(301) “Maklumkanlah bahwa kerahiman
adalah sifat Allah yang paling tinggi. Kerahimanlah mahkota segala karya
tangan-Ku.”
(302) O Kasih Abadi, aku ingin
semua jiwa yang telah Kauciptakan mengenal Engkau. Aku ingin menjadi seorang
imam karena dengan demikian aku dapat berbicara tanpa henti mengenai
kerahiman-Mu kepada jiwa-jiwa yang berdosa yang tenggelam dalam keputusasaan.
Aku ingin menjadi seorang misionaris dan membawa terang iman kepada
bangsa-bangsa yang terbelakang untuk memperkenalkan Engkau kepada jiwa-jiwa.
Aku ingin menghabiskan seluruh tenagaku bagi mereka dan mati sebagai seorang
martir, sama seperti Engkau mati bagiku dan bagi mereka. Ya Yesus, aku tahu
dengan baik bahwa aku dapat menjadi seorang imam, seorang misionaris, seorang
pengkhotbah, dan bahwa aku dapat mati sebagai seorang martir kalau aku
menghampakan diriku sepenuhnya dan dengan menyangkal diriku karena cinta akan
Dikau, ya Yesus, dan karena cintaku kepada jiwa-jiwa yang kekal.
(303) Cinta yang besar dapat
mengubah hal-hal kecil menjadi hal-hal besar, dan hanya cintalah yang
memberikan makna kepada kegiatan-kegiatan kita. Dan semakin murni cinta kita,
semakin kecil umpan untuk nyala api penderitaan di dalam diri kita, dan
penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan bagi kita; penderitaan akan menjadi
suatu sukacita! Berkat rahmat Allah, aku telah menerima keterbukaan hati
seperti itu sehingga aku tidak pernah sedemikian bahagia seperti ketika aku
menderita bagi Yesus, yang aku cintai dengan setiap detak jantungku. Pernah
ketika aku sedang menderita, aku meninggalkan pekerjaanku dan melarikan diri
kepada Yesus dan minta kepada-Nya untuk memberikan kepadaku kekuatan-Nya.
Sesudah doa yang sangat singkat, aku kembali ke pekerjaanku dengan penuh
semangat dan sukacita. Kemudian, salah seorang dari para suster berkata
kepadaku, “Hari ini Suster kelihatan
begitu berseri-seri. Pasti, Allah tidak lagi memberimu penderitaan, tetapi
hanya penghiburan.” “Suster salah besar,” jawabku, “karena justru pada saat banyak menderita aku lebih bersukcita; dan
apabila penderitaanku berkurang, sukacitaku juga kurang.” Tetapi, jiwa itu
memberi isyarat kepadaku bahwa ia tidak memahami apa yang kukatakan. Aku
berusaha menjelaskan kepadanya bahwa ketika kita banyak menderita, kita
memiliki kesempatan yang besar untuk menunjukkan kepada Allah bahwa kita
mencintai Dia; tetapi ketika kita menderita sedikit, lebih kecillah kesempatan
yang kita miliki untuk menunjukkan cinta kita kepada Allah; dan kalau kita
tidak menderita sama sekali, maka cinta kita entah sungguh besar entah sungguh
murni. Dengan rahmat Allah, kita dapat memperoleh suatu tahap di mana
penderitaan akan menjadi kesukaan bagi kita karena cinta dapat mengerjakan
hal-hal seperti itu di dalam jiwa-jiwa yang murni.
(304) Ya Yesusku, harapanku
satu-satunya, syukur kepada-Mu karena buku yang telah Engkau buka di hadapan
mata jiwaku. Buku itu adalah sengsara-Mu yang telah Kaujalani karena cinta-Mu
kepadaku. Dari buku inilah aku telah mempelajari bagaimana mencintai Allah dan
mencintai jiwa-jiwa. Dalam buku ini, ditemukan harta yang tak kunjung habis
bagi kita. Ya Yesus, betapa sedikit jiwa yang memahami Engkau dalam kemartiran
cinta kasih-Mu! Oh, betapa besarnya api cinta paling murni yang berkobar di
dalam Hati-Mu yang mahakudus! Berbahagialah jiwa yang telah memahami cinta Hati
Yesus!
(305) Keinginanku yang paling besar
adalah supaya jiwa-jiwa mengenal Engkau sebagai kebahagiaan kekal mereka, bahwa
mereka percaya kepada kebaikan-Mu dan memuliakan kerahiman-Mu yang tak
terbatas.
(306) Aku memohon kepada Tuhan
untuk memberiku rahmat supaya kodratku menjadi kebal dan tahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang kadang-kadang berusaha menjauhkan aku dari roh peraturan
dan dari tata tertib yang lebih kecil. Pelanggaran-pelanggaran kecil ini ibarat
ngengat kecil-kecil yang berusaha menghancurkan kehidupan rohani di dalam diri
kita, dan mereka tentu saja akan menghancurkannya kalau jiwa menyadari
pelanggaran-pelanggaran kecil ini, tetapi mengabaikannya sebagai hal-hal yang
kecil. Aku dapat melihat tidak ada sesuatu yang kecil dalam kehidupan membiara.
Kalau kadang-kadang aku menjadi sasaran kejengjelan dan cemooh, itu semua tidak
menjadi masalah, asalkan rohku tetap berada dalam harmoni dengan roh peraturan,
dengan kaul, dan dengan statuta hidup membiara.
Ya Yesusku, kesukaan hatiku, Engkau
mengetahui kerinduan-kerinduanku. Aku ingin bersembunyi dari tatapan orang-orang
supaya aku hidup, tetapi tampaknya tidak hidup. Aku ingin hidup murni seperti
bunga liar; aku ingin cintaku selalu tertuju kepada-Mu, sama seperti bunga yang
selalu mengarah kepada matahari. Aku ingin aroma dan kesegaran bunga hatiku
selalu terpelihara hanya bagi-Mu. Aku ingin hidup di bawah tatapan ilahi-Mu
karena Engkau saja sudah cukup bagiku. Apabila aku bersama-Mu, Yesus, aku tidak
takut akan suatu pun karena tidak satu pun dapat merugikan aku.
(307) 1934. Pernah, dalam Masa
Prapaskah, aku melihat suatu terang cemerlang dan suatu kegelapan pekat di atas
biara dan kapel. Aku melihat pergulatan antara kedua kekuatan itu...
(308) 1934, Kamis Putih. Yesus
berkata kepadaku, “Aku ingin agar engkau mempersembahkan dirimu bagi orang-orang berdosa,
khususnya bagi jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah.”
Allah dan Jiwa-jiwa. Doa
Persembahan.
(309) Di hadapan surga dan bumi, di
hadapan segenap paduan suara para malaikat, di hadapan Perawan Maria yang
Tersuci, di hadapan segala Kuasa surga, aku menyatakan kepada Allah Tritunggal
bahwa hari ini, dalam kesatuan dengan Yesus Kristus, Penebus jiwa-jiwa, aku
mempersembahkan diriku secara sukarela untuk pertobatan orang-orang berdosa,
khususnya untuk jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan akan kerahiman Allah.
Persembahan ini meliputi penerimaan, dengan kepatuhan total kepada kehendak
Allah, semua penderitaan, ketakutan, dan kegentaran yang memenuhi hati
orang-orang berdosa. Sebaliknya, aku memberikan kepada mereka semua penghiburan
yang diterima jiwaku dari persekutuanku dengan Allah. Singkat kata, aku
mempersembahkan segala sesuatu bagi mereka: misa kudus, komuni kudus, tobat,
mati raga dan doa. Aku tidak takut akan pukulan, pukulan keadilan ilahi sebab
aku disatukan dengan Yesus. Ya Allahku, dengan cara ini, aku ingin mengadakan
penyilihan kepada-Mu atas jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan-Mu.
Melawan segala harapan, aku berharap akan samudra kerahiman-Mu. Ya Tuhanku dan
Allahku, bagianku - harta pusakaku untuk selamanya, aku mendasarkan doa
persembahan ini bukan atas kekuatanku sendiri, tetapi atas kekuatan yang
mengalir dari pahala Yesus Kristus. Aku akan mengulangi setiap hari persembahan
diri ini dengan mengucapkan doa berikut, yang Kauajarkan sendiri kepadaku,
yakni:
“O Darah dan Air yang telah memancar dari Hati Yesus sebagai sumber
kerahiman bagi kami. Engkau andalanku!”
Sr. Maria Faustina dari Sakramen
Mahakudus. Kamis Putih, dalam Misa
Kudus, 29 Maret 1934.
(310) “Aku memberi engkau bagian dalam
penebusan umat manusia. Engkaulah kesejukan di saat Aku menghadapi ajal.”
(311) Ketika aku menerima izin dari
bapak pengakuanku untuk melaksanakan penyerahan diri ini, aku segera tahu bahwa
penyerahan itu berkenan di hati Allah sebab serta merta aku mulai mengalami
buahnya. Dalam sekejap jiwaku menjadi seperti batu - keras, penuh dengan
siksaan dan kegelisahan. Segala macam hujat dan kutuk terus mengiang di
telingaku. Ketidakpercayaan dan keputusasaan menyerbu hatiku. Inilah keadaan
orang papa, yang telah kuterima atas diriku. Mula-mula, aku sangat ketakutan
karena hal-hal yang mengerikan ini, tetapi dalam pengakuan pertama [tepat pada
waktunya], hatiku diliputi damai.
(312) Pernah ketika aku pergi
keluar biara untuk mengaku dosa, kebetulan aku melihat bapak pengakuanku yang
sedang merayakan misa. Sesaat kemudian, aku melihat Kanak-kanak Yesus pada
altar, yang penuh dengan sukacita dan wajah berseri mengulurkan tangan
kepadanya. Tetapi, sesaat kemudian imam mengambil
Anak yang mungil itu dengan tangannya, mematah-matahkan-Nya dan memakan-Nya
hidup-hidup. Mula-mula aku merasa tidak senang dengan imam itu karena telah
melakukan hal itu terhadap Yesus, tetapi aku langsung mendapat penerangan
mengenai hal ini dan aku memahami bahwa imam ini sangat menyenangkan hati
Allah.
(313) Pernah ketika aku mengunjungi
seniman yang melukis gambar Kerahiman Ilahi, dan melihat bahwa gambar itu tidak
seindah Yesus yang aku saksikan, aku erasa sangat sedih akan hal itu, tetapi
aku menyembunyikan kesedihan itu dalam-dalam di lubuk hatiku. Setelah kami
meninggalkan rumah sang seniman, Muder Superior singgah di kota untuk
menyelesaikan sejumlah urusan sementara aku pulang ke rumah sendirian. Aku
langsung pergi ke kapel dan menangis sepuasku. Aku berkata kepada Tuhan, “Siapa yang dapat melukis Engkau seindah
Engkau sendiri?” Kemudian aku mendengar kata-kata ini, “Bukan dalam indahnya warna,
bukan pula dalam bagusnya kuas terletak kebesaran gambar ini, tetapi dalam
rahmat-Ku.”
(314) Pada suatu petang ketika aku
pergi ke taman, Malaikat Pelindungku berkata kepadaku, “Berdoalah untuk orang-orang yang menghadapi ajal.” Maka aku
langsung mulai berdoa rosario bersama anak-anak asrama yang sedang merawat
taman untuk orang yang menghadapi ajal. Sesudah doa, anak-anak mulai bercanda
dengan riang gembira di antara mereka. Kendati kegaduhan yang mereka ciptakan,
aku mendengar suara ini di dalam jiwaku, “Berdoalah
untukku!” Tetapi karena aku tidak dapat menangkap suara itu dengan baik,
aku menjauh beberapa langkah dari anak-anak itu, sambil berpikir siapa kiranya
yang minta aku doakan. Kemudian aku mendengar kata-kata, “Aku Suster ...” Suster ini ada di Warsawa padahal aku, waktu itu,
berada di Vilnius. “Berdoalah untukku
sampai aku katakan kepadamu untuk berhenti. Aku sedang menghadapi ajal.”
Serta merta aku mulai berdoa dengan khusyuk baginya kepada Hati Yesus yang
mulai menghadapi ajal. Suster itu belum memberiku istirahat, dan aku terus
berdoa demikian mulai [pukul] tiga sampai pukul lima. Pada pukul lima aku
mendengar suara, “Terima kasih!” dan
aku tahu bahwa suster itu sudah meninggal. Dalam misa keesokan harinya, aku
berdoa lagi dengan khusyuk untuk jiwanya. Pada petang hari, sebuah kartu pos
tiba yang mengatakan bahwa suster ... telah meninggal tepat pada waktu itu. Aku
mengerti bahwa persis pada saat itulah ia berkata kepadaku, “Berdoalah untukku.”
