimewa dalam dirimu, Suster, dan aku tidak mencemaskanmu sama sekali; mengapa engkau menyiksa diri seperti ini?” Tetapi pada waktu itu, aku tidak paham sama sekali akan apa yang ia katakan dan aku luar biasa terkejut ketika, sebagai penitensi, aku disuruh melambungkan Te Deum atau Magnificat, atau berlari cepat keliling kebun pada petang hari, atau yang lain lagi untuk tertawa keras-keras sepuluh kali dalam sehari. Penitensi ini sangat mencengangkan aku; tetapi dengan itu pun imam itu tidak mampu memberikan banyak pertolongan kepadaku. Rupanya Allah menghendaki aku memuliakan Dia lewat penderitaan.
Imam itu menghibur aku dengan berkata bahwa dalam situasi sekarang aku lebih berkenan di hati Allah daripada kalau hatiku dipenuhi dengan penghiburan yang paling menggembirakan. “Ini adalah rahmat yang paling besar, Suster,” katanya kepadaku, “dalam keadaanmu yang sekarang, dengan segala siksaan jiwa yang Suster alami, engkau tidak hanya tidak melanggar perintah Allah, tetapi engkau bahkan berusaha mengamalkan keutamaan-keutamaan. Aku mencoba memandang ke dalam jiwa Suster, dan aku melihat rencana-rencana agung Allah serta rahmat istimewa ada di sana; dengan melihat itu, aku bersyukur kepada Tuhan.” Tetapi, kendati semua itu, jiwaku masih tetap tersiksa; dan di tengah siksaan yang tak terperikan itu, aku meniru orang buta yang mempercayakan diri kepada bimbingannya, sambil memegang tangannya erat-erat, tidak melepaskan kepatuhannya sedikit pun, dan inilah satu-satunya jaminan keamananku dalam menghadapi cobaan yang amat berat ini.
(69) O Yesus, Kebenaran yang kekal, kuatkanlah aku yang lemah ini. Engkau, ya Tuhan, dapat melakukan segala sesuatu! Aku tahu bahwa tanpa Engkau segala usahaku akan sia-sia. O Yesus, janganlah Engkau menyembunyikan diri terhadapku karena tanpa Engkau aku tidak dapat hidup. Dengarkanlah seruan jiwaku. Kerahiman-Mu tak berkesudahan, ya Tuhan; karena itu kasihanilah aku yang tak berdaya ini. Kerahiman-Mu melampaui pengertian pada malaikat dan manusia. Oleh karena itu, meskipun tampaknya Engkau tidak mendengarkan aku, namun aku berserah pada samudra kerahiman-Mu karena aku tahu bahwa harapanku tidak akan dikecewakan.
(70) Hanya Yesus yang mengetahui betapa berat dan sulit melaksanakan tugas-tugas apabila jiwa mengalami siksaan batin, kemampuan fisik sedemikian lemah, dan pikiran menjadi kabur. Dalam keheningan hatiku, aku mengulang-ulang doa ini, “O Kristus, biarlah sukacita, hormat, dan kemuliaan menjadi milik-Mu, dan penderitaan menjadi milikku. Aku tidak akan ketinggalan satu langkah pun di belakang karena aku mengikuti Engkau, meskipun duri-duri melukai kakiku.”
(71) Aku dikirim ke rumah sakit di Plock untuk perawatan, dan di sana aku mendapat tugas istimewa untuk menghias kapel dengan bunga-bunga. Pernah terjadi di Biala, Suster Tekla tidak selalu mempunyai waktu untuk tugas ini maka sering kali aku menghias kapel sendirian. Pada suatu hari, aku memetik mawar-mawar yang paling indah untuk menghias ruang seseorang. Ketika aku mendekati serambi, aku melihat Yesus berdiri di sana. Dengan sangat ramah, Ia bertanya kepadaku, “Putri-Ku, kepada siapa engkau membawa bunga-bunga itu?” Aku diam tidak dapat menjawab sebab seketika itu juga aku sadar bahwa aku telah memiliki keterikatan tertentu dengan orang ini, yang tidak kuperhatikan sebelumnya. Dan tiba-tiba Yesus menghilang. Seketika itu juga aku melemparkan bunga-bunga itu ke tanah dan aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus, hatiku dipenuhi rasa syukur karena rahmat kesadaran yang kuterima.
“O Matahari ilahi, dalam sinar-Mu jiwaku melihat debu yang paling kecil, yang tidak berkenan di Hati-Mu.”
(72) O Yesus, Kebenaran yang kekal, Kehidupan kami, aku berseru kepada-Mu dan aku memohon kerahiman-Mu bagi para pendosa yang malang. O Hati Tuhanku yang amat manis, yang penuh belas kasih dan kerahiman yang tak terhingga, di hadapa-Mu aku ingin membela orang-orang berdosa yang malang. O Hati yang mahakudus, Sumber kerahiman, dari-Mu memancar sinar rahmat yang tak terselami atas seluruh umat manusia. Aku memohon kepada-Mu terang bagi orang-orang berdosa yang malang. O Yesus, ingatlah akan Sengsara-Mu yang pedih itu, dan jangan biarkan musnah jiwa-jiwa yang sudah ditebus dengan harga yang sedemikian mahal, yakni Darah-Mu yang amat mulia. O Yesus, apabila aku ingat akan begitu besarnya nilai Darah-Mu, aku bersukacita akan kuasanya yang tak terbatas karena hanya satu tetes saja sudah cukup untuk menyelamatkan semua orang berdosa. Meskipun dosa itu laksana jurang kejahatan dan tidak tahu terima kasih, harga yang dibayar bagi kami tidak pernah akan tertandingi. Oleh karena itu, biarlah setiap jiwa berserah kepada Sengsara Tuhan dan menaruh harapan pada kerahiman-Nya. Allah tidak akan mengingkari kerahiman-Nya kepada siapa pun. Langit dan bumi boleh berubah, tetapi kerahiman Allah tidak pernah akan berkesudahan. O, betapa besarnya sukacita yang berkobar di dalam hatiku ketika aku memandang kebaikan-Mu yang tak terselami, ya Yesus! Aku rindu membawa semua orang berdosa kepada kaki-Mu agar mereka dapat memuliakan kerahiman-Mu sepanjang segala abad yang tidak akan berkesudahan.