(315) Ya Bunda Allah, jiwamu
tenggelam dalam samudra kepahitan. Pandanglah aku, anakmu, dan ajarlah aku
menderita serta tetap menunjukkan cinta di saat menderita. Kuatkanlah jiwaku,
jangan sampai dipatahkan oleh penderitaan. Bunda rahmat, ajarlah aku untuk
hidup bersatu dengan Allah.
(316) Pernah, Bunda Allah datang
mengunjungi aku. Ia tampak sedih. Matanya tertunduk ke bawah. Sangat jelas
bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi di lain pihak, seolah-olah ia tidak
mau berbicara denganku mengenai hal itu. Mengetahui hal itu, aku mulai minta
kepada Bunda Allah untuk memandang aku dan berbicara kepadaku. Saat itu juga
Maria memandang aku dengan senyum hangat dan berkata, “Engkau akan mengalami beberapa penderitaan karena suatu penyakit dan
karena para dokter; engkau juga akan menderita banyak karena gambar itu, tetapi
jangan takut akan apa pun.” Hari berikutnya aku jatuh sakit dan sangat
menderita, persis seperti yang telah dikatakan oleh Bunda Allah. Tetapi jiwaku
sudah siap untuk menanggung penderitaan-penderitaan. Seluruh hidupku tidak
pernah lepas dari penderitaan.
(317) Ya Allahku, satu-satunya
harapanku, aku telah menempatkan seluruh kepercayaanku kepada-Mu, dan aku tahu
aku tidak akan dikecewakan.
(318) Aku sering merasakan
kehadiran Allah sesudah komuni kudus secara istimewa dan sangat nyata. Aku tahu
Allah berada di dalam hatiku. Dan kenyataan bahwa aku merasakan kehdairan-Nya
di dalam hatiku tidak mengganggu pelaksanaan tugas-tugasku. Juga, kalaupun aku
sedang menangani masalah-masalah penting yang menuntut perhatian besar, aku
tetap dapat merasakan kehadiran Allah di dalam jiwaku, dan aku tetap bersatu
erat dengan Dia. Bersama Dia aku pergi bekerja, bersama Dia aku pergi untuk
berekreasi, bersama Dia aku menderita, bersama Dia aku bersukacita; aku hidup
di dalam Dia dan Ia di dalam aku. Aku tidak pernah sendirian sebab Ia
senantiasa menyertai aku. Stiap saat aku menyadari kehadiran-Nya. Kemesraan
kami luar biasa, lewat kesatuan darah dan kehidupan.
(319) 9 Agustus 1934. Tuguran pada
Kamis Putih. Aku melaksanakan tuguranku mulai pukul sebelas sampai tengah
malam. Aku mempersembahkan tuguran ini untuk pertobatan orang-orang berdosa
yang keras hati, khususnya untuk mereka yang telah kehilangan harapan akan
kerahiman Allah. Aku merenungkan betapa beratnya Tuhan telah menderita dan
betapa besar kasih yang Ia tunjukkan kepada kita; aku juga merenungkan
kenyataan bahwa kita masih belum percaya bahwa Allah sedemikian mengasihi kita.
Ya Yesus, siapa yang dapat memahami hal ini? Betapa beratnya penderitaan yang
harus ditanggung Juru Selamat kita! Bagaimana Ia dapat meyakinkan kita akan
cinta-Nya kalau bahkan kematian-Nya tidak dapat meyakinkan kita? Aku memanggil
seluruh surga untuk bergabung denganku dalam doa penyilihan kepada Tuhan atas
sikap tidak tahu terima kasih dari sejumlah jiwa.
(320) Yesus memberitahukan kepadaku
betapa doa-doa penyilihan sangat berkenan di hati-Nya. Ia berkata kepadaku, “Doa
yang dipanjat oleh jiwa yang rendah hati dan penuh kasih meredakan murka
Bapa-Ku dan menurunkan hujan berkat.” Sesudah adorasi, di tengah jalan
kembali ke kamarku, aku dikerumuni oleh sekelompok anjing hitam yang besar,
yang melompat-lompat, menyalak, dan berusaha mencabik-cabik aku. Aku menyadari
bahwa mereka bukan anjing, tetapi setan-setan. Satu dari mereka berbicara
dengan kasar, “Karena malam ini engkau
telah merenggut banyak jiwa dari kami, kami akan mencabik-cabikmu.” Aku
menjawab, “Kalau memang itu kehendak
Allah yang maharahim, cabik-cabiklah aku karena aku justru menginginkannya
sebab aku adalah yang paling celaka dari semua pendosa, dan Allah selalu kudus,
adil, dan tak terbatas kerahiman-Nya.” Mendengar kata-kata ini, semua setan
itu menjawab serentak, “Mari kita lari
sebab ia tidak sendirian; Yang Mahakuasa menyertainya!” Dan mereka lenyap
seperti debu, seperti hiruk pikuk jalanan, sementara aku melanjutkan perjalanan
ke kamarku tanpa terganggu, sambil menyelesaikan Te Deum-ku dan merenungkan kerahiman Allah yang tak terbatas dan
tak terselami.
12 Agustus 1934
(321) Sakit mendadak - Penderitaan
yang amat berat. Ini bukanlah kematian, tetapi suatu peralihan menuju kehidupan
yang sejati; namun penderitaan ini begitu berat, dan rasanya seperti kematian.
Meskipun memberi kita kehidupan kekal, kematian itu mengerikan.
Sekonyong-konyong aku jatuh sakit, aku merasa sesak napas, kegelapan membayang
di depan mataku, anggota-anggota tubuhku semakin kaku - dan aku merasakan
kekurangan napas yang mengerikan. Meskipun sebentar, sesak napas itu rasanya
sedemikian lama. ... Juga muncul suatu ketakutan yang aneh, di samping
pengharapan. Aku ingin menerima sakramen-sakramen terakhir, tetapi luar biasa
sulit untuk mengaku dosa meskipun aku ingin melakukannya. Orang tidak tahu apa
yang ia katakan; tanpa menyelesaikan yang satu, ia mulai mengatakan yang lain.
Oh, semoga Allah menjaga agar tidak
satu jiwa pun menangguhkan pengakuan dosa sampai saat terakhir! Aku memahami
kekuatan besar dari kata-kata imam ketika kata-kata itu meluncur ke arah jiwa
orang sakit. Ketika aku bertanya bapak rohaniku apakah aku siap untuk berdiri
di hadapan Tuhan dan apakah aku dapat merasakan damai, aku menerima jawaban, “Suster dapat menikmati damai sepenuhnya,
bukan hanya sekarang tetapi juga sesudah setiap pengakuan dosa mingguan.” Sungguh
besar rahmat ilahi yang menyertai kata-kata imam ini. Jiwaku merasakan kekuatan
dan keberanian untuk bertempur.
(322) O Kongregasiku, ibuku, betapa
menyenangkan hidup sebagai anggotamu, tetapi lebih baik lagi mati sebagai
anggotamu!
(323) Sesudah aku menerima
sakramen-sakramen terakhir, ada suatu perkembangan yang mencolok. Aku masih
tetap sendirian. Ini berlangsung selama setengah jam dan kemudian timbul
serangan baru; tetapi ini tidak begitu kuat karena campur tangan dokter.
Aku mempersatukan
penderitaan-penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan mempersembahkannya untuk
diriku sendiri dan untuk pertobatan jiwa-jiwa yang tidak percaya akan kebaikan
Allah. Sekonyong-konyong, kamarku penuh dengan sosok serba hitam yang penuh
dengan kemarahan dan kebencian terhadapku. Satu dari mereka berkata, “Terkutuklah engkau dan Ia yang ada dalam
dirimu karena engkau mulai menyiksa kami yang bahkan sudah di neraka.”
Begitu aku berkata, “Dan, Sang Sabda
sudah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” sosok-sosok itu lenyap
seketika.
(324) Keesokan harinya, aku merasa
sangat lemah, tetapi tidak merasakan penderitaan apa pun lagi. Sesudah komuni
kudus, aku melihat Tuhan Yesus persis seperti yang aku lihat dalam salah satu
adorasi. Tatapan mata Tuhan terus menerus menembus jiwaku, dan bahkan debu yang
terkecil pun tidak lolos dari perhatian-Nya. Dan aku berkata kepada Yesus, “Yesus, aku pikir Engkau akan memanggilku.”
Dan Yesus menjawab, “Kehendak-Ku belum sepenuhnya digenapi dalam dirimu; engkau masih akan
tinggal di bumi, tetapi tidak lama. Aku sangat senang dengan kepercayaanmu,
tetapi cintamu hendaknya lebih berkobar. Cinta yang murni memberikan kekuatan
kepada jiwa pada saat ia menghadapi ajal. Ketika Aku menghadapi ajal di salib,
Aku sama sekali tidak memikirkan diri-Ku sendiri, tetapi memikirkan para
pendosa yang malang, dan Aku berdoa bagi mereka kepada Bapa-Ku. Aku menghendaki
saat-saat terakhirmu menjadi sepenuhnya mirip dengan saat-saat terakhir-Ku di
salib. Hanya ada satu cara menebus jiwa-jiwa, yaitu penderitaan yang disatukan
dengan penderitaan-Ku di salib. Cinta yang murni memahami kata-kata ini; cinta
daging tidak pernah akan memahaminya.”
(325) Tahun 1934. Pada hari Bunda
Allah diangkat ke surga aku tidak menghadiri misa kudus. Dokter perempuan itu
tidak mengizinkan aku; tetapi aku berdoa dengan khusyuk di kamarku. Tidak lama
sesudah itu, aku melihat Bunda Allah, tak terperikan eloknya. Ia berkata
kepadaku, “Putri-Ku, yang aku minta
darimu adalah doa, doa, dan sekali lagi doa, bagi dunia dan khususnya bagi
Tanah Airmu. Selama sembilan hari sambutlah komuni sebagai penyilihan dan
persatukanlah dirimu erat-erat dengan kurban misa kudus. Selama sembilan hari
ini, engkau akan berdiri di hadapan Allah sebagai suatu persembahan: selalu dan
di mana-mana, di segala waktu dan tempat, siang atau malam, kapan saja engkau
terjaga, berdoalah dalam roh. Dalam roh, orang selalu dapat tetap berdoa.”
(326) Pernah, Yesus berkata
kepadaku, “Tatapan mata-Ku dari gambar ini sama dengan tatapan mata-Ku dari
salib.”
(327) Pernah, bapak pengakuanku
bertanya kepadaku di mana tulisan itu harus ditempatkan sebab tidak ada cukup
ruang dalam gambar itu untuk mencantumkan segala sesuatu. Aku menjawab, “Aku akan berdoa dan memberi jawaban pekan
depan.” Ketika aku meninggalkan kamar pengakuan dan sedang melintas di
depan Sakramen Mahakudus, aku menerima suatu pengetahuan batin mengenai tulisan
itu. Yesus mengingatkan aku akan apa yang telah Ia beri tahukan kepadaku
pertama kali; yakni, bahwa tiga kata ini harus tampak dengan jelas: “Yesus,
Engkau Andalanku” [Jezu, Ufam Tobie]. Aku sadar bahwa
Yesus menghendaki seluruh kalimat ditulis dalam gambar, tetapi Ia tidak
memberikan perintah langsung dan tegas seperti yang Ia lakukan untuk ketiga
kata itu.
“Aku memberikan tanda kepada umat
manusia sebuah wadah yang harus mereka bawa ketika mereka datang memohon rahmat
ke sumber kerahiman. Wadah itu adalah gambar ini dengan tulisan - Yesus, Engkau
Andalanku.”
(328) O Cinta yang paling murni,
merajalah di dalam hatiku dengan segenap kuasa-Mu dan tolonglah aku melakukan
kehendak-Mu yang kudus dengan sesetia mungkin!
(329) Menjelang akhir suatu retret
tiga hari, aku melihat diriku berjalan menyusuri lorong yang tidak rata. Aku
terus menerus tersandung, dan aku melihat di belakangku sosok seorang yang
terus menopang aku. Aku tidak merasa nyaman dengan topangan ini dan minta orang
itu untuk meninggalkan aku sendirian karena aku ingin berjalan sendiri. Tetapi,
sosok yang tidak dapat aku kenali itu tidak mau meninggalkan aku sesaat pun.
Aku menjadi tidak sabar dan berpaling serta menghempaskan orang itu dariku.
Pada saat itu, aku melihat bahwa ia adalah Muder Superior, dan pada saat yang
sama aku melihat bahwa ia bukan Muder Superior, tetapi Tuhan Yesus yang
memandang tajam ke dalam hatiku dan memberiku pengertian betapa menyakitkan
bagi-Nya ketika aku, bahkan dalam hal-hal yang paling ringan, tidak melakukan
kehendak superior, “yang adalah kehendak-Ku,” [kata-Nya]. Aku minta ampun kepada
Tuhan dan dengan segenap hatiku aku menyimpan hal ini dalam hatiku.
(330) Pernah, bapak pengakuan
meminta aku agar berdoa untuk intensinya, dan aku memulai suatu novena kepada
Bunda Allah. Novena ini meliputi doa Salam, Ratu Surga, yang didaras sembilan
kali. Menjelang akhir novena itu aku melihat Bunda Allah dengan Bayi Yesus di
pelukannya, dan aku juga melihat bapak pengakuanku berlutut dekat kakinya dan
berbicara dengan dia. Aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan dengan dia
sebab aku sibuk berbicara dengan Bayi Yesus, yang turun dari pelukan ibu-Nya
dan mendekatiku. Aku tidak dapat berhenti mengaguni ketampanan-Nya. Aku
mendengar beberapa kata yang diucapkan Bunda Allah kepadanya [yakni, bapak
pengakuanku] tetapi tidak semuanya. Kata-kata itu adalah, “Aku bukan hanya Ratu Surga, tetapi juga Bunda Berbelas Kasih dan
Bundamu.” Dan pada saat itu ia mengulurkan tangan kanannya sambil
membentangkan mantolnya, dan ia menyelubungi imam itu dengannya. Pada saat itu,
penglihatan itu pun lenyap.
(331) Oh, sungguh karunia yang amat
besar memiliki seorang pembimbing rohani! Orang dapat maju dalam keutamaan
dengan lebih pesat, ia dapat melihat kehendak Allah dengan lebih jelas,
memenuhinya dengan lebih setia, dan dapat menempuh jalan yang aman dan bebas
dari bahaya. Pembimbing rohani tahu bagaimana menghindari batu-batu yang dapat
menghancurkan. Memang, agak lambat Tuhan memberi rahmat ini kepadaku, tetapi
aku sangat bersukacita karenanya sebab aku menyadari bagaimana Allah
mencondongkan kehendak-Nya kepada keinginan-keinginan pembimbing rohaniku. Aku
hanya akan menyebut satu kejadian di antara ribuan kejadian yang telah terjadi
atas diriku. Seperti biasanya, pada suatu petang aku mohon kepada Tuhan Yesus
untuk memberiku butir-butir renungan untuk keesokan harinya. Aku menerima
jawaban, “Renungkanlah Nabi Yunus dan perutusannya!” Aku bersyukur
kepada Tuhan, tetapi aku mulai berpikir dalam hatiku betapa berbedanya topik
itu dari topik-topik yang lain. Tetapi dengan segenap jiwaku, aku berusaha
merenungkannya, dan aku mengenali diriku sendiri dalam pribadi sang nabi, dalam
arti bahwa sering kali aku juga berusaha mencari dalih terhadap Tuhan, dengan
mengatakan bahwa orang lain akan melaksanakan kehendak kudus-Nya dengan lebih
baik [daripada aku], dan aku tidak memahami bahwa Allah dapat melakukan segala
sesuatu dan bahwa kemahakuasaan-Nya akan lebih nyata kalau alatnya lebih
sederhana. Allah menjelaskan hal ini kepadaku dengan cara sebagai berikut.
Petang itu, ada pengakuan dosa komunitas. Kepada pembimbing rohani jiwaku, aku
membeberkan ketakutan yang mencekam aku karena misi yang aku terima, dan untuk
misi itu Allah menggunakan aku, alat yang sama sekali kurang memadai. Ketika
mendengar hal itu, bapak rohaniku menjawab bahwa mau atau tidak kita harus
melaksanakan kehendak Allah, dan imam itu menunjukkan kepadaku Nabi Yunus
sebagai contoh. Sesudah pengakuan, aku heran bagaimana bapak pengakuan itu tahu
bahwa Allah telah menyuruh aku bermeditasi mengenai Yunus; padahal aku sendiri
tidak memberitahukan kepadanya. Kemudian aku mendengar suara-suara ini, “Apabila
imam bertindak sebagai wakil-Ku, ia tidak bertindak dari dirinya sendiri,
tetapi Aku yang bertindak lewat dia. Harapannya adalah harapan-Ku.” Kini,
aku dapat melihat bagaimana Yesus membela wakil-wakil-Nya. Ia sendiri masuk ke
dalam tindakan mereka.
(332) Kamis. Ketika memulai ibadat
Jam Kudus, aku membenamkan diriku dalam sakratulmaut Yesus di Taman Zaitun.
Maka, aku mendengar suatu suara dalam jiwaku, “Renungkanlah misteri Inkarnasi.”
Dan tiba-tiba, Bayi Yesus tampak di hadapanku, bersinar-sinar memancarkan
keindahan. Ia memberitahukan kepadaku betapa Allah sangat berkenan akan
kesederhanaan dalam suatu jiwa. “Meskipun keagungan-Ku melampaui segala pengertian,
aku menyatukan diri-Ku hanya dengan mereka yang kecil. Aku menuntut darimu
semangat seorang anak.”
(333) Kini, aku melihat dengan
jelas bagaimana Allah bertindak lewat bapak pengakuan, dan betapa setianya
Allah memegang janji-janji-Nya. Dia pekan yang lalu, bapak pengakuanku menyuruh
aku merenungkan sifat rohani seorang anak. Mula-mula sedikit sulit, tetapi
bapak pengakuanku, tanpa memperdulikan kesulitan-kesulitanku, menyuruh aku
terus merenungkan sifat rohani seorang anak. “Secara praktis, sifat seorang anak,” [katanya], “tampak sebagai berikut: seorang anak tidak
mencemaskan masa lampau ataupun masa depan. Ia asyik menggunakan waktu yang
sekarang ada. Saya ingin menekankan agar ciri rohani seperti seorang anak ini
ada dalam diri Suster; saya sangat menekankannya.”
(334) Aku dapat melihat betapa
Allah tunduk kepada keinginan-keinginan bapak pengakuanku; pada saat itu Allah
tidak memperlihatkan diri-Nya kepadaku sebagai seorang Guru dengan seluruh
kekuatan-Nya dan kedewasaan insani-Nya, tetapi sebagai seorang Anak kecil. Allah
yang melampaui segala pengertian membungkuk kepadaku dalam rupa seorang Anak
kecil.
Tetapi, mata jiwaku tidak berhenti
pada permukaan. Meskipun Engkau mengambil rupa seorang Anak, aku melihat dalam
diri-Mu Tuhan semua tuan; Engkau kekal dan tak terbatas, Engkau disembah oleh
roh-roh yang murni, siang dan malam, dan bagi-Mu hati para Serafim
berkobar-kobar dengan api cinta yang paling murni. Ya Kristus, ya Yesus, aku
ingin mengungguli mereka dalam cintaku akan Dikau! Aku minta maaf kepada
kalian, hai roh-roh yang murni, atas keberanianku membandingkan diriku dengan
kalian. Aku hanyalah tumpukan kemalangan, jurang kepapaan; sedangkan Engkau, ya
Allah, adalah kedalaman kerahiman yang tak terselami, yang menekan aku ibarat
panas matahari melahap setetes embun! Satu tatapan mata penuh kasih dari-Mu
akan meratakan jurang. Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa atas keagungan
Allah. Menyaksikan keagungan Allah lebih dari cukup untuk membuatku bahagia
sepanjang segala abad!
(335) Pernah ketika aku melihat Yesus
dalam wujud seorang anak kecil, aku bertanya, “Yesus, mengapa saat ini ketika bersatu denganku, Engkau tampil dalam
ujud seorang anak? Kendati semua ini, aku tetap melihat dalam diri-Mu Allah
yang tak terbatas, Tuhanku dan Penciptaku,” Yesus menjawab bahwa Ia bergaul
denganku sebagai seorang anak kecil sampai saatnya aku sudah memahami
kederhanaan dan kerendahan hati.
(336) 1934. Dalam misa kudus ketika
Tuhan Yesus ditampilkan dalam Sakramen Mahakudus, sebelum komuni aku melihat
dua sinar memancar dari Hosti kudus, persis seperti yang terlukis dalam gambar,
satu merah dan yang lain pucat. Dan kedua sinar itu memancar atas setiap suster
dan setiap siswi, tetapi dengan cara yang tidak sama. Pada beberapa dari antara
mereka kedua sinar itu hampir tak kelihatan. Itulah hari terakhir dari retret
anak-anak.
(337) 22 November 1934. Sekali
peristiwa, pembimbing rohaniku menyuruh aku introspeksi dengan saksama dan
meneliti apakah aku memiliki suatu kelekatan kepada suatu benda atau ciptaan
tertentu, atau bahkan kepada diriku sendiri; atau apakah aku terlibat dalam
obrolan yang sia-sia. “Sebab semua hal
ini,” [katanya], “menghambat Tuhan
Yesus dengan bebas menata jiwamu. Allah itu cemburu akan hati kita dan Ia
menghendaki agar kita hanya mengasihi Dia.”
(338) Ketika aku mulai mawas diri
dengan saksama, aku sama sekali tidak menemukan satu keterikatan pada suatu
pun. Tetapi, seperti dalam semua hal yang menyangkut diriku, demikian juga
dalam hal ini, aku takut dan tidak percaya akan diriku sendiri. Letih karena pemeriksaan
batin yang rumit ini, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon
kepada Yesus dengan segenap tenaga jiwaku, “Yesus,
Mempelaiku, Harta hatiku, Engkau tahu bahwa aku hanya mengenal Engkau dan bahwa
aku tidak memiliki kekasih lain selain Engkau; tetapi Yesus, kalau aku tergoda
untuk terikat pada sesuatu yang bukan Engkau, aku mohon dan mendesak kepada-Mu,
Yesus, dengan kuasa kerahiman-Mu, biarlah seketika itu juga kematian turun atas
diriku sebab lebih baik aku mati seribu kali daripada tidak setia kepada-Mu
satu kali bahkan dalam perkara yang paling kecil.”
(339) Pada saat itu, Yesus
tiba-tiba berdiri di hadapanku, tanpa kuketahui dari mana. Ia bercahaya dengan
keindahan yang sulit dipercaya, mengenakan jubah putih, dengan kedua tangan
terangkat, dan Ia mengucapkan kata-kata ini kepadaku, “Putri-Ku, hatimu adalah tempat
istirahat-Ku; hatimu adalah kesukaan-Ku. Di dalamnya, Aku mendapati segala
sesuatu yang ditolak oleh begitu banyak jiwa. Katakan ini kepada wakil-Ku.”
Dan sesaat kemudian, aku tidak melihat apa-apa, tetapi seluruh samudra
penghiburan mengalir ke dalam jiwaku.
(340) Kini aku tahu bahwa tidak
suatu pun dapat menhentikan kasihku bagi-Mu, ya Yesus, baik penderitaan,
sengsara, api, pedang, maupun kematian sendiri. Aku merasa lebih kuat daripada
semua hal itu. Tidak ada suatu pun yang dapat dibandingkan dengan kasih. Aku
menyaksikan bahwa hal-hal paling kecil
yang dilakukan oleh jiwa yang mengasihi Allah dengan tulus hati memiliki
nilai yang luar biasa dalam pandangan mata-Nya yang kudus.
(341) 5 November 1934. Pada suatu
pagi, sesudah membuka gerbang untuk membiarkan orang masuk orang-orang kami
yang mengantar makanan, aku masuk ke kapel kecil untuk mengunjungi Yesus
sejenak dan untuk membarui niat-niatku hari ini. “Ya Yesus, hari ini aku mempersembahkan kepada-Mu semua penderitaan,
mati raga dan doa-doaku untuk Bapa Suci supaya ia dapat mengesahkan Pesta
Kerahiman. Tetapi, ya Yesus, aku mempunyai satu kata lagi untuk kusampaikan
kepada-Mu: aku sangat heran bahwa Engkau meminta aku berbicara tentang Pesta
Kerahiman ini karena orang berkata bahwa
pesta seperti itu sudah ada; karena itu, mengapa aku harus berbicara mengenai
hal ini?” Dan Yesus berkata kepadaku, “Tetapi, siapa yang tahu itu? Tidak seorang
pun! Bahkan mereka yang seharusnya memaklumkan kerahiman-Ku dan mengajar umat
mengenai kerahiman-Ku sering kali tidak mengetahui hal ini. Itulah sebab Aku
menghendaki gambar itu diberkati secara meriah pada Hari Minggu pertama sesudah
Paskah, dan Aku menghendaki gambar itu dihormati secara publik supaya setiap
jiwa dapat mengenalnya.”