(73) O Yesusku, kendati begitu gulita malam yang menyelimutiku dan kendati begitu gelap awan yang menyembunyikan cakrawala, aku tahu bahwa matahari tidak pernah akan tenggelam. O Tuhan, meskipun aku tidak dapat memahami Engkau dan tidak memahami cara Engkau berkarya, bagaimanapun aku mengandalkan kerahiman-Mu. Kalau memang sudah menjadi kehendak-Mu, Tuhan, bahwa aku selalu hidup dalam kegelapan yang sedemikian pekat, terpujilah Engkau. Hanya satu hal yang aku minta dari-Mu, ya Yesus: jangan biarkan aku menyakiti Engkau dengan cara apa pun. O Yesusku, hanya Engkaulah yang mengetahui kerinduan dan penderitaan hatiku. Aku bersukacita karena aku dapat menderita bagi-Mu, betapa pun kecilnya. Apabila aku merasa bahwa penderitaan itu lebih berat daripada yang dapat aku tanggung, aku akan bernaung kepada Tuhan dalam Sakramen Mahakudus, dan aku akan berbicara dengan-Nya dengan keheningan yang mendalam.
(74) Pengakuan Dosa Seorang Anak Asrama
Pada suatu hari, aku merasa terdorong oleh suatu kuasa supaya aku mengusahakan Pesta Kerahiman dan supaya gambar Yesus yang maharahim dilukis. Hatiku sangat gelisah. Sesuatu sedang bergejolak dalam diriku, tetapi aku takut diperdayakan. Keragu-raguan ini lebih disebabkan oleh unsur-unsur dari luar sebab di dalam lubuk jiwaku sendiri aku merasa bahwa Tuhanlah yang meresapi diriku. Imam yang mendengarkan pengakuan dosaku waktu itu mengatakan bahwa sering kali orang mengalami ilusi-ilusi, dan aku merasa bahwa ia agak takut mendengarkan pengakuanku. Aku sungguh merasa tersiksa. Menyadari bahwa sangat sedikitlah pertolongan yang kudapatkan dari manusia, aku berpaling sepenuhnya kepada Yesus, Guru yang terbaik di antara semua guru. Pada waktu itu, aku dipenuhi dengan keragu-raguan apakah suara yang kudengar itu berasal dari Tuhan atau bukan. Maka mulai berbicara kepada Yesus dalam hati tanpa mengucapkan satu kata pun. Tiba-tiba suatu kekuatan batin mencekam aku dan aku berkata, “Jikalau Engkau, yang bersatu denganku dan berbicara kepadaku, sungguh Allahku, aku minta kepada-Mu, o Tuhan, agar hari ini juga anak asrama itu pergi mengaku dosa; tanda ini akan menyakinkan hatiku.” Pada saat itu juga, gadis itu minta untuk pergi ke pengakuan dosa.
(75) Ibu guru yang mengajar di kelas itu sangat heran akan perubahan mendadak dalam diri anak itu, tetapi ia segera berusaha memanggil seorang imam, dan anak itu melakukan pengakuan dosa dengan penyesalan yang luar biasa. Pada saat yang sama, aku mendengar suatu suara dalam hatiku berkata, “Apakah sekarang engkau percaya kepada-Ku?” Dan sekali lagi, suatu kekuatan yang aneh menyusup ke dalam jiwaku, menguatkan dan menyakinkan aku sedemikian rupa sehingga aku sendiri sangat heran bahwa aku membiarkan diriku menjadi ragu-ragu meskipun hanya untuk sesaat. Tetapi keragu-raguan ini selalu disebabkan oleh unsur-unsur dari luar. Kenyataan ini membuat aku cenderung untuk semakin hari semakin menutup diri. Jika pada suatu hari, sementara mengaku dosa, aku merasakan adanya kegelisahan di pihak imam, aku tidak membuka jiwaku sampai sedalam-dalamnya, tetapi hanya mengakukan dosa-dosaku. Seorang imam yang tidak tenang hatinya tidak akan mampu menumbuhkan ketenangan dalam jiwa orang lain.
Oh para imam, kamu adalah lilin-lilin bernyala yang menerangi jiwa manusia, biarlah terangmu tidak pernah pudar. Aku memahami bahwa kadang-kadang bukanlah kehendak Allah bahwa aku membuka jiwaku sepenuhnya. Tetapi kemudian, Allah sungguh memberiku rahmat keterbukaan ini.
(76) Oh Yesusku, arahkanlah budiku, milikilah seluruh diriku, rengkuhlah aku di dalam lubuk Hati-Mu, dan lindungilah aku terhadap serangan-serangan musuh. Hanya Engkaulah harapanku. Berbicaralah lewat mulutku apabila aku akan di tengah orang berkuasa dan terpelajar, aku yang hina dina ini supaya mereka tahu bahwa karya ini adalah karya-Mu dan bahwa karya ini datang dari pada-Mu.
(77) Kegelapan dan Pencobaan
Secara aneh, akalku menjadi gelap; tidak ada kebenaran yang tampak jelas bagiku. Ketika orang berbicara kepadaku tentang Allah, hatiku menjadi keras seperti batu karang. Dari pembicaraan itu, aku tidak memetik setitik perasaan cinta pun akan Dia. Ketika dengan kamuan yang keras, aku mencoba untuk tinggal dekat dengan Allah, aku mengalami siksaan-siksaan yang berat, dan tampak padaku bahwa aku hanya semakin membangkitkan murka Allah. Sama sekali mustahil bagiku untuk bermeditasi seperti yang biasa kulakukan di hari-hari sebelumnya. Aku merasa dalam jiwaku ada suatu kekosongan, dan tidak ada sesuatu yang dapat kuisikan ke dalamnya. Aku mulai menderita rasa lapar yang luar biasa, dan aku sangat merindukan Allah, tetapi aku merasakan diriku sama sekali tidak berdaya. Aku mencoba membaca dengan lambat, kalimat demi kalimat, dan dengan cara itu melaksanakan renungan, tetapi ini pun tidak ada hasilnya. Aku sama sekali tidak paham akan apa yang aku baca.
Jurang kepapaanku terus membentang di hadapan mataku. Setiap kali aku masuk ke kapel untuk melaksanakan suatu latihan rohani, aku selalu mengalami siksaan dan pencobaan-pencobaan yang lebih menyakitkan. Lebih dari kapan pun, sepanjang misa kudus, aku berjuang melawan pikiran-pikiran menghujat yang memaksakan diri kepada bibirku. Aku merasa sangat tidak senang dengan sakramen-sakramen kudus, dan tampak padaku bahwa aku tidak memetik manfaat sedikit pun dari semua itu. Hanya karena ketaatan kepada bapak pengakuan, aku melaksanakannya. Dan, hanya ketaatan buta inilah satu-satunya jalan yang dapat aku ikuti dan menjadi harapan terakhir untuk tetap bertahan. Imam menjelaskan kepadaku bahwa inilah cobaan-cobaan yang dikirim Allah dan bahwa dalam situasi yang kualami ini, bukan hanya aku tidak melawan Allah, tetapi aku sangat berkenan di hati-Nya. “Ini adalah suatu tanda,” katanya kepadaku, “bahwa Allah sangat mengasihi engkau dan bahwa Ia memiliki kepercayaan yang sangat besar kepadamu karena Ia berkenan memberikan cobaan-cobaan yang sedemikian kepadamu.” Tetapi kata-kata ini tidak memberikan penghiburan kepadaku; aku merasa bahwa semua itu sama sekali tidak dapat diterapkan kepadaku.
Satu hal sungguh mengherankan bagiku: sering kali terjadi bahwa, pada saat aku sangat menderita, siksaan-siksaan yang mengerikan ini tiba-tiba lenyap tepat pada saat aku menghampiri kamar pengakuan; tetapi begitu aku meninggalkan kamar pengakuan, semua siksaan itu akan kembali mencekam aku bahkan dengan lebih hebat. Maka aku lalu sujud di hadapan Sakramen Mahakudus sambil mengulang-ulang kata-kata ini, “Bahkan kalaupun Engkau membunuh aku, aku akan tetap berharap kepada-Mu!” Rasanya aku akan mati dalam sakratulmaut seperti ini. Tetapi, gagasan yang paling mengerikan bagiku adalah keyakinan bahwa aku telah ditolak oleh Allah. Kemudian pikiran-pikiran lain muncul dalam hatiku: mengapa aku harus bersusah payah mengejar keutamaan dan melakukan perbuatan-perbuatan baik? Mengapa aku harus mati raga dan menghampakan diri? Apa manfaatnya aku mengikrarkan kaul? Berdoa? Menderita dan mengurbankan diri? Mengapa aku harus mengurbankan diri terus-menerus? Apa manfaatnya - kalau aku sudah ditolak oleh Allah? Mengapa aku harus melakukan semua usaha ini? Dan di sini, Allah sendiri tahu apa yang sedang bergolak di dalam hatiku.
(78) Sekali peristiwa ketika sedang ditimpa penderitaan-penderitaan yang menakutkan, aku pergi ke kapel dan berkata dari dasar jiwaku, “Lakukanlah apa yang ingin Kaulakukan terhadapku, oh Yesus; aku akan menyembah Engkau dalam segala sesuatu. Biarlah kehendak-Mu terlaksana dalam diriku, oh Tuhanku dan Allahku, dan aku akan memuji kerahiman-Mu yang tak terbatas.” Lewat doa penyerahan ini, siksaan-siksaan yang mengerikan itu lenyap dari aku. Tiba-tiba aku melihat Yesus, yang berkata kepadaku, “Aku selalu berada di dalam hatimu!” Suatu sukacita yang tak terperikan memenuhi jiwaku, dan cinta Allah yang agung membuat hatiku yang papa bernyala-nyala. Aku melihat bahwa Allah tidak pernah mencobai melebihi apa yang dapat ditanggung. Oh, tidak ada suatu pun yang aku takutkan; kalau Allah mengirim penderitaan yang sedemikian berat kepada suatu jiwa, Ia pasti menguatkan jiwa itu dengan rahmat yang bahkan lebih besar, meskipun kita tidak menyadarinya. Pada saat-saat seperti itu, suatu doa penyerahan memberikan kemuliaan yang lebih besar kepada Allah daripada banyak jam doa yang penuh dengan penghiburan. Kini aku tahu bahwa kalau Allah menghendaki suatu jiwa tetap berada dalam kegelapan, tidak ada buku, dan tidak ada bapak pengakuan yang dapat membawa terang kepadanya.
(79) O, Maria, Bundaku dan Ratuku, aku mempersembahkan kepadamu jiwa dan ragaku, hidup dan matiku dan semua yang akan terjadi sesudah kematianku. Ke dalam tanganmu aku menyerahkan semuanya. O Bundaku, naungilah jiwaku dengan mantol sucimu dan mohonlah bagiku rahmat kesucian hati, jiwa dan raga. Dengan kekuatanmu, lindungilah aku dari semua musuh, khususnya terhadap mereka yang menyembunyikan kejahatan mereka di balik topeng keutamaan. O Bakung nan indah! O Bundaku, bagiku engkau adalah suatu cermin.
(80) O Yesus, Tawanan Kasih, apabila aku mengingat-ingat cinta-Mu dan bagaimana Engkau menghampakan diri-Mu demi aku, aku sungguh merasa tidak berarti. Engkau menyembunyikan kebesaran-Mu yang tak terperikan dan merendahkan diri-Mu menjadi setaraf dengan aku yang hina ini. O Raja Kemuliaan, meskipun Engkau menyembunyikan keagungan-Mu, mata jiwaku menembus setiap selubung. Aku melihat paduan suara para malaikat yang tanpa henti melambungkan puji-pujian kepada-Mu, dan aku melihat semua Kuasa Surgawi yang tanpa henti memuji Engkau, dan tanpa henti berkata: Kudus, Kudus, Kudus.
Oh, siapa yang mampu memahami cinta-Mu dan kerahiman-Mu yang tak terperikan terhadap kami! O Tawanan Kasih, aku menurung hatiku yang hina ini di dalam tabernakel ini agar ia menyembah Engkau siang dan malam tanpa henti. Aku tidak mengalami rintangan apa pun dalam sembah sujud ini, dan meskipun secara ragawi aku jauh, hatiku selalu tinggal bersama Engkau. Tidak ada suatu pun yang dapat menghentikan cintaku kepada-Mu. Tidak ada rintangan yang menghalangi aku. O Yesusku, aku akan menghibur-Mu atas segala sikap tidak tahu terima kasih, hujat, kebekuan hati, kebencian orang-orang tidak beriman, dan sakrilegi. O Yesus, aku ingin dibakar sebagai kurban yang murni, yang dibakar habis di hadapan takhta ketersembunyian-Mu. Tak henti-henti aku memohon kerahiman-Mu bagi orang-orang berdosa yang sedang menghadapi ajal.