“Lakukanlah novena untuk ujud-ujud
Bapa Suci. Novena ini hendaknya mencakup tiga puluh tiga doa; yakni pengulangan
sebanyak itu doa singkat kepada Kerahiman Ilahi - yang telah Kuajarkan
kepadamu.”
(342) Penderitaan adalah harta
terbesar di bumi ini; penderitaan mampu memurnikan jiwa. Dengan penderitaan,
kita mengetahui siapa sahabat sejati kita. Cinta sejati diukur dengan
menggunakan penderitaan.
(343) Ya Yesus, aku bersyukur kepada-Mu
atas salib-salib harian yang kecil, atas rintangan terhadap usaha-usahaku, atas
kerasnya kehidupan bersama, atas salah tafsir terhadap maksud-maksudku, atas
penghinaan dari pihak orang-orang lain, atas perlakuan kasar terhadap kami,
atas kecurigaan-kecurigaan yang tidak beralasan, atas buruknya kesehatan dan
hilangnya kekuatan, atas penyangkalan diri, atas mati terhadap diri sendiri,
atas kurangnya pemahaman dalam segala sesuatu, atas kacau-balaunya semua
rencanaku.
Syukur kepada-Mu, ya Yesus, atas penderitaan
batin, atas kegersangan rohani, atas kegentaran, atas ketakutan dan
kegelisahan, atas kegelapan dan malam batin yang pekat, atas pencobaan dan
aneka siksaan, atas siksaan yang terlalu sulit dilukiskan, khususnya atas semua
hal yang tidak dipedulikan orang, atas saat kematian dengan pergulatannya yang
menakutkan dan atas semua kepahitannya.
Aku bersyukur kepada-Mu, ya Yesus,
karena Engkau sudah lebih dulu minum piala kepahitan itu sebelum Engkau
memberikannya kepadaku dalam ukuran yang jauh lebih ringan. Aku menempelkan
bibirku pada piala kehendak-Mu yang kudus. Biarlah semua terjadi menurut
perkenan-Mu; biarlah apa yang ditetapkan oleh kebijaksanaan-Mu sebelum segala
abad terlaksana padaku. Aku ingin meminum piala itu sampai tetes terakhir, dan tidak
ingin tahu alasannya. Dalam kepahitanlah - sukacitaku, dalam keputusasaanlah -
kepercayaanku. Dalam Dikau, ya Tuhan, segalanya baik, segalanya adalah anugerah
hati kebapaan-Mu. Aku tidak mengutamakan penghiburan di atas kepahitan atau
kepahitan di atas penghiburan, tetapi atas segala sesuatu aku bersyukur
kepada-Mu, ya Yesus! Adalah kesukaanku untuk menatap Engkau, ya Allah yang tak
terselami. Rohku tinggal di dalam keberadaan yang misterius, dan di sana aku
merasa betah. Aku tahu dengan baik tempat kediaman Mempelaiku. Aku merasa tidak
ada satu tetes darah pun di dalam diriku yang tidak berkobar oleh kasihku
pada-Mu.
O Keindahan Yang Tak Tercipta,
siapa saja mengenal Engkau sekali saja, ia tidak dapat mengasihi sesuatu yang
lain. Aku dapat merasakan lubuk jiwaku yang tanpa dasar, dan tidak ada suatu
pun yang dapat memenuhinya kecuali Allah sendiri. Aku merasa bahwa aku
tenggelam dalam Dia seperti sebutir pasir dalam samudra yang tak terduga
dalamnya.
(344) 20 Desember 1934. Pada suatu
petang ketika aku memasuki kamarku, aku melihat Tuhan Yesus tampak dalam suatu
monstrans di langit terbuka. Pada kaki Yesus, aku melihat bapak pengakuanku,
dan di belakangnya sejumlah besar pejabat gerejawi tingkat tertinggi; mereka
mengenakan jubah yang belum pernah aku lihat kecuali dalam penglihatan ini; di
belakang mereka, tampak himpunan biarawan/wati dari aneka Kongregasi; dan lebih
ke belakang lagi aku melihat himpunan orang yang luar biasa banyaknya, yang
membentang jauh melampaui penglihatanku. Aku melihat dua sinar memancar dari
Hosti, seperti dalam gambar itu, berpadu sangat dekat tetapi tidak tercampur;
dan kedua sinar itu menembus tangan bapak pengakuanku, dan kemudian lewat
tangan para klerus dan dari tangan mereka sinar itu memancar kepada umat, dan
kemudian kembali ke Hosti itu ... dan pada saat itu aku melihat diriku sendiri
sekali lagi di dalam kamarku yang baru saja aku masuki.
(345) 22 Desember 1934. Dalam pekan
ini, aku mempunyai kesempatan untuk pergi ke pangukan dosa. Ketika aku tiba,
kebetulan bapak pengakuanku sedang merayakan misa kudus. Dalam bagian ketiga
misa itu, aku melihat Bayu Yesus, sedikit lebih kecil daripada biasanya dan
dengan perbedaan ini, yakni Ia mengenakan jubah ungu. Biasanya Ia mengenakan
jubah putih.
(346) 24 Desember 1934. Malam
natal. Dalam misa pagi, aku merasa sangat dekat dengan Allah. Meskipun aku
hampir tidak menyadarinya, rohku terbenam dalam Allah. Tiba-tiba, aku mendengar
suara ini, “Engkau adalah tempat kediaman-Ku yang menyenangkan; Roh-Ku
beristirahat dalam diri-Mu.” Sesudah mendengar suara itu, aku merasa
Tuhan menatap ke dalam lubuk hatiku; sambil melihat kepapaanku, aku merendahkan
diriku dalam roh dan mengagumi kerahiman Allah yang luar biasa, yakni bahwa
Tuhan yang mahatinggi berkenan menghampiri aku yang sedemikian papa.
Pada waktu komuni kudus, sukacita
memenuhi jiwaku. Aku merasa bahwa aku dipersatukan secara erat dengan
ke-Allah-an. Kemahakuasaan-Nya meliputi seluruh keberadaanku. Sepanjang hari
ini, aku merasakan kedekatan dengan Allah secara istimewa; pada hari ini,
tugas-tugasku sepanjang hari ini sedemikian banyak sehingga aku tidak dapat
pergi ke kapel barang sejenak pun; meskipun demikian, tidak sesaatpun aku tidak
bersatu dengan Allah. Aku merasakan Dia ada di dalam diriku lebih jelas
daripada kapan pun sebelumnya. Sambil tanpa henti memberi salam kepada Bunda
Allah dan masuk ke dalam rohnya, aku meohon kepadanya untuk mengajar kepadaku
cinta sejati kepada Allah. Dan kemudian aku mendengar suara ini, “Malam
ini, dalam misa kudus, Aku akan membagikan kepadamu rahasia kebahagiaan-Ku.”
Kami makan malam sebelum pukul
enam. Kendati semua sukacita dan kegaduahn lahiriah yang menyertai acara
pembagian oplatek dan saling bertukar
harapan, tidak sedetik pun aku kehilangan kesadaran akan kehadiran Allah.
Sesudah makan malam, kami bergegas menyelesaikan pekerjaan, dan pada pukul
sembilan aku dapat pergi ke kapel untuk adorasi. Aku diizinkan untuk tetap
terjaga dan menantikan misa malam. Aku sangat senang memiliki waktu luang dari
pukul sembilan sampai tengah malam. Mulai pukul sembilan sampai pukul sepuluh,
aku mempersembahkan adorasiku untuk orang tua dan seluruh keluargaku. Dari
pukul sepuluh sampai pukul sebelas, aku mempersembahkannya untuk ujud
pembimbing rohaniku, pertama-tama bersyukur kepada Allah karena sudah memberi
aku pertolongan yang besar dan nyata di bumi ini, sebagaimana telah Ia janjikan
kepadaku; di samping itu, aku mohon kepada Allah untuk memberinya terang yang
ia perlukan sehingga ia dapat mengenal jiwaku dan membimbing aku sesuai dengan
perkenan Allah yang baik. Dan, dari pukul sebelas sampai pukul dua belas, aku
berdoa untuk Gereja Kudus dan para klerus, untuk para pendosa, untuk karya misi
dan untuk rumah-rumah Kongregasi kami. Aku memohon indulgensi untuk jiwa-jiwa
di Purgatorium.
(347) 25 Desember 1934. Pukul 00.00
Misa Tengah Malam. Begitu misa
kudus dimulai, serta merta aku merasakan permenungan batin yang sangat
mendalam; sukacita memenuhi jiwaku. Pada waktu persiapan persembahan, aku
melihat Yesus di altar, tak tertandingi indahnya. Sepanjang waktu itu Sang Bayi
terus memandangi setiap orang, sambil merentangkan tangan-tangan-Nya yang
mungil. Pada waktu Hosti diangkat, Kanak-kanak Yesus tidak memandang ke ruang
kapel tetapi menengadah ke surga. Sesudah pengangkatan, Ia memandang kami lagi,
tetapi hanya untuk waktu yang singkat sebab Ia dipatahkan dan dimakan oleh imam
seperti biasanya. Tetapi, ikat pinggang-Nya kini berwarna putih. Hari
berikutnya aku melihat hal yang sama, demikian juga pada hari ketiga. Sangat
sulit bagiku untuk mengungkapkan sukacita jiwaku. Penglihatan itu terulang pada
ketiga misa dengan cara yang sama seperti dalam misa yang pertama.
(348) Tahun 1934. Kamis pertama
sesudah Natal. Aku sama sekali lupa bahwa itu hari Kamis dan karena itu aku
tidak melakukan adorasiku. Pada pukul sembilan aku langsung pergi ke kamar
tidur bersama suster-suster lain. Tetapi cukup aneh, aku tidak dapat tidur. Aku
merasa bahwa aku belum melakukan sesuatu yang mestinya aku lakukan. Dalam hati,
aku memeriksa kembali semua tugasku hari ini, dan aku tidak ingat akan suatu
pun. Ini berlangsung sampai pukul sepuluh. Pada pukul sepuluh, aku melihat
Yesus dengan wajah yang sedih. Kemudian, Yesus mengucapkan kata-kata ini
kepadaku, “Aku sudah menunggu untuk berbagi penderitaan-Ku denganmu karena tidak
seorang pun dapat memahami penderitaan-Ku lebih baik daripada mempelai-Ku.”
Aku minta maaf kepada Yesus karena kebekuan hatiku. Aku malu dan tidak berani
memandang Tuhan Yesus, tetapi dengan hati yang remuk redam, aku mohon
kepada-Nya untuk memberikan kepadaku satu duri dari mahkota-Nya. Ia menjawab
bahwa Ia akan memenuhi permintaan ini, tetapi baru besok pagi, dan seketika itu
juga penglihatan itu lenyap.
(349) Pada pagi hari, dalam
meditasi, aku merasa satu duri yang menyakitkan di sisi kiri kepalaku.
Penderitaan ini berlangsung sepanjang hari. Aku terus merenungkan bagaimana
Yesus dapat menanggung rasa sakit akibat begitu banyak duri yang ada pada
mahkota-Nya. Aku menggabungkan penderitaanku dengan penderitaan Yesus dan
mempersembahkannya untuk orang-orang berdosa. Pada pukul empat ketika aku pergi
untuk adorasi, aku melihat salah seorang siswi kami sangat menyakiti hati Allah
dengan dosa-dosa pikiran kotor. Aku melihat juga orang yang menyebabkan ia
berdosa. Jiwaku tertusuk oleh ketakutan, dan aku mohon kepada Allah, demi
sengsara Yesus, untuk merenggut dia dari kemalangan yang mengerikan itu. Yesus
menjawab kepadaku bahwa Ia akan memberikan karunia itu kepadanya, bukan karena
permintaannya, tetapi karena permintaanku. Kini aku tahu betapa banyak kami
harus berdoa untuk orang-orang berdosa, dan khususnya untuk siswi-siswi kami.
(350) Hidup kami sungguh apostolik;
aku tidak dapat membayangkan seorang biarawati hidup dalam salah satu rumah
kami, yakni dalam Kongregasi kami, dan tidak memiliki semangat apostolik.
Semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa harus sungguh berkobar-kobar dalam hati
kami.