(81) O Tritunggal Kudus, Allah yang Esa dan Takterbagi, terpujilah Engkau karena anugerah yang agung dan wasiat kerahiman-Mu ini. Yesusku, sebagai olah penyilihan bagi para penghujat aku akan tetap diam kalau aku diperlakukan secara tidak adil, dan dengan cara ini aku ambil bagian dalam penderitaan-Mu. Dalam jiwa, aku melagukan suatu madah tanpa henti bagi-Mu, dan tak seorang pun akan menduga atau memahaminya. O Pencipta dan Tuhanku, hanya Engkau sendirilah yang mengetahui nyanyian jiwaku.

(82) Aku tidak akan membiarkan diriku diserap oleh kesibukan kerja sampai melupakan Allah. Aku akan menggunakan semua waktu luangku di kaki Sang Guru yang tersembunyi di dalam Sakramen Mahakudus. Ia telah menuntun aku sejak tahun-tahunku yang paling muda.

(83) “Tulislah ini: sebelum Aku datang sebagai Hakim yang adil, Aku akan datang lebih dulu sebagai Raja Kerahiman. Sebelum hari penghakiman tiba, akan diberikan tanda kepada umat manusia di langit sebagai berikut: Semua penerang di langit akan padam, dan akan ada kegelapan yang pekat di seluruh bumi. Kemudian tanda salib akan terlihat di langit, dan dari Luka-luka di mana tangan dan kaki Juru Selamat dipaku [akan] memancar cahaya terang benderang yang akan menyinari bumi selama waktu tertentu. Ini akan terjadi tidak lama sebelum hari terakhir.”

(84) O Darah dan Air yang memancar dari Hati Yesus sebagai mata air kerahiman bagi kami, Engkau andalanku!

(85) Vilnius, 2 Agustus 1934.
Pada hari Jumat, sesudah komuni kudus, dalam roh aku dibawa ke hadapan takhta Allah. Di sana, aku melihat bala surga yang tak henti-hentinya memuji Allah. Di belakang takhta itu, aku melihat cahaya terang benderang yang tidak dapat dihampiri oleh makhluk apa pun, dan yang ada di sana hanyalah Sabda Yang Menjelma yang masuk sebagai Pengantara. Ketika Yesus memasuki terang itu, aku mendengar suara ini, “Tulislah segera apa yang engkau dengar: Aku adalah Tuhan sedari kodrat-Ku dan Aku bebas dari semua perintah atau kebutuhan. Kalau Aku menciptakan makhluk - semuanya muncul dari lubuk kerahiman-Ku.” Dan pada saat itu juga aku mendapati diriku, seperti sebelumnya, sedang berada di dalam kapel berlutut di bangku, tepat pada waktu misa berakhir. Aku melihat semua perkataan itu sudah tertulis.

(86) [Sekali peristiwa] aku menyaksikan betapa bapak pengakuanku sangat menderita karena karya ini yang akan segera dilakukan Allah lewat dia. Ketika aku menyaksikan hal itu, ketakutan mencekam aku sejenak, dan aku berkata kepada Tuhan, “Yesus, ini adalah urusan-Mu! Mengapa Engkau berlaku demikian terhadap dia? Aku merasa bahwa Engkau menciptakan kesulitan-kesulitan baginya sedangkan pada saat yang sama Engkau menyuruh dia berbuat sesuatu.”
“Tulislah bahwa siang dan malam tatapan mata-Ku tertuju kepadanya, dan Aku mengizinkan semua penderitaan ini untuk meningkatkan pahalanya. Bukan buah-buah yang baik yang Kuberi ganjaran, tetapi kesabaran dan ketabahan untuk menderita demi Aku.”

(87) Vilnius, 26 Oktober 1934.
Pada hari Jumat, pada pukul enam kurang sepuluh menit, aku dan beberapa anak asrama berjalan dari taman ke ruang makan untuk makan malam. Ketika itu, aku melihat Tuhan Yesus di atas kapel kami. Ia memandang aku persis seperti ketika untuk pertama kalinya aku melihat Dia dan persis seperti Ia dilukis di dalam gambar. Kedua sinar yang memancar dari Hati Yesus itu menyinari kapel kami, balai kesehatan, dan kemudian seluruh kota, dan meluas ke seluruh dunia. Penglihatan ini berlangsung sekitar empat menit, lalu lenyap. Salah satu dari anak-anak [perempuan] itu, yang jalan bersamaku sedikit di belakang yang lain, juga melihat sinar itu, tetapi ia tidak melihat Yesus, dan ia tidak tahu dari mana sinar itu berasal. Dengan berapi-api, ia bercerita kepada anak-anak yang lain. Mereka mulai menertawakannya, dan mengatakan bahwa ia sedang berkhayal, atau barangkali itu adalah sinar yang dipancarkan oleh pesawat terbang yang sedang melintas. Tetapi, ia tetap bersikukuh pada keyakinannya, sambil berkata bahwa belum pernah ia melihat sinar seperti itu sebelumnya. Ketika anak-anak lain berkata bahwa barangkali itu suatu lampu sorot, ia menjawab bahwa ia tahu betul apa itu lampu sorot, tetapi belum pernah ia melihat sinar seperti ini.
Sesudah makan malam, anak itu menghampiriku dan berkata kepadaku bahwa ia sedemikian terharu dengan sinar-sinar itu sehingga ia tidak dapat tinggal diam, tetapi ingin menceritakannya kepada setiap orang. Tetapi, ia tidak melihat Yesus. Berulang kali ia bercerita kepadaku tentang sinar-sinar itu, dan ini memojokkan aku ke dalam situasi yang canggung sebab aku tidak dapat mengatakan kepadanya bahwa aku telah melihat Tuhan Yesus. Aku berdoa baginya, dan minta kepada Tuhan untuk memberinya rahmat yang ia sangat perlukan. Hatiku bersukacita karena ternyata Yesus mengambil prakarsa untuk memperkenalkan diri-Nya melalui karya-Nya meskipun aku sangat disakiti karena kejadian itu. Tetapi, demi Yesus, segala sesuatu dapat ditanggung.

(88) Selama adorasi, aku merasakan Allah begitu dekat denganku. Sesaat kemudian, aku melihat Yesus dan Maria. Pada waktu melihat mereka, hatiku dipenuhi sukacita, dan aku bertanya kepada Tuhan, “Yesus, apa yang Engkau kehendaki sehubungan dengan masalah yang diminta bapak pengakuanku untuk kutanyakan kepada-Mu?” Yesus menjawab, “Aku menghendaki agar ia tetap tinggal di sini dan agar ia tidak mengambil prakarsa untuk membebaskan diri.”
Aku bertanya kepada Yesus apakah tulisan yang harus dipasang dapat berbunyi: Kristus Raja Kerahiman. Ia menjawab, “Aku Raja Kerahiman,” tetapi tidak menyebut kata ‘Kristus’. “Aku ingin bahwa gambar ini dipajang di depan umum pada Minggu pertama sesudah Paskah. Minggu itu adalah Pesta Kerahiman. Lewat Sang Sabda yang menjelma. Aku memperkenalkan lubuk Kerahiman-Ku yang tanpa batas.”

(89) Aneh, semua hal terjadi persis seperti yang diminta Tuhan. Sungguh, pada Minggu pertama sesudah Paskah, gambar itu dihormati secara umum oleh himpunan umat untuk pertama kalinya. Selama tiga hari, gambar itu dipajang dan mendapat penghormatan publik. Karena dipasang tepat pada puncak jendela di Ostra Brama, gambar itu dapat dilihat dari jauh. Selama tiga hari ini, di Ostra Brama dirayakan penutupan Tahun Yubileum Penebusan Dunia, yang menandai seribu sembilan ratus tahun yang telah berlalu sejak Sengsara Juru Selamat. Kini aku melihat bahwa karya penebusan terikat erat dengan karya kerahiman yang diminta oleh Tuhan.

(90) Pada suatu hari, dengan mata batinku aku melihat betapa banyaknya bapak pengakuanku harus menderita. Engkau akan ditinggalkan oleh teman-temanmu, setiap orang akan bangkit melawan engkau, dan kekuatan fisikmu akan menurun. Aku melihat engkau seperti seuntai buah anggur yang dipilih Tuhan dan diperas dalam penderitaan. Jiwamu, ya bapak, kadang-kadang akan dirundung keragu-raguan tentang karya ini dan tentang aku.
Aku melihat bahwa Allah sendiri terasa melawan engkau, dan aku bertanya kepada Tuhan mengapa Ia berbuat demikian terhadapnya, seolah-olah Ia merintangi apa yang diminta-Nya agar dilaksanakan. Dan Tuhan berkata, “Aku bertindak demikian terhadap dia untuk memberikan kesaksian bahwa pekerjaan ini adalah pekerjaan-Ku. Katakan kepadanya janganlah ia takut apa pun; siang dan malam tatapan mata-Ku selalu tertuju kepadanya. Akan ada banyak mahkota yang akan ia terima sebab karya ini akan menyelamatkan banyak jiwa. Bukan berhasilnya suatu pekerjaan yang Kuberi ganjaran, tetapi penderitaan yang ditanggung demi pekerjaan itu.”

(91) O Yesusku, hanya Engkaulah yang mengetahui penganiayaan yang kuderita, dan semua ini aku tanggung hanya karena aku setia kepada-Mu dan mengikut perintah-perintah-Mu. Engkaulah kekuatanku; topanglah aku supaya aku selalu dapat melaksanakan apa yang Kauminta dari aku. Dari diriku sendiri aku tidak dapat melakukan suatu pun, tetapi apabila Engkau menopang aku, semua kesulitan tidak ada artinya bagiku, o Tuhanku, aku dapat melihat dengan amat baik bahwa sejak pertama kali jiwaku menerima kemampuan untuk mengenal Engkau, hidupku menjadi pergulatan tanpa henti yang semakin hari menjadi semakin sengit. Setiap pagi dalam meditasi, aku menyiapakn diri untuk perjuangan sepanjang hari. Komuni kudus menyakin aku bahwa aku akan memperoleh kemenangan; dan memang demikian. Aku khawatir akan tiba suatu hari di mana aku tidak dapat menerima komuni kudus. Roti dari Dia Yang Kuat ini memberiku seluruh kekuatan yang kubutuhkan untuk melaksanakan misiku dan memberikan keberanian untuk melaksanakan apa pun yang diminta Tuhan dariku. Keberanian dan kekuatan yang ada dalam diriku bukan berasal dari diriku, tetapi dari Dia yang hidup di dalam diriku - itulah Ekaristi.
O Yesusku, kesalahpahaman orang sedemikian besar; kadang-kadang, seandainya tak ada Ekaristi, aku tidak akan berani melangkah lebih jauh meniti jalan yang sudah Kautunjukkan kepadaku.

(92) Penghinaan adalah makanan sehari-hari bagiku. Aku tahu bahwa mempelai perempuan sendiri harus ambil bagian dalam semua yang dialami oleh Mempelainya’ jadi, matol yang dikenakan pada-Nya sekadar sebagai olok-olok juga harus menyelubungi tubuhku. Pada saat-saat seperti itu, kalau aku sangat menderita, aku berusaha tetap tinggal diam sebab aku tidak mempercayai lidahku yang, pada saat-saat seperti itu, cenderung untuk berbicara tentang dirinya sendiri, padahal tugasnya adalah untuk membantu aku memuji Allah atas segala berkat dan karunia yang telah Ia berikan kepadaku. Apabila aku menerima Yesus dalam komuni kudus, aku minta kepada-Nya dengan khusyuk agar Ia berkenan menyembuhkan lidahku supaya dengan lidahku aku tidak melukai entah Allah entah sesamaku. Aku menghendaki lidahku memuji Allah tanpa henti. Besarlah kesalahan yang dilakukan oleh lidah. Jiwa tidak akan mencapai kekudusan kalau ia tidak terus mengawasi lidahnya.