(351) Ya Allahku, betapa
menyenangkan menderita demi Engkau, menderita dalam relung hati yang paling
tersembunyi, dalam ketersembunyian yang paling dalam, dibakar seperti kurban
yang tidak dipedulikan oleh siapa pun, murni laksana kristal, tanpa penghiburan
atasu belas kasihan. Hatiku bernyala-nyala karena cinta yang membara. Aku tidak
membuang-buang waktu dengan bermimpi. Aku memanfaatkan setiap kesempatan begitu
ia datang, karena ia ada dalam kekuasaanku. Masa lampau tidak menjadi milikku;
masa depan pun bukan milikku; maka, dengan segenap jiwaku, aku berusaha
menggunakan saat sekarang.
(352) 4 Januari 1935. Kapitel
pertama dipimpin Muder Borgia. Dalam kapitel ini, Muder menekankan kehidupan
iman dan kesetiaan dalam hal-hal yang kecil. Setelah kapitel berlangsung
setengah jalan, aku mendengar kata-kata ini, “Aku menghendaki agar pada saat
sekarang ini kalian semua memiliki iman yang lebih besar. Betapa besarnya
sukacita-Ku atas kesetiaan mempelai-Ku dalam hal-hal yang paling kecil.”
Saat itu aku memandang salib dan melihat bahwa kepala Yesus berpaling ke arah
ruang makan, dan bibir-Nya bergerak.
(353) Ketika aku memberitahukan hal
ini kepada Muder Superior, ia menjawab, “Engkau lihat, Suster, bagaimana Yesus
menuntut agar hidup kita menjadi suatu kehidupan iman.” Ketika Muder
meninggalkan ruang kapitel untuk pergi ke kapel, dan aku masih tinggal untuk
membereskan ruangan, aku mendengar kata-kata ini, “Katakan kepada semua suster
bahwa Aku menuntut agar mereka hidup dalam semangat iman terhadap para superior
pada saat ini.” Aku minta kepada bapak pengakuanku untuk membebaskanku
dari tugas ini.
(354) Ketika aku sedang berbicara
dengan seseorang yang harus melukis gambar itu
tetapi karena beberapa alasan, belum melukisnya, aku mendengar suara ini
dalam jiwaku, “Aku menghendaki dia supaya lebih taat!” Aku menyadari bahwa
usaha-usaha kami, tidak peduli seberapa besarnya, tidak akan berkenan di hati
Allah kalau semua itu tidak mengungkapkan semangat ketaatan; aku sedang
berbicara tentang jiwa seorang biarawati. Ya Allah, betapa mudahnya mengetahui
kehendak-Mu di dalam biara! Kami para biarawati mengetahui kehendak Allah yang
diungkapkan secara jelas di hadapan mata kami dari pagi sampai malam, dan di
saat-saat yang tidak serba pasti kami memiliki superior; melalui mereka, Allah
berbicara.
(355) 1934 - 1935. Malam menjelang
Tahun Baru. Aku diberi izin untuk tidak pergi tidur, tetapi berdoa di kapel.
Salah seorang dari para suster minta kepadaku untuk mempersembahkan satu jam
adorasi baginya. Aku berkata ya, dan berdoa untuk dia selama satu jam. Pada jam
itu, Allah memberitahukan kepadaku betapa jiwa ini sangat berkenan di hati-Nya.
Aku mempersembahkan jam kedua dari
adorasiku untuk bertobatnya orang-orang berdoa, dan aku berusaha secara
istimewa untuk mempersembahkan doa penyilihan kepada Allah untuk hujat yang
dilakukan orang terhadap-Nya pada masa sekarang ini. Betapa orang sangat
menyakiti hati Allah!
Aku mempersembahkan jam yang ketiga
untuk pembimbing rohaniku. Aku berdoa dengan khusyuk agar Allah memberikan
penerangan kepadanya dalam menangani suatu masalah khusus.
Akhirnya jam menunjukkan pukul dua
belas, jam terakhir tahun ini. Aku menyelesaikannya dalam nama Tritunggal yang
kudus, dan aku juga mulai jam pertama Tahun Baru dalam nama Tritunggal yang
kudus. Aku memohon agar masing-masing Pribadi Tritunggal memberkati aku dan
dengan kepercayaan yang mantap, aku menatap ke Tahun Baru yang tentu saja tidak
akan bebas dari penderitaan.
(356) O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung wasiat kerahiman Allah bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang
berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung Tubuh dan Darah Tuhan Yesus sebagai bukti dari kerahiman-Nya yang
tak terbatas bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung kehidupan kekal dan kerahiman yang tak terbatas, yang diberikan
secara melimpah kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang
malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung
kerahiman Bapa, Pura dan Roh Kudus kepada kami, dan teristimewa kepada
orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung nilai kerahiman yang tak terbatas yang akan melunaskan semua utang
kami, dan teristimewa utang orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung sumber air hidup yang memancar dari kerahiman yang tak terbatas
kepada kami, dan teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung api kasih yang paling murni yang memancar dari rahim Bapa Yang
Kekal, seperti dari lubuk kerahiman yang tak terduga dalamnya, kepada kami, dan
teristimewa kepada orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu terkandung
obat untuk segala kelemahan kami, yang mengalir dari kerahiman yang tak
terbatas, seperti dari suatu mata air yang jernih, kepada kami dan teristimewa
kepada orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung kesatuan antara Allah dan kami lewat kerahiman-Nya yang tak terbatas
bagi kami, dan teristimewa bagi orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, di dalam-Mu
terkandung semua perasaan Hati Yesus yang amat manis terhadap kami, dan
teristimewa terhadap orang-orang berdosa yang malang.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami dalam segala penderitaan dan kesengsaraan hidup.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah kegelapan dan badai di dalam dan di luar diri kami.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di sepanjang hayat dan di saat kami menghadapi ajal.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah kegagalan dan terpaan keputusasaan.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah kebohongan dan pengkhianatan.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah kegelapan dan kekafiran yang melanda bumi.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah kerinduan dan rasa sakit ketika tak seorang pun akan memahami
kami.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami dalam kerja keras dan monoton kehidupan sehari-hari yang rutin.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengah puing-puing pengharapan dan usaha-usaha kami.
O Hosti Kudus, satu-satunya harapan
kami di tengan serangan musuh dan gempuran neraka.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila beban melampaui kekuatanku dan aku merasa usaha-usahaku sia-sia.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila badai menggoncang hatiku dan rohku yang ketakutan cenderung
menjadi putus asa.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila hatiku gemetar dan
keringat ajal membasahi keningku.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila segala sesuatu bersekongkol melawan aku dan keputusasaan yang
gawat menyusup ke dalam jiwaku.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila mataku mulai padam terhadap semua barang fana dan untuk pertama
kalinya rohku mulai akan menatap dunia-dunia yang tidak dikenal.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila tugas-tugasku melampaui kekuatanku dan penderitaan menjadi jatah
harianku.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila pengamalan keutamaan tampak sulit bagiku dan kemanusiaanku
semakin memberontak.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila pukulan-pukulan para musuh ditujukan terhadapku.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila kerja keras dan usaha-usahaku akan disalahtafsirkan oleh sesama.
O Hosti Kudus, aku mengandalkan
Engkau apabila keputusan-keputusan penghakiman-Mu akan menimpa aku; pada saat
itulah aku berserah kepada samudra kerahiman-Mu.
(357) Tritunggal yang mahakudus,
aku mengandalkan kerahiman-Mu yang tak terbatas. Allah adalah Bapaku; oleh
karena itu aku, anak-Nya, memiliki hak untuk minta apa saja kepada Hati
ilahinya; dan semakin pekat kegelapanku, akan semakin penuhlah harapanku.
(358) Aku tidak memahami bagaimana
mungkin orang tidak mengandalkan Dia yang dapat mengerjakan segala sesuatu.
Bersama Dia, segala sesuatu mungkin; tanpa Dia, segala sesuatu mustahil. Ia
Tuhan, Ia tidak akan membiarkan orang yang menaruh seluruh harapan pada-Nya
dikecewakan.
(359) 10 Januari 1935. Kamis. Pada
petang hari, dalam Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus, pikiran-pikiran ini
mulai menggangguku: Tidak mungkinkah semua yang aku katakan mengenai kerahiman
agung Allah itu hanyalah suatu kebohongan atau suatu khayalan....? Ketika aku
ingin merenungkan hal ini barang sejenak, tiba-tiba aku mendengar suara batin
yang keras dan jelas berkata, “Segala sesuatu yang engkau katakan mengenai
kebaikan-Ku adalah benar; bahasa tidak memiliki ungkapan yang memadai untuk
memuji kebaikan-Ku.” Kata-kata ini begitu penuh dengan kekuatan dan
begitu jelas sehingga aku rela menyerahkan hidupku untuk menyatakan bahwa
kata-kata itu berasal dari Allah. Aku dapat menyatakan kata-kata itu dengan
ketenangan hati yang mendalam; ketenangan hati itu menyertai aku ketika ketika
aku menyampaikan kata-kata itu dan kemudian masih tetap menyertaiku. Damai ini
memberiku kekuatan dan kemampuan yang sedemikian besar sehingga segala
kesulitan, sengsara, penderitaan, dan kematian sendiri seolah-olah bukan
apa-apa. Terang ini memberikan kepadaku sekilas kebenaran bahwa semua usahaku
untuk membuat jiwa-jiwa mengenal kerahiman Tuhan sangat berkenan di Hati Allah.
Dan dari sini, muncul sukacita yang sedemikian besar dalam jiwaku sehingga aku
tidak tahu apakah di surga sana ada sukacita yang lebih besar. Oh, kalau saja
jiwa-jiwa mau mendengarkan, sekurang-kurangnya sedikit, suara hati nurani dan
bisikan - yakni, bisikan-bisikan - Roh Kudus! Aku katakan “sekurang-kuranya
sedikit,” sebab sekali kita membuka diri terhadap pengaruh Roh Kudus, Ia
sendiri akan menggenapi apa yang kurang dalam diri kita.
(360) Tahun Baru 1935.
Yesus suka campur tangan dalam
hal-hal yang paling kecil di dalam hidup kita, dan Ia sering menggenapi
keinginan-keinginanku yang tersembunyi yang kadang-kadang sengaja aku
sembunyikan dari Dia, meskipun aku tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat
disembunyikan dari Dia.
Pada hari Tahun Baru, ada suatu
kebiasaan di antara kami untuk menentukan dengan undian pelindung khusus bagi
kami masing-masing untuk sepanjang tahun. Pada pagi hari, sementara meditasi,
muncul di dalam diriku suatu keinginan tersembunyi agar Yesus yang hadir dalam
Ekaristi menjadi pelindung istimewaku sepanjang tahun ini, sama seperti tahun
yang lalu. Tetapi, sembari menyembunyikan keinginan ini dari Kekasihku, aku
berbicara dengan Dia mengenai segala sesuatu keculai mengenai keinginan yang
satu itu. Ketika kami sampai di ruang makan untuk sarapan, kami membuat tanda
salib dan mulai mengundi pelindung kami. Ketika aku mendekati gambar-gambar
suci di mana nama para pelindung tertulis, tanpa ragu aku mengambil satu,
tetapi aku langsung tidak membaca nama yang tertulis di sana karena aku ingin
bermati raga selama beberapa menit. Tiba-tiba, aku mendengar suatu suara di
dalam jiwaku, “Akulah Pelindungmu. Bacalah!” Aku langsung menatap tulisan pada
kartu itu dan membacanya, “Pelindung untuk Tahun 1935 - Ekaristi Yang
Mahakudus.” Hatiku melonjak kegirangan, dan dengan diam-diam aku menyingkir
dari tengah para suster dan pergi melakukan kunjungan singkat kepada Sakramen
Mahakudus; di sana aku menumpahkan isi hatiku. Tetapi, Yesus dengan lembut
menasihati aku supaya pada saat itu aku berada bersama para suster. Demi
ketaatan kepada peraturan, seketika itu juga aku pergi.
(361) Tritunggal Kudus, Allah Yang
Esa, keagungan kerahiman-Mu tak dapat dipahami oleh makhluk mana pun, tertuju
secara khusus kepada orang-orang berdosa yang malang! Tetapi, engkau telah
memperkenalkan lubuk kerahiman-Mu yang tak dapat dipahami dan [sungguh] tak
terselami oleh pikiran mana pun, entah pikiran manusia entah pikiran malaikat.
Kehampaan dan kepapaan kami tenggelam di dalam keagungan-Mu. O Kebaikan yang
tiada tara, siapa dapat memuji Engkau secara memadai? Dapatkah ditemukan suatu
jiwa yang memahami Engkau dalam kasih-Mu? Ya Yesus, jiwa seperti itu memang
ada, tetapi tidak banyak.