(93) Ringkasan Katekismus tentang Kaul Membiara
T: Apa itu kaul?
J: Kaul adalah janji sukarela kepada Allah, untuk melaksanakan suatu tindakan yang lebih sempurna.
T: Apakah kaul mengikat dalam hal yang sudah ditentukan oleh peraturan?
J: Ya. Melaksanakan tindakan yang ditentukan oleh suatu peraturan memiliki nilai dan pahala ganda; sebaliknya, mengabaikan tindakan seperti itu merupakan pelanggaran dan kejahatan ganda sebab dengan melanggar kaul, dosa melawan perintah bertambah dengan dosa sakrilegi.
T: Mengapa kaul-kaul religius memiliki nilai demikian tinggi?
J: Karena kaul-kaul itu merupakan dasar hidup membiara yang disahkan oleh Gereja, di mana para anggota yang terhimpun dalam suatu komunitas religius memutuskan untuk memperjuangkan kesempurnaan lewat sarana-sarana ketiga kaul religius yakni kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan yang diamalkan sesuai dengan peraturan.
T: Apa arti kata-kata “memperjuangkan kesempurnaan?”
J: Memperjuangkan kesempurnaan berarti bahwa hidup membiara pada dasarnya tidak menuntut adanya kesempurnaan yang sudah dicapai, tetapi mewajibkan, dengan saksi dosa, untuk setiap hari bekerja demi mencapainya. Oleh karena itu, seorang anggota biara yang tidak ingin menjadi sempurna mengabaikan tugas utamanya.
T: Apa yang dimaksud dengan kaul religius “meriah?”
J: Kaul religius “meriah” adalah kaul yang sedemikian mutlak sehingga, dalam kasus-kasus luar biasa, hanya Bapa Suci yang dapat melepaskannya.
T: Apa yang dimaksud dengan kaul religius sederhana?
J: Kaul religius sederhana adalah kaul yang tidak mutlak - Takhta Suci dapat membebaskan orang dari kaul kekal dan kaul sementara.
T: Apakah perbedaan antara kaul dan keutamaan?
J: Kaul hanya terikat pada hal-hal yang diperintahkan, dengan sanksi dosa; keutamaan tidak terbatas pada hal-hal yang diperintahkan dan membantu mengamalkan kaul; tetapi, di lain pihak, dengan melanggar kaul orang gagal melakukan keutamaan, bahkan merusakkannya.
T: Kaul religius mewajibkan apa?
J: Kaul religius mewajibkan manusia berusaha mencapai keutamaan dan menundukkan diri sepenuhnya kepada pimpinan serta peraturan yang berlaku; dengan demikian biarawan/wati menyerahkan dirinya sendiri kepada komunitas, dengan melepaskan setiap hak atas dirinya sendiri dan atas tindakan-tindakannya; semua itu ia kurbankan untuk melayani Allah.
Kaul Kemiskinan
Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukarela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan hati Allah.
T: Barang apa saja yang tercakup dalam kaul kemiskinan?
J: Semua harta milik dan barang-barang yang menjadi milik Kongregasi. Manusia tidak lagi memiliki hak atas apa saja yang diberikan kepadanya, entah barang entah uang. Semua derma dan hadiah, yang barangkali diberikan kepadanya sebagai ungkapan terima kasih atau ungkapan lain apa pun, menjadi hak Kongregasi. Manusia tidak dapat menyelahgunakan, tanpa melanggar kaul, pendapatan apa pun yang diterima dari pekerjaan, atau bahkan tunjangan hidup yang diterima.
T: Kapan terjadi pelanggaran kaul dalam hal yang berkaitan dengan perintah ketujuh?
J: Kaul dilanggar kalau, tanpa izin, diambil apa saja yang menjadi miliki komunitas untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain; kalau, tanpa izin, ditahan sesuatu untuk memilikinya; dan kalau, di luar wewenang, dijual atau ditukar sesuatu yang menjadi milik komunitas; kalau digunakan suatu barang untuk maksud lain di luar yang ditentukan oleh pimpinan; kalau diberi, atau menerima dari orang lain, suatu apa pun tanpa izin; kalau karena lalai dirusakkan atau menghancurkan sesuatu; kalau waktu pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dibawa sesuatu tanpa izin. Dalam suatu situasi di mana kaul dilanggar, biarawan/wati harus memberikan ganti rugi kepada komunitas.
Keutamaan Kemiskinan
Keutamaan kemiskinan adalah keutamaan injili yang mendorong hati untuk melepaskan diri dari barang-barang fana; karena kaulnya, biarawan/wati terikat oleh kewajiban ini.
T: Kapan manusia berdosa melawan keutamaan kemiskinan?
J: Ketika menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan keutamaan ini; ketika ia menjadi terikat pada sesuatu, dan ketika menggunakan barang-barang secara berlebihan.
T: Ada berapa tingkat keutamaan kemiskinan, dan apa saja?
J: Praktis, ada empat tingkat keutamaan kemiskinan bagi orang yang mengikrarkan kaul religius: tidak memberikan suatu pun tanpa persetujuan pimpinan (tuntutan ketat dari kaul); menghindari pemakaian barang secara berlebihan dan puas dengan barang-barang seperlunya (ini tuntutan keutamaan); ikhlas menggunakan barang-barang dengan mutu yang lebih rendah dalam kaitan dengan kamar, pakaian, makanan, dan lain-lain, dan secara batin merasa puas dengan semua ini; bersukacita dalam kemiskinan yang luar biasa.
Kaul Kemurnian
T: Kaul kemurnian mewajibkan apa?
J: Kaul kemurnian menwajibkan kita melepaskan perkawinan dan menghindari segala sesuatu yang dilarang oleh perintah keenam dan kesembilan.
T: Apakah pelanggaran kaul kemurnian merupakan kesalahan melawan keutamaan kemurnian?
J: Setiap kesalahan melawan keutamaan kemurnian juga merupakan pelanggaran terhadap kaul kemurnian sebab di sini tidak ada perbedaan antara kaul kemurnian dan keutamaan kemurnian, tidak seperti dalam kaul kemiskinan dan kaul ketaatan.
T: Apakah setiap pikiran jahat itu dosa?
J: Bukan, tidak setiap pikiran jahat itu dosa; ia menjadi dosa hanya kalau ada persetujuan dari kehendak yang dipadukan dengan pertimbangan budi.
T: Selain dosa-dosa melawan kemurnian, apakah ada sesuatu yang merugikan keutamaan kemurnian?
J: Ada, yakni sikap kurang menjaga indra, khayalan, perasaan; keakraban dan persahabatan yang sentimental juga dapat merugikan keutamaan kemurnian.
T: Apakah sarana-sarana yang dapat menunjang pengamalan keutamaan kemurnian?
J: Mengalahkan godaan-godaan batin dengan memikirkan kehadiran Allah, dan lebih-lebih berjuang tanpa takut. Untuk godaan-godaan lahiriah, sarananya adalah menghindari peluang-peluang yang ada. Seluruhnya, ada tujuh sarana utama: menjaga indra, menghindari peluang dosa, menghindari kemalasan, mengenyahkan godaan secara langsung, menjauhkan diri dari semua persahabatan - terutama persahabatan yang bersifat khusus, bersemangat mat-raga, dan mengungkapkan semua godaan kepada bapak pengakuan.
Di samping itu, ada lima sarana untuk mempertahankan keutamaan kemurnian: kerendahan hati, semangat doa, pengendalian mata, kesetiaan kepada aturan devosi yang tulus kepada Santa Perawan Maria.
Kaul Ketaatan
Kaul ketaatan lebih tinggi daripada dua kaul yang pertama. Sungguh kaul ketaatan adalah suatu kurban, dan ia lebih penting karena ia membangun dan menjiwai tubuh religius.
T: Kaul ketaatan mewajibkan apa?
J: Dengan kaul ketaatan biarawan/wati berjanji kepada Allah untuk taat kepada para pimpinan yang sah dalam segala sesuatu yang mereka perintahkan demi peraturan. Kaul ketaatan membuat biarawan/wati bergantung kepada pimpinan atas dasar peraturan-peraturan sepanjang hayatnya dan dalam segala urusannya. Seorang biarawan/wati berdoa berat melawan kaul ketaatan setiap kali ia tidak taat kepada peraturan yang diberikan atas dasar ketaatan dan peraturan-peraturan.
Keutamaan Ketaatan
Keutamaan ketaatan lebih luas daripada kaul ketaatan; keutamaan ini mencakup ketentuan dan peraturan dan bahkan nasihat-nasihat para pimpinan.
T: Apakah keutamaan ketaatan diperlukan oleh seorang biarawan/wati?
J: Keutamaan ketaatan sangat diperlukan oleh seorang biarawan/wati sehingga, kalau ia melakukan perbuatan-perbuatan baik yang bertentangan dengan ketaatan, perbuatan itu menjadi tidak baik dan tidak ada pahalanya.
T: Dapatkah manusia berdosa berat melawan keutamaan ketaatan?
J: Manusia berdosa berat melawan keutamaan ketaatan kalau ia melecehkan pimpinan atau perintah pimpinan, atau kalau ketidaktaatan mengakibatkan kerugian rohani atau jasmani kepada komunitas.
T: Kesalahan-kesalahan apa yang membahayakan kaul ketaatan?
J: Curiga terhadap pimpinan atau menyembunyikan rasa antipati terhadapnya - menggerutu dan mengecam, malas dan lalai.
Tingkat-tingkat Ketaatan
Memenuhi perintah dengan tulus dan sempurna - ini disebut ketaatan kehendak kalau kehendak mendorong budi untuk tunduk kepada nasihat pimpinan. Sehubungan dengan ini, untuk menunjang ketaatan, Santo Ignatius menganjurkan tiga sarana: (1) selalu melihat Allah dalam diri pimpinan, siapa pun dia; (2) membenarkan perintah atau nasihat pimpinan; (3) menerima setiap perintah sebagai perintah dari Allah, tanpa mempertanyakannya atau menimbang-nimbangnya. Saran umum: kerendahan hati. Tidak ada sesuatu yang sulit bagi orang yang rendah hati.