(362) Pada suatu hari, dalam
meditasi pagi, aku mendengar suara ini, “Aku sendirilah pembimbing rohanimu; dulu,
sekarang, dan kelak Aku tetap pembimbing rohanimu. Dan karena engkau meminta
pertolongan yang kelihatan, Aku memilih dan memberimu seorang pembimbing rohani
bahkan sebelum engkau memintanya karena karya-Ku menuntutnya. Ketahuilah bahwa
kesalahan-kesalahan yang engkau lakukan terhadapnya melukai Hati-Ku. Secara
khusus, waspadalah terhadap keinginan pribadimu; bahkan hal yang paling kecil
pun hendaknya diberi meterai ketaatan.”
Dengan hati yang remuk redam dan
rendah, aku memohon ampun kepada Yesus atas kesalahan-kesalahan itu. Aku juga
mohon ampun kepada pembimbing rohaniku dan memutuskan untuk tidak melakukan
apa-apa daripada melakukan banyak hal tetapi salah.
(363) Ya Yesus yang baik, aku
bersyukur kepada-Mu atas rahmat agung yang Kauberikan kepadaku, yakni
memberitahukan kepadaku siapa diriku sesungguhnya: kepapaan dan dosa, dan tidak
ada apa-apanya sedikit pun. Dari diriku sendiri, aku hanya dapat melakukan satu
hal, yakni melukai Hati-Mu, ya Allahku, sebab kepapaan tidak dapat melakukan
apa-apa dari dirinya sendiri selain melukai Hati-Mu, ya Kebaikan yang tak
terbatas.
(364) Pernah, aku diminta mendoakan
suatu jiwa tertentu. Seketika itu juga aku melakukan novena kepada Tuhan yang
maharahim, yang aku tambah dengan suatu mati raga; yakni bahwa aku akan
mengenakan rantai pada kedua kakiku selama misa kudus. Aku telah melakukan hal
ini selama tiga hari ketika aku pergi ke pengakuan dosa dan memberitahukan
kepada pembimbing rohaniku bahwa aku telah melaksanakan mati raga ini, dengan
mengandaikan bahwa aku akan mendapat izin untuk melakukannya. Aku pikir bapak
pengakuan tidak akan keberatan, tetapi aku mendengar yang sebaliknya; yakni
bahwa aku tidak boleh melakukan apa pun tanpa izin. Ya Yesusku, lagi-lagi itu
adalah keinginan pribadiku! Tetapi, kegagalanku tidak mengendurkan semangatku;
aku tahu dengan sangat baik bahwa aku
sendiri ini malang. Karena keadaan kesehatanku, aku tidak menerima izin ini,
dan pembimbing rohaniku heran bagaimana mungkin aku dapat melakukan mati raga-mati
raga yang lebih besar tanpa izin darinya. Aku minta maaf atas sikap menuruti
kemauan sendiri, atau lebih tepat karena telah mengandaikan bahwa akan mendapat
izin, dan aku minta kepadanya untuk mengubah mati raga ini dengan mati raga
yang lain.
Pembimbing rohaniku menggantinya
dengan suatu mati raga batin; yakni, selama misa kudus aku harus merenungkan
mengapa Tuhan Yesus telah menerima baptisan. Bagiku, meditasi bukanlah mati
raga karena berpikir tentang Allah adalah suatu kesukaan dan bukan suatu mati
raga; tetapi ini menjadi mati raga kehendak dalam arti bahwa aku tidak
melakukan [hanya] yang aku sukai, tetapi apa yang diperintahkan kepadaku, dan
di sinilah letak mati raga batin itu.
(365) Ketika aku meninggalkan kamar
pengakuan dan mulai mendaraskan penitensiku, aku mendengar kata-kata ini, “Aku
telah memberikan rahmat yang engkau minta atas nama jiwa itu, bukan karena mati
raga yang engkau pilih sendiri. Tetapi karena ketaatan penuhmu kepada
wakil-Kulah Aku memberikan rahmat ini kepada jiwa yang engkau doakan dan engkau
mohonkan kerahiman. Ketahuilah bahwa ketika engkau mematikan kehendakmu
sendiri, kehendak-Ku meraja di dalam dirimu.”
(366) Ya Yesusku, bersabarlah
terhadap aku. Di masa depan, aku akan lebih waspada. Aku akan mengandalkan
bukan diriku sendiri, tetapi rahmat-Mu dan kebaikan-Mu yang amat besar kepada
aku yang papa ini.
(367) Pada suatu kesempatan, Yesus
memberitahukan kepadaku bahwa ketika aku berdoa untuk ujud-ujud yang
dipercayakan orang kepadaku, Ia selalu siap memberikan rahmat-Nya, tetapi
jiwa-jiwa tidak selalu mau menerimanya. “Hati-Ku meluap-luap mengalirkan kerahiman
yang melimpah kepada jiwa-jiwa, teristimewa kepada jiwa orang-orang berdosa
yang malang. Kalau saja mereka memahami bahwa Aku adalah Bapa yang paling baik
bagi mereka, dan bahwa bagi merekalah Darah serta Air mengalir dari Hati-Ku
seperti dari mata air jernih yang meluapkan kerahiman! Bagi mereka, Aku tinggal
di dalam tabernakel sebagai Raja Kerahiman. Aku ingin melimpahkan rahmat-Ku
kepada jiwa-jiwa, tetapi mereka tidak mau menerimanya. Sekurang-kurangnya
engkau, datanglah kepada-Ku sesering mungkin, dan ambillah rahmat-rahmat yang
mereka tolak itu. Dengan cara ini, engkau akan menghibur Hati-Ku. Oh, betapa
acuh tak acuh jiwa-jiwa itu kepada kebaikan-Ku yang sedemikian besar, kepada
begitu banyak bukti cinta-Ku! Yang diminum Hati-Ku hanyalah sikap tidak tahu
terima kasih dan sikap tidak mau tahu dari jiwa-jiwa yang hidup di dunia.
Mereka memiliki waktu untuk datang kepada-Ku guna mengambil rahmat.”
“Maka aku berpaling kepadamu! Hai
kamu - jiwa-jiwa pilihan - apakah kamu juga akan gagal memahami kasih Hati-Ku?
Di sini pun Hati-Ku telah dikecewakan; aku tidak menemukan orang yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada kasih-Ku. Begitu banyak syarat, begitu
banyak ketidakpercayaan, begitu banyak kekhawatiran. Untuk menghiburmu, biarlah
Aku katakan kepadamu bahwa ada jiwa-jiwa yang hidup di dunia ini yang mengasihi
Aku dengan mesra. Aku bersemayam dalam hati mereka dengan penuh sukacita.
Tetapi, jumlah mereka tidak banyk. Di biara-biara pun, ada jiwa-jiwa yang
memenuhi Hati-Ku dengan sukacita. Mereka mengemban ciri-ciri-Ku; oleh karena
itu, Bapa surgawi memandang mereka dengan kepuasan yang istimewa. Mereka akan
dikagumi oleh malaikat dan manusia. Jumlah mereka sangat sedikit. Bagi dunia,
mereka adalah suatu pembelaan di hadapan keadilan Bapa surgawi dan sarana untuk
memperoleh kerahiman bagi dunia. Kasih dan pengurbanan jiwa-jiwa ini menopang
keberadaan dunia. Ketidaksetiaan suatu jiwa yang Kupilih secara khusus melukai
Hati-Ku dengan paling menyakitkan. Ketidaksetiaan seperti itu adalah pedang
yang menembus Hati-Ku.”
(368) 29 Januari 1935. Selasa pagi
ini, dalam meditasi, dengan mata batinku, aku melihat Bapa Suci sedang
merayakan misa. Sesudah Pater noster, ia berbicara dengan Yesus tentang masalah
yang telah Yesus perintahkan kepadaku untuk kuberitahukan kepadanya. Meskipun
secara pribadi aku belum berbicara dengan Bapa Suci, masalah ini sudah mendapat
perhatian dari seseorang yang lain; tetapi pada saat ini juga, berkat
pengetahuan batin, aku mengetahui bahwa Bapa Suci sedang mempertimbangkan
masalah yang akan segera terjadi sesuai dengan keinginan-keinginan Yesus ini.
(369) Sebelum retret delapan hari,
aku pergi kepada pembimbing rohaniku dan minta kepadanya untuk mengizinkan aku
melakukan beberapa mati raga selama retret. Tetapi, aku tidak mendapat izin
untuk semua yang aku minta; hanya untuk beberapa saja aku mendapat izin. Aku
mendapat izin untuk satu jam merenungkan sengsara Tuhan Yesus dan untuk
beberapa mati raga. Tetapi, aku merasa sedikit kurang puas karena tidak
menerima izin untuk semua mati raga yang aku minta. Ketika aku kembali ke
biara, aku masuk ke kapel sejenak, dan kemudian aku mendengar suara dalam
jiwaku, “Lebih besar pahalanya satu jam merenungkan sengsara-Ku yang memilukan
daripada satu tahun mendera diri sampai mengeluarkan darah; kontemplasi pada
luka-luka-Ku yang pedih membawa manfaat yang besar bagimu, dan mendatangkan
sukacita yang besar kepada-Ku. Aku heran bahwa engkau masih belum sepenuhnya
menyangkal kehendakmu sendiri, tetapi Aku amat sangat bersukacita bahwa
perubahan ini akan terjadi selama retret.”
(370) Pada hari itu juga ketika aku
berada di gereja menunggu pengakuan dosa, aku melihat sinar seperti yang
sudah-sudah memancar dari monstran dan menyebar ke seluruh gereja. Ini
berlangsung selama ibadat. Sesudah Kebaktian kepada Sakramen Mahakudus [sinar
memancar] ke kedua sisi gereja dan kembali lagi ke monstrans. Sinar itu tampak
cemerlang dan transparan seperti kristal. Aku minta kepada Yesus agar Ia
berkenan menyalakan api cinta-Nya dalam semua jiwa yang telah menjadi beku. Di
bawah sinar-sinar itu, hati akan menjadi hangat, juga kalau sebelumnya ia beku
seperti suatu balok es; demikian juga, kalau sebelumnya ia keras seperti batu,
ia akan remuk menjadi debu.
Vilnius, 4 Februari 1935.
Retret Delapan Hari.
Yesus, Raja Kerahiman, sekali lagi
tiba saatnya aku akan sendirian bersama-Mu. Oleh karena itu, aku mohon
kepada-Mu, demi segala cinta yang membakar Hati-Mu, untuk menghancurkan sama
sekali cinta diri yang masih ada dalam diriku dan di lain pihak untuk
menyalakan dalam hatiku apa cinta-Mu yang paling murni.
(372) Pada petang hari, sesudah
konferensi, aku mendengar kata-kata ini, “Aku menyertaimu. Selama retret ini, Aku
akan menguatkan engkau dalam damai dan dalam keberanian sehingga kekuatanmu
tidak akan gagal melaksanakan rencan-rencana-Ku. Oleh karena itu, dalam retret
ini, engkau akan membatalkan sama sekali seluruh kehendak-Mu dan, sebaliknya,
seluruh kehendak-Ku akan terlaksana dalam dirimu. Ketahuilah bahwa dalam hal
ini engkau harus menanggung banyak pengurbanan; maka tuliskanlah kata-kata ini
pada selembar kertas kosong, ‘Mulai hari ini, aku melaksanakan kehendak Allah
di mana saja, kapan saja, dan dalam apa saja.’ Janganlah takut akan suatu pun;
kasih akan memberimu kekuatan dan membuat pelaksanaan kehendak-Ku itu menjadi
mudah.”
(373) Renungan utama dalam retret
ini mengenai tujuan hidup; yakni tentang memilih cinta: jiwa harus mencintai;
ia mempunyai kebutuhan untuk mencintai. Jiwa harus mengalihkan arus cintanya,
bukan kepada lumpur atau kepada kesia-siaan, tetapi kepada Allah. Betapa aku
bersukcita ketika aku merenungkan hal ini karena aku merasakan dengan jelas
bahwa Ia sendiri berada di dalam hatiku. Hanya Yesus sendiri yang ada di sana!
Aku mencintai makhluk sejauh mereka membantuku untuk bersatu dengan Allah. Aku
mengasihi semua orang sebab aku melihat gambar Allah di dalam mereka.
(374) Vilnius, 4 Februari 1935.
Mulai hari ini, kehendakku sendiri
sudah tidak ada.