(94) O Tuhanku, nyalakanlah hatiku dengan cinta-Mu, supaya semangatku tidak menjadi lunglai di tengah badai, penderitaan dan pencobaan. Engkau tahu betapa lemahnya aku. Cinta dapat mengerjakan segalanya.

(95) Pengetahuan yang lebih mendalam tentang Allah dan rasa kaget jiwa:
Pada awal mula, Allah membiarkan diri-Nya dikenal sebagai Sang Kekudusan, Keadilan, dan Kebaikan - singkatnya: Sang Kerahiman. Jiwa tidak berusaha mengenal semua ini sekaligus, tetapi satu demi satu, dan hanya sepintas; yakni ketika Allah datang mendekat. Dan, ini tidak berlangsung lama sebab jiwa tidak akan tahan menatap cahaya yang sedemikian terang. Sementara berdoa, jiwa mengalami percikan-percikan cahaya; dan percikan-percikan itu membuat dia tidak mungkin lagi berdoa hanya seperti sebelumnya. Kalaupun ia berusaha memaksa diri untuk berdoa seperti sebelumnya, semua sia-sia; sama sekali mustahil bagi dia untuk terus berdoa seperti sebelum ia menerima terang ini. Terang yang menyentuh jiwa ini hidup di dalam dia, dan tidak ada suatu pun yang dapat entah memadamkan entah meredupkannya. Percikan pengetahuan tentang Allah ini memikat jiwa dan menyalakan cintanya akan Allah.
Tetapi pada saat yang sama, percikan ini memungkinkan jiwa mengenal diri sebagaimana adanya; jiwa melihat seluruh batinnya dalam suatu terang ilahi, dan ia terkejut serta cemas. Tetapi, ia tidak lagi berada di bawah pengaruh kecemasan sebab ia mulai memurnikan diri, dan merendahkan diri di hadapan Allah. Percikan cahaya itu menjadi semakin kuat dan semakin terang benderang; semakin jiwa itu menjadi bening seperti kristal, semakin dalam berkas-berkas sinar itu menembusnya. Kalau jiwa sudah setia dan berani menanggapi rahmat awal ini, Allah memenuhinya dengan penghiburan-penghiburan-Nya dan memberikan Diri kepadanya dengan cara yang amat jelas. Pada saat-saat tertentu, jiwa akan merasakan kemesraan dengan Allah dan karenanya ia sangat bersukacita; ia percaya bahwa ia telah mencapai tingkat kesempurnaan yang ditentukan baginya sebab kekurangan dan kesalahan-kesalahannya sudah larut di dalamnya, dan ini membuat dia berpikir bahwa semua kekurangan itu sudah tidak ada lagi. Tidak ada suatu pun yang tampak sulit baginya; ia siap melakukan apa saja. Ia mulai membenamkan dirinya dalam Allah dan mengecap kesukaan-kesukaan ilahi. Ia dituntun oleh rahmat dan tidak memperhitungkan kenyataan bahwa saat pencobaan dan ujian akan tiba. Dan, sungguh, keadaan ini tidak berlangsung lama. Saat-saat lain akan segera muncul. Tetapi di sini harus aku tambahkan bahwa jiwa akan dengan lebih setia menanggapi rahmat ilahi kalau ia memiliki seorang bapak pengakuan yang sungguh tahu, yang kepadanya ia dapat mempercayakan segala sesuatu.

(96) Pencobaan-pencobaan ilahi dalam jiwa yang sangat dicintai oleh-Nya. Pencobaan dan kegelapan Setan.
Cinta jiwa belum serupa dengan yang dikehendaki Allah. Secara tiba-tiba, jiwa akan kehilangan [kesadaran] akan kehadiran Allah. Beragam kekurangan dan ketidaksempurnaan muncul di dalamnya, dan jiwa harus berjuang gigih melawannya. Semua kesalahannya bermunculan meninggikan kepada, tetapi jiwa itu sungguh waspada. Kesadaran pertama tentang kehadiran Allah mengenyahkan kebekuan dan kegersangan jiwa; jiwa tidak lagi menikmati latihan-latihan rohani; ia tidak dapat berdoa, entah dengan cara lama, entah dengan cara sekarang ia berdoa. Ia berjuang dengan cara ini dan itu, tetapi tidak dapat menemukan kepuasan. Allah telah menyembunyikan diri dari dia, dan ia tidak dapat menemukan penghiburan dalam ciptaan, juga tidak satu makhluk pun dapat menghibur dia. Jiwa itu merana karena sangat merindukan Allah, tetapi yang ia lihat adalah kepapaannya sendiri; ia mulai merasakan keadilan Allah. Ia merasa bahwa dirinya telah kehilangan segala karunia yang telah diberikan Allah kepadanya; akal budinya meredup, dan kegelapan memenuhinya; siksaan yang tak terperikan mulai terasa. Jiwa itu berusaha menjelaskan keadaannya kepada bapak pengakuan, tetapi ia tidak dipahami dan diserbu oleh kegelisahan yang bahkan semakin besar. Setan memulai pekerjaannya.