Pada saat aku berlutut untuk
menyalibkan kehendakku sendiri, seperti
telah diminta Tuhan untuk kulakukan, aku mendengar suara ini di dalam
jiwaku, “Mulai hari ini, jangan takut akan penghakiman Allah sebab engkau tidak
akan dihakimi.”
Vilnius, 4 Februari 1935.
Mulai hari ini, aku akan melakukan
Kehendak Allah di mana saja, kapan saja dan dalam apa saja.
Vilnius, 4 Februari 1935
(375) Latihan batin khusus; yakni,
pemeriksaan batin. Penyangkalan diri, penyangkalan kehendakku sendiri.
(a) Penyangkalan akal budiku,
artinya menaklukkannya kepada pemikiran orang-orang yang menjadi wakil Allah bagiku
di bumi ini.
(b) Penyangkalan kehendak, artinya
melakukan kehendak Allah, yang dinyatakan dalam kehendak orang-orang yang
menjadi wakil Allah bagiku dan yang terkandung dalam peraturan Kongregasi kami.
(c) Penyangkalan keputusan sendiri,
artinya menerima tanpa menimbang-nimbang, menganalisis atau mempertanyakan
semua perintah yang diberikan oleh orang-orang yang menjadi wakil Allah bagiku.
(d) Penyangkalan lidah. Aku tidak
akan memberinya kebebasan yang paling kecil sekalipun; hanya dalam satu hal aku
akan memberinya kebebasan penuh, yakni dalam memaklumkan kemuliaan Allah. Kapan
saja aku menerima komuni kudus, aku akan minta kepada Yesus untuk memperkuat
dan membersihkan lidahku supaya aku tidak dapat melukai hati sesamaku dengan
lidahku. Itulah sebabnya aku memiliki hormat yang sangat besar kepada peraturan
yang berbicara tentang silentium.
(376) Yesusku, aku berharap bahwa
rahmat-Mu akan membantu aku melaksanakan semua keputusan ini. Meskipun
butir-butir di atas sudah tercakup dalam kaul ketaatan, aku ingin melaksanakan
hal-hal ini secara istimewa sebab inilah hakikat kehidupan membiara. Yesus yang
maharahim, aku mohon kepada-Mu dengan sungguh-sungguh untuk menerangi pikiranku
sehingga aku dapat mengenal Engkau dengan lebih baik: Engkau adalah Yang Tak Terbatas, dan supaya
aku dapat mengenal diriku sendiri dengan lebih baik: aku adalah kehampaan
belaka.
(377) Mengenai pengakuan dosa. Kita
harus memetik dua macam manfaat dari pengakuan dosa.
1. Kita pergi ke pengakuan dosa untuk disembuhkan;
2. Kita pergi ke pengakuan dosa untuk dididik - seperti seorang anak
kecil, jiwa kita memiliki kebutuhan lestari akan pendidikan.
Ya Yesus, aku memahami kata-kata
ini sedalam-dalamnya, dan aku mengetahuinya berdasarkan pengalamanku sendiri
bahwa, atas dasar kekuatannya sendiri, jiwa tidak akan maju; ia akan bersusah
payah dan tidak melakukan apa-apa untuk kemuliaan Allah; ia akan terus menerus
sesat sebab pikirannya digelapkan dan tidak tahu bagaimana mencermati
masalah-masalahnya sendiri. Aku akan memberikan perhatian istimewa kepada dua
hal: pertama, dalam melakukan
pengakuan dosaku, aku akan mengutamakan dosa yang paling merendahkan diriku, juga kalau dosa itu akan tampak remeh,
tetapi itu sangat berat bagiku, dan karena alasan itu aku akan mengatannya; kedua, aku akan mengamalkan penyesalan,
bukan hanya selama pengakuan dosa, tetapi selama pemeriksaan batin, dan aku
akan membangkitkan dalam diriku suatu sesal sempurna, khususnya ketika aku
pergi tidur. Satu kata lagi: jiwa yang sungguh mau maju dalam kesempurnaan
harus mematuhi secara ketat nasihat yang diberikan oleh pembimbing rohani.
Semakin besar kepercayaan kita kepadanya, semakin kuduslah kita.
(378) Pernah ketika aku sedang
berbicara dengan pembimbing rohaniku, aku mendapat suatu penglihatan batin -
yang lebih cepat daripada kilat - aku melihat jiwanya berada dalam penderitaan
yang berat, seolah-olah dalam sakratulmaut. Tidak banyak jiwa disambar Allah
dengan api itu. Penderitaan itu muncul dari karya ini. Akan tiba saatnya karya
yang sangat dituntut oleh Allah ini akan terasa sungguh-sungguh hancur total.
Dan kemudian Allah akan bertindak dengan kekuatan yang besar, yang akan
membuktikan karya ini sungguh-sungguh karya-Nya. Karya ini akan menjadi suatu
semarak baru bagi Gereja, meskipun sudah lama sekali karya ini dimilikinya.
Bahwa Allah itu maharahim, tak seorang pun dapat menyangkalnya. Tetapi, Ia menginginkan
agar setiap orang mengetahui hal ini sebelum Ia datang kembali sebagai Hakim.
Ia ingin jiwa-jiwa mengenal Dia pertama-tama sebagai Raja Kerahiman. Apabila kemenangan ini tiba, kita sudah akan
memasuki kehidupan baru, tempat tidak akan ada lagi penderitaan. Tetapi, sebelum
ini terjadi, jiwamu [jiwa pembimbing rohaniku] akan kenyang dengan kepahitan,
yaitu waktu menyaksikan kehancuran usaha-usahamu. Tetapi, kehancuran ini
hanyalah semu sebab apa yang sudah diputuskan Allah tidak akan Ia ubah. Memang,
kehancuran ini akan semu tetapi penderitaan itu akan sungguh nyata. Kapan semua
ini akan terjadi? Aku tidak tahu. Tetapi Allah telah menjanjikan rahmat yang
besar, khususnya kepadamu dan kepada semua orang “... yang akan memaklumkan
kerahiman-Ku yang besar. Pada saat mereka menghadapi ajal, Aku sendiri akan
melindungi mereka sebagai kemuliaan-Ku sendiri. Dan kalaupun dosa-dosa suatu
jiwa tampak hitam seperti malam kelam, apabila pendosa itu berpaling kepada
kerahiman-Ku, ia akan mempersembahkan pujian yang paling besar kepada-Ku, dan
ia merupakan mahkota kemuliaan untuk sengsara-Ku. Apabila suatu jiwa memuji
kebaikan-Ku, setan akan gemetar di hadapannya dan melarikan diri ke dasar
neraka yang paling dalam.”
(379) Dalam salah satu adorasi,
Yesus berjanji kepadaku bahwa, “Jiwa-jiwa yang meminta pertolongan kepada
kerahiman-Ku, dan yang memuliakan serta memaklumkan kerahiman-Ku yang besar,
pada saat kematiannya mereka akan Kuperlakukan sesuai dengan kerahiman-Ku yang
tak terbatas.”
“Hati-Ku sangat sedih,” kata
Yesus, “karena bahkan jiwa-jiwa yang terpilih tidak memahami begitu besarnya
kerahiman-Ku. Hubungan mereka [dengan-Ku], dalam kadar tertentu, penuh dengan
keragu-raguan. Oh, betapa sikap mereka itu menyayat Hati-Ku! Ingatlah akan
sengsara-Ku, dan kalau engkau tidak percaya akan kata-kata-Ku,
sekurang-kurangnya percayalah akan luka-luka-Ku.”
(380) Aku tidak beranjak, aku tidak
bergerak mengikuti kemauanku sendiri sebab aku dibelenggu oleh rahmat; aku
selalu memikirkan apa yang lebih berkenan di Hati Yesus.
(381) Sekali waktu ketika
merenungkan ketaatan, aku mendengar kata-kata ini, “Dalam renungan ini, secara
khusus imam ini sedang berbicara untukmu. Ketahuilah bahwa bibirnya sedang Aku
pinjam.” Aku berusaha mendengarkan semua renungannya dengan penuh
perhatian dan menerapkan segala sesuatu kepada hatiku sendiri, seperti dalam
setiap meditasi. Ketika imam berkata bahwa jiwa yang taat akan dipenuhi dengan
kekuasaan Allah “... Sungguh, apabila engkau taat, Aku mengambil kelemahanmu dan
menggantinya dengan kekuatan-Ku. Aku sangat heran bahwa jiwa-jiwa tidak mau
melakukan pertukaran itu dengan-Ku.” Aku berkata kepada Tuhan, “Yesus, terangilah hatiku sebab kalau tidak,
aku pun tidak akan sungguh memahami kata-kata ini.”
(382) Aku tahu bahwa aku hidup
bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk sejumlah besar jiwa-jiwa. Aku tahu
bahwa rahmat Yesus diberikan kepadaku bukan hanya untuk diriku, melainkan juga
untuk jiwa-jiwa. Ya Yesus, samudra kerahiman-Mu sudah ditumpahkan ke dalam
jiwaku yang adalah lubuk kepapaan belaka. Syukur kepada-Mu, ya Yesus, atas
rahmat dan butir-butir salib yang Kauberikan kepadaku setiap saat dalam
hidupku.
(383) Pada awal retret, aku melihat
pada langit-langit kapel Yesus yang terpaku pada salib. Ia memandang para
suster dengan kasih yang membara, tetapi tidak semua suster Ia tatap. Ada tiga
suster yang ditatap Yesus dengan mata tajam; apa alasannya aku tidak tahu. Aku
hanya tahu betapa mengerikan menyaksikan tatapan mata seorang Hakim yang keras.
Tatapan itu tidak diarahkan kepadaku, tetapi aku serasa lumpuh oleh katakutan.
Aku masih gemetar ketika menuliskan kata-kata ini. Aku tidak berani mengucapkan
satu patah kata pun kepada Yesus. Kekuatan fisikku tidak memungkinkan aku
berbuat demikian, dan aku pikir aku tidak akan bertahan hidup sampai akhir
konferensi. Keesokan harinya, aku melihat hal sama lagi, sama seperti yang
kulihat pada pertama kali, dan saat ini aku berani mengucapkan kata-kata ini, “Yesus, betapa besarnya kerahiman-Mu!”
Pada hari ketiga, terulang kembali
tatapan mata yang penuh kebaikan atas semua suster, kecuali atas ketiga suster
itu. Aku menghimpun seluruh keberanianku, yang memancar karena cintaku akan
sesama, dan aku berkata kepada Tuhan, “Engkau
adalah Sang Kerahiman, seperti Kaukatakan sendiri kepadaku. Maka aku mohon
kepada-Mu, demi kekuatan kerahiman-Mu, pandanglah dengan penuh belas kasih juga
ketiga suster itu. Dan kalau ini tidak selaras dengan kebijaksanaan-Mu, aku
emohon kepada-Mu suatu pertukaran: arahkan kepada mereka tatapan penuh kasih
yang Kauarahkan kepada jiwaku, dan arahkan kepadaku tatapan mata-Mu yang tajam
kepada mereka itu.” Kemudian Yesus menyampaikan kata-kata ini kepadaku, “Putri-Ku,
karena kasihmu yang tulus dan murah hati, Aku memberi mereka banyak rahmat
meskipun mereka sendiri tidak memintanya dari Aku. Tetapi, Aku berbuat begitu
karena janji yang sudah Kusampaikan kepadamu.” Dan pada saat itu, Ia
memalingkan tatapan mata yang rahim kepada ketiga suster itu juga. Hatiku
melonjak kegirangan menyaksikan kebaikan Allah.
(384) Ketika aku tinggal untuk
adorasi dari pukul sembilan sampai pukul sepuluh, empat suster lain juga
tinggal. Ketika aku menghampiri altar dan mulai merenungkan sengsara Tuhan
Yesus, seketika itu juga jiwaku dipenuhi dengan suatu penderitaan yang mengerikan
karena sikap tidak tahu terima kasih dari begitu banyak jiwa yang hidup di
dunia; tetapi yang lebih menyakitkan adalah sikap tak tahu terima kasih dari
jiwa-jiwa yang secara khusus dipilih oleh Allah. Tidak ada gambaran atau
perbandingan [yang dapat melukiskannya]. Ketika menyaksikan sikap tak tahu
terima kasih yang paling kelam ini, aku merasa seolah-olah hatiku
tercabik-cabik; kekuatanku tak mampu menopang diriku lagi, dan aku jatuh
tertelungkup, tanpa berusaha menyembunyikan tangisanku yang keras. Setiap kali
aku memikirkan kerahiman Allah yang besar dan sikap tak tahu terima kasih dari
jiwa-jiwa, rasa sakit menusuk hatiku, dan aku tahu betapa sakitnya ia melukai
Hati Yesus yang teramta manis. Dengan hati yang bernyala-nyala, aku membarui
penyerahan diriku atas nama orang-orang berdosa.