(97) Imam terhuyung-huyung di bawah himpitan; pergulatan semakin mengganas. Jiwa berusaha keras untuk berpaut kepada Allah dengan membangun niat. Dengan izin Allah, Setan melangkah lebih jauh; harapan dan cintanya pun mulai diuji. Godaan-godaan ini sungguh mengerikan Diam-diam, katakan demikian, Allah menopang jiwa itu. Jiwa itu tidak sadar akan hal ini, tetapi kalau tidak ditopang Allah, mustahil ia dapat tetap teguh; dan Allah mengenal dengan baik seberapa banyak Ia dapat mengizinkan jiwa itu dicobai. Jiwa itu dicobai agar tidak mempercayai kebanaran-kebenaran yang diwahykan dan agar tidak jujur terhadap bapak pengakuan. Setan berkata kepadanya, “Lihat tidak seorangpun memahami kamu, mengapa kamu berbicara mengenai semua ini?” Kata-kata yang mengerikan menggelegar di telinganya, dan jiwa itu merasa bahwa ia sedang mengucapkan kata-kata itu melawan Allah. Ia melihat apa yang tidak ingin ia lihat. Ia mendengar apa yang tidak ingin ia dengar. Dan, oh, sungguh mengerikan bahwa pada saat seperti ini ia tidak memiliki seorang bapak pengakuan yang berpengalaman! Sendirian jiwa itu menanggung seluruh bebannya. Tetapi, orang harus melakukan segala daya upaya untuk menemukan, kalau mungkin, seorang bapak pengakuan yang sungguh paham karena jiwa itu dapat binasa tertindih beban dan berada di tebing jurang. Semua cobaan ini berat dan sulit. Allah tidak mengirimnya kepada suatu jiwa yang belum pernah merasakan kemesraan dengan-Nya dan yang belum pernah mengecap kesukaan-kesukaan ilahi. Di samping itu, dalam hal ini Allah memiliki rencana-Nya sendiri, yang tidak dapat kita pahami. Sering kali, dengan cara ini, Allah mempersiapkan suatu jiwa untuk rencana-rencana dan karya-karya besar-Nya yang masih akan datang. Ia ingin mengujinya seperti emas murni diuji dengan api. Tetapi, ini belumlah akhir dari pencobaan; masih ada cobaan yang paling berat ketika jiwa merasa sama sekali ditinggalkan Allah.

(98) Cobaan Paling Berat, Sama Sekali Ditinggalkan - Keputusasaan.
Ketika jiwa keluar dari cobaan-cobaan sebagai pemenang meskipun tersandung di sana-sini, ia terus berjuang dengan gigih, sambil dengan rendah hati berseru kepada Allah, “Selamatkanlah aku sebab aku binasa!” MAka, ia masih akan mampu berjuang terus.
Tetapi, pada tahap ini, jiwa tenggelam dalam malam yang mengerikan. Yang ia lihat dalam dirinya hanya dosa. Ia merasa ketakutan. Ia melihat dirinya sama sekali ditinggalkan oleh Allah. Ia merasa dirinya menjadi sasaran kebencian Allah. Tinggal satu langkah lagi ia akan menjadi putus asa. Jiwa itu berusaha sebaik-baiknya untuk membela diri; ia berusaha membangkitkan kepercayaan dirinya; tetapi semakin ia berdoa, semakin ia merasa tersiksa, seolah-olah doa ini semakin membangkitkan murka Allah. Jiwa itu mendapati dirinya ditempatkan di puncak suatu gunung yang tinggi, persis di pinggir suatu jurang.
Jiwa itu sangat tertarik pada Allah, tetapi ia merasa ditolak. Semua penderitaan dan siksaan lain di dunia bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kengerian yang mencekam jiwa itu, yakni, ditolak oleh Allah. Tak seorang pun dapat memberikan kelegaan kepadanya; ia mendapati dirinya sungguh-sungguh sebatang kara; tidak ada seorang pun yang membelanya. Ia menengadah ke surga, tetapi ia yakin bahwa surga itu bukan untuknya - karena segala yang ia miliki sudah lenyap. Ia tenggelam makin lama makin dalam, dari kegelapan ke dalam kegelapan, dan ia merasa bahwa ia telah selama-lamanya kehilangan Allah, yaitu Allah yang biasa ia cintai dengan begitu mesra. Pikiran ini merupakan suatu siksaan yang tidak dapat dilukiskan. Tetapi, jiwa itu tidak menyerah, dan ia berusaha mengarahkan pandangannya ke surga, tetapi sia-sia! Dan ini membuat siksaan semakin pedih.

(99) Kalau Allah ingin menahan jiwa itu dalam kegelapan yang sedemikian pekat, tak seorang pun akan mampu memberikan terang kepadanya. Ia merasa ditolak oleh Allah dengan cara yang keras dan mengerikan. Dari dalam hatinya, meluncur keluh kesah yang memilukan sehingga tak seorang imam pun akan memahaminya kecuali kalau ia sendiri sudah pernah mengalami cobaan-cobaan seperti ini. Di tengah-tengah siksaan ini, Setan menambah penderitaan jiwa itu dengan mengolok-oloknya, “Apakah engkau akan bertahan dalam kesetiaanmu? Inilah ganjaranmu; engkau ada dalam kekuasaan kami!” Tetapi, Setan hanya memiliki kekuasaan atas jiwa itu sebatas Allah mengizinkannya, dan Allah tahu seberapa berat beban yang dapat kita tanggung. “Apa yang telah engkau peroleh dari mati raga-mati ragamu” tanya Setan, “dan dari kesetiaanmu kepada peraturan? Apa gunanya semua usaha itu? Engkau telah ditolak oleh Allah!” Kata “ditolak” ini menjadi ibarat api yang menyambar setiap saraf sampai ke sumsum tulang. Ia menusuk tepat mengenai seluruh dirinya. Siksaan itu mencapai puncaknya. Jiwa itu tidak agi mencari pertolongan ke mana pun. Ia menjadi kecut dan tidak mampu melihat apa-apa lagi; seolah-olah ia telah menyerah, menerima siksaan karena ditinggalkan Allah. Inilah saat yang tidak dapat aku lukiskan dengan kata-kata. Inilah sakratulmaut jiwa.
Ketika untuk pertama kalinya saat siksaan itu mendekat, aku direnggut darinya oleh kuasa ketaatan suci. Karena cemas akan penampilanku, suster pimpinan para novis menyuruhku pergi mengaku dosa tetapi bapak pengakuan tidak memahamiku, dan aku sama sekali tidak mengalami kelegaan. O Yesus, berilah kami imam-imam yang berpengalaman!
Ketika aku bercerita kepada imam bahwa aku mengalami siksaan neraka dalam jiwa, ia menjawab bahwa ia tidak mencemaskan jiwaku sebab ia melihat dalam jiwaku rahmat Allah yang besar. Tetapi, aku sama sekali tidak memahami hal ini, dan bahkan terang yang samar-samar pun tidak memancar dalam jiwaku.


(100) Kemudian, kekuatan ragaku mulai meninggalkan aku, dan aku tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugasku. Juga aku tidak mampu lagi menyembunyikan penderitaan-penderitaanku. Meskipun aku tidak mengatakan sepatah kata pun tentang deritaku, rasa sakit yang membayang di wajahku tidak dapat menyembunyikan keadaanku. Pimpinan mengatakan kepadaku bahwa para suster telah datang kepadanya sambil mengatakan bahwa, apabila mereka melihatku di kapel, mereka tergerak oleh belas kasihan karena aku tampak sedemikian memprihatinkan. Tetapi, kendati semua usaha, jiwaku tidak mampu menyembunyikan penderitaan yang sedemikian berat.

No comments:

Post a Comment