(385) Dengan sukacita dan sekaligus
kepedihan, aku menempelkan bibirku pada piala kepahitan yang setiap hari aku
terima di dalam misa kudus. Itulah bagian yang setiap kali telah disisihkan
Yesus bagiku, dan aku tidak akan mengalihkannya kepada seorang pun. Aku akan
terus menerus menghibur Hati Ekaristis yang teramat manis dan akan memainkan
lagu yang indah pada senar-senar hatiku. Penderitaan adalah lagu paling merdu
di antara semua lagu. Hari ini, dengan gigih aku akan mencari apa yang dapat
membuat Hati-Mu bersukacita!
Hari-hari hidupku penuh dengan
variasi. Apabila awan kelam menutup matahari, laksana rajawali aku akan
berusaha menyibak gugusan awan itu dan menunjukkan kepada semua orang bahwa
matahari tidak padam.
(386) Aku merasa Allah akan
mengizinkan aku menyingkirkan selubung sehingga bumi tidak akan meragukan
kebaikan Allah. Allah tidak tunduk kepada gerhana atau perubahan musim. Ia
selalu satu dan sama; tidak ada suatu pun yang dapat menentang kehendak-Nya.
Aku merasakan dalam diriku suatu kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan
manusia. Berkat rahmat yang ada dalam diriku, aku merasakan keberanian dan
kekuatan yang tinggal dalam diriku. Aku memahami jiwa-jiwa yang menderita
karena kehilangan harapan, karena aku sendiri telah mengalami api itu. Tetapi
Allah tidak akan memberikan [sesuatu kepada kita] melampaui kekuatan kita.
Sudah sering aku hidup dengan harapan yang bertentangan dengan harapan, dan
telah mengembangkan harapanku menjadi kepercayaan penuh kepada Allah. Biarlah
apa yang telah Ia tetapkan sejak awal mula terjadi padaku.
Suatu Asas Umum
(387) Adalah sesuatu yang amat
buruk bagi seorang biarawati untuk mencari kelegaan dalam penderitaan.
(388) Rahmat dan renungan dapat
mengubah penjahat yang paling besar! Dia yang rela mati memiliki cinta yang
besar: “Ingatlah akan daku apabila Engkau
sudah berada di Firdaus.” Penyesalan sepenuh hati tiba-tiba mengubah suatu
jiwa. Kehidupan rohani harus dihayati dengan serius dan tulus.
(389) Kasih harus timbal balik.
Kalau Yesus mengecap kepenuhan kepahitan demi aku, maka aku, mempelai-Nya,
harus mau menerima semua kepahitan sebagai bukti kasihku pada-Nya.
(390) Dia yang tahu memberi ampun
menyediakan bagi dirinya sendiri banyak rahmat dari Allah. Seberapa sering aku
memandang salib, sesering itulah aku akan memberi ampun dengan segenap hatiku.
(391) Melalui Baptis kudus, kita
masuk dalam kesatuan dengan jiwa-jiwa lain. Kematian mempererat ikatan cinta.
Aku harus selalu siap menolong orang-orang lain. Kalau aku ini seorang
biarawati yang baik, aku akan bermanfaat, bukan hanya kepada Kongregasi, tetapi
juga bagi seluruh Tanah Air.
(392) Tuhan Allah memberikan
rahmat-rahmat-Nya dalam dua cara: lewat ilham dan lewat penerangan. Kalau kita
minta suatu rahmat kepada Allah, Ia akan memberikannya kepada kita; tetapi
hendaklah kita ikhlas menerimanya. Dan untuk menerimanya, diperlukan
penyangkalan diri. Cinta tidak terungkap dalam kata-kata atau perasaan, tetapi
dalam perbuatan. Cinta adalah tindakan dari kehendak; cinta adalah suatu
pemberian; maksudnya, rela memberikan diri. Budi, kehendak, hati - ketiga
kemampuan ini harus dilatih pada waktu berdoa. Dalam Yesus, aku akan bangkit
dari antara orang mati, tetapi pertama-tama aku harus hidup di dalam Dia. Kalau
aku tidak memisahkan diri dari salib, maka Injil akan dinyatakan dalam diriku.
Yesus yang ada dalam diriku melengkapi semua kekuranganku. Rahmat-Nya bekerja
tanpa henti. Tritunggal kudus menganugerahkan hidup-Nya secara melimpah
kepadaku, lewat anugerah Roh Kudus. Ketiga Pribadi ilahi hidup di dalam diriku.
Apabila Allah mengasihi, maka Ia mengasihi dengan seluruh keberadaan-Nya,
dengan seluruh kekuatan keberadaan-Nya. Kalau Allah telah mengasihi aku dengan
cara ini, betapa aku harus menanggapinya - aku, mempelai-Nya?!
(393) Dalam suatu konferensi, Yesus
berkata kepadaku, “Engkau adalah anggur manis dalam suatu tandan pilihan; Aku ingin agar
orang-orang lain ikut menikmati air anggur yang mengalir di dalam dirimu.”
(394) Dalam pembaruan kaul, aku
melihat Tuhan Yesus pada sisi Epistola
[dari altar], mengenakan jubah putih dengan ikat pinggang emas dan memegang
pedang yang mengerikan di tangan-Nya. Ini berlangsung sampai saat suster mulai
membarui kaul mereka. Kemudian aku melihat cahaya berkilau-kilauan yang tak ada
bandingnya dan, di depan cahaya gemilang ini, suatu awan putih dalam bentuk
timbangan, dan langsung menjungkit ke bawah sampai hampir menyentuh tanah.
Sesaat kemudian para suster selesai membarui kaul mereka. Kemudian aku melihat
para malaikat mengambil sesuatu dari setiap suster dan menempatkannya dalam
wadah emas yang berbentuk seperti pedupaan. Ketika mereka selesai
mengumpulkannya dari semua suster dan menempatkan wadah itu pada sisi lain dari
timbangan, seketika itu juga menjadi lebih berat dan mengangkat sisi lain di
mana pedang diletakkan. Pada saat itu, suatu nyala keluar dari pedupaan dan
meluncur ke arah cahaya. Kemudian aku mendengar suatu suara datang dari cahaya
yang terang benderang itu, “Masukkan kembali pedang itu ke dalam
sarungnya; pengurbanan lebih berat daripada pedang itu.” Saat itu juga
Yesus memberkati kami, dan semua yang aku lihat itu lenyap. Para suster sudah
mulai menerima komuni kudus. Ketika aku menyambut komuni kudus, jiwaku dipenuhi
dengan sukacita yang sedemikian besar sehingga aku tidak mampu melukiskannya.
(395) 15 Februari 1935. Kunjungan
beberapa hari ke rumah orang tuaku untuk mendampingi ibuku yang menghadapi
ajal.
Ibuku sakit keras dan hampir
meninggal. Ketika aku tahu bahwa ia minta agar aku pulang karena ia ingin
melihat aku sekali lagi sebelum meninggal, suatu gejolak emosi muncul dalam
hatiku. Sebagai seorang anak yang sungguh mengasihi ibunya, aku sangat ingin
memenuhi harapannya. Tetapi, aku menyerahkan ini kepada Allah dan menyerahkan
diriku sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Tanpa memperhatikan rasa sakit dalam
hatiku, aku mengikuti kehendak Allah. Pada pagi hari pesta namaku, lima belas
Februari, Muder Superior memberiku surat kedua dari keluargaku dan memberi izin
untuk pergi ke rumah orang tua, untuk memenuhi harapan dan permintaan ibuku
yang menghadapi ajal. Aku langsung mengadakan persiapan yang perlu untuk
perjalanan itu dan meninggalkan Vilnius pada malam hari. Aku mempersembahkan
seluruh malam itu untuk ibuku yang sakit parah, agar Allah berkenan memberi dia
rahmat, tidak kehilangan suatu pun dari pahala penderitaannya.
(396) Teman-teman seperjalananku
sangat baik; beberapa perempuan dari Solidaritas Maria berada dalam gerbong
yang sama dengan aku. Aku merasa salah seorang dari mereka sedang menderita
amat sangat dan bergulat dalam pertempuran yang sulit dalam jiwanya. Dalam roh
aku mulai berdoa untuk jiwa itu. Pada pukul sebelas, perempuan-perempuan itu
pindah ke gerbong lain untuk bercanda, meninggalkan kami berdua di gerbong
belakang kereta itu. Aku merasa bahwa doaku membuat pergulatan jiwa itu justru
semakin sengit. Aku tidak menghibur dia, tetapi berdoa dengan lebih khusyuk.
Akhirnya, perempuan itu berpaling kepadaku dan bertanya apakah ia wajib
memenuhi suatu janji yang telah ia ikrarkan kepada Alah. Pada saat itu, aku
menerima bisikan batin mengenai janji itu dan menjawab, “Engkau mutlak wajib memenuhinya; kalau tidak, engkau akan merana
sepanjang sisa hidupmu. Pikiran ini akan terus menghantuimu dan membuat engkau
terus merasa gelisah.” Kagum akan jawabanku, ia membuka seluruh jiwanya
kepadaku.
Ia adalah seorang guru sekolah.
Ketika ia akan menempuh ujian-ujiannya, ia telah berjanji kepada Allah bahwa
kalau ia lulus dalam ujian itu, ia akan membaktikan diri untuk melayani Tuhan;
yakni, masuk suatu Kongregasi hidup membiara. Ia lulus ujian dengan sangat
baik. “Tetapi,” katanya, “ketika aku masuk ke dalam hiruk pikuk dunia
kerja, aku tidak lagi ingin masuk biara. Tetapi, suara hatiku terus menerus
menggelisahkan aku, dan meskipun menikmati banyak hiburan, aku selalu tidak
bahagia.”
Sesudah percakapan panjang lebar,
ia sama sekali berubah dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan langsung mengambil
langkah untuk masuk biara. Ia minta kepadaku untuk mendoakannya, dan aku marasa
bahwa Allah sungguh murah hati dengan rahmat-Nya.
(397) Pagi itu aku tiba di Warsawa,
dan pada pukul delapan petang aku sudah di rumah orang tuaku. Betapa besar
sukacita orang tuaku dan seluurh keluarga! Sangat sulit untuk melukiskannya.
Kesehatan ibuku membaik sedikit, tetapi dokter tidak memberikan harapan untuk
kesembuhan penuh. Sesudah saling memberi salam, kamu langsung bersujud untuk
bersyukur kepada Allah atas rahmat dapat berkumpul sekali lagi dalam kehidupan
ini.
(398) Ketika aku melihat begaimana
ayahku berdoa, aku sangat malu bahwa, sesudah begitu lama berada di biara, aku
tidak mampu berdoa dengan ketulusan dan kekhusyukan seperti itu. Maka, tak
pernah berhenti aku bersyukur kepada Allah atas orang tua seperti ini.
(399) Oh, betapa segala sesuatu
telah berubah selama sepuluh tahun ini sehingga tak dapat dikenal lagi! Kebun
telah menjadi sedemikian sempit dan sekarang aku tidak dapat mengenalinya.
Saudara dan saudariku dulu masih anak-anak dan kini mereka semua sudah dewasa.
Aku kagum mendapati mereka tidak seperti ketika kami berpisah. Setiap hari
Stasio menemani aku pergi ke gereja. Aku merasa bahwa ia sangat menyenangkan
hati Allah.
(400) Pada hari terakhir ketika
semua orang sudah meninggalkan gereja, aku pergi ke hadapan Sakramen Mahakudus
bersama dia, dan bersama-sama kami mendaras Te
Deum. Sesudah saat hening sejenak, aku mempersembahkan jiwanya kepada Hati
Yesus yang teramat manis. Betapa menyenangkan berdoa dalam gereja yang kecil
itu! Aku ingat semua rahmat yang telah aku terima di sana, dan yang tidak aku
pahami pada waktu itu dan telah begitu sering aku salah gunakan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat menjadi sedemikian buta. Dan ketika aku
menyesali kebutaanku itu, tiba-tiba aku melihat Tuhan Yesus, bercaha dengan
keindahan yang tak terperikan, dan Ia berkata kepadaku dengan lembut, “Putri
pilihan-Ku, Aku akan memberikan kepadamu rahmat yang bahkan lebih besar agar
sepanjang kekekalan engkau menjadi saksi kerahiman-Ku yang tak terbatas.”
No comments:
Post a Comment