(101) Yesus, hanya Engkau yang mengetahui betapa jiwa, yang
diliputi kegelapan ini, merana di tengah siksaan-siksaan dan, kendati semua
itu, ia haus akan Allah seperti bibir yang terbakar merindukan air. Ia mati dan
pucat; ia mengalami mati tetapi tidak mati; artinya, ia tidak dapat mati. Semua
usahanya sia-sia; ia ditekan oleh suatu tangan yang amat kuat. Kini, jiwa itu
sampai di bawah kuasa Dia Yang Adil. Semua cobaan lahiriah lenyap; semua yang
mengelilinginya menjadi bisu, seperti orang yang menghadapi ajal, yang
kehilangan kontak dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya: segenap jiwa
orang itu ada dalam tangan Allah yang Adil, Allah Tritunggal yang kudus.
Ditolak untuk selama-lamanya! Inilah saat puncak, dan Allah sendiri dapat
menguji suatu jiwa dengan cara itu sebab hanya Dia yang tahu apa yang dapat
ditanggung oleh jiwa itu.
Apabila jiwa sudah sepenuhnya dikenyangkan oleh api neraka
ini, sungguh, ia akan segera dicampakkan ke dalam sejenis keputusasaan. Jiwaku
mengalami saat ini ketika aku sendirian di dalam kamarku. Ketika jiwaku mulai
tenggelam dalam keputusasaan ini, aku merasa bahwa akhir hidupku sudah dekat.
Tetapi aku meraih salib kecilku dan menggenggamnya erat-erat di dalam tanganku.
Dan kini aku merasa tubuhku memisahkan diri dari jiwaku; dan meskipun aku ingin
pergi kepada para superiorku, aku tidak lagi memiliki kekuatan fisik. Aku
mengucapkan kata-kata terakhirku, “Aku mengandalkan kerahiman-Mu” dan aku
merasa bahwa aku bahkan semakin membangkitkan murka Allah. Dan kini aku
tenggelam dalam keputusasaan, dan semua yang masih tertinggal padaku hanyalah
suatu rintihan karena rasa sakit yang luar biasa yang, dari waktu ke waktu
melepaskan diri dari jiwaku. Jiwaku berada dalam sakratulmaut - dan rasanya aku
akan tetap dalam keadaan ini sebab dengan kekuatanku sendiri aku tidak mampu
bangkit dari sana. Setiap permenungan tentang Allah membuka suatu samudra
penderitaan yang tak terperikan, dan meskipun demikian, ada sesuatu dalam
jiwaku yang tertarik kepada-Nya, tetapi ia merasa bahwa hanya untuk inilah ia
semakin menderita. Kenangan akan cinta yang dulu ditumpahkan Allah kepadanya
menjadi suatu siksaan yang lain lagi. Tatapan Allah menembusnya, dan segala
sesuatu yang ada di dalam jiwa itu terbakar oleh tatapan itu.
(102) Sesudah beberapa waktu, salah seorang suster masuk ke
kamarku dan mendapati aku hampir mati. Ia ketakutan dan pergi mencari Suster
Pembimbing novis yang, atas nama ketaatan suci memerintahkan aku untuk bangkit
dari lantai. Tiba-tiba kekuatanku pulih, dan aku bangkit, gemetar. Pembimbing
novis serta merta menyadari keadaan jiwaku dan berkata kepadaku tentang
kerahiman Allah yang tak terduga, sambil berkata, “Jangan mencemaskan apa pun, Suster. Aku memerintahkan ini kepadamu
demi ketaatan.” Kemudian ia berkata kepadaku, “Sekarang aku tahu Suster, bahwa Allah sedang memanggil Suster kepada
suatu tingkat kesucian yang tinggi; Tuhan ingin menarik Suster sangat dekat
kepada-Nya karena Ia telah membiarkan hal-hal ini terjadi atas Suster dengan
sedemikian cepat. Tetaplah setia kepada Allah, Suster, sebab inilah suatu tanda
bahwa Ia menghendaki Suster mendapatkan suatu tempat tinggi di surga.”
Tetapi, aku tidak memahami apa pun dari kata-kata itu.
(103) Ketika aku masuk ke kapel, aku merasa seolah-olah
jiwaku telah dibebaskan dari segala sesuatu, seolah-olah aku baru saja keluar
dari tangan Allah. Aku merasakan jiwaku tak dapat diganggu-gugat; aku merasa
bahwa aku adalah seorang anak yang kecil. Tiba-tiba, dengan mata batinku aku melihat
Tuhan, dan Ia berkata kepadaku, “Jangan takut, Putri-Ku; Aku menyertaimu.”
Seketika itu juga, semua kegelapan dan siksaan itu lenyap, perasaanku dipenuhi
dengan sukacita yang tak terperikan, [dan] jiwaku penuh dengan terang.
(104) Aku ingin menambah bahwa, meskipun jiwaku sudah berada
dalam sinar kasih-Nya, bekas-bekas siksaan sebelumnya tetap ada pada tubuhku
selama dua hari: wajahku pucat seperti mayat dan mataku merah. Hanya Yesus yang
mengetahui apa yang aku derita. Apa yang aku tulis sangatlah kecil dibandingkan
dengan kenyataan yang aku alami. Aku tidak dapat melukiskannya dengan
kata-kata; aku merasakan bahwa aku telah kembali dari dunia lain. Aku merasa
sama sekali tidak tertarik dengan semua yang telah diciptakan; aku merapat ke
hati Allah seperti seorang bayi merapat ke dada ibunya. Kini aku melihat segala
sesuatu serba lain. Aku sadar akan apa yang telah dilakukan Tuhan dalam jiwaku,
hanya dengan sepatah kata, dan aku hidup karenanya. Aku merasa ngeri kalau
ingat akan siksaan yang sudah lewat itu. Rasanya aku tidak percaya bahwa orang
dapat menderita sedemikian berat, seandainya aku tidak mengalaminya sendiri.
Inilah penderitaan yang sepenuhnya bersifat rohani.
(105) Tetapi dalam semua penderitaan dan pergulatan itu, aku
tidak mengabaikan komuni kudus. Ketika aku merasa bahwa aku tidak pantas
menyambut komuni sebelum komuni kudus, aku pergi kepada Suster Pembimbing dan
mengatakan kepadanya bahwa aku tidak dapat menghampiri Sakramen Mahakudus sebab
aku merasa bahwa aku tidak pantas melakukannya. Tetapi, ia tidak mengizinkan
aku tidak menyambut komuni kudus; maka aku pergi dan aku mengerti sekarang
bahwa hanya ketaatanlah yang menyelamatkan aku.
Suster Pembimbing sendiri belakangan menuturkan kepadaku
bahwa cobaan-cobaan yang kualami sudah berlalu dengan cepat, “dan ini terjadi hanya karena Suster taat; dan berkat kuasa
ketaatanlah Tuhan sendiri membebaskan Suster dari siksaan ini.” Memang
benar, bahwa Tuhan segera membebaskan aku dari siksaan ini, tetapi kesetiaanku
kepada kataatan sungguh berkenan di hati-Nya.
(106) Meskipun hal-hal itu sangat mengerikan, hendaknya jiwa
tidak menjadi terlalu takut sebab Allah tidak pernah akan mencobai kita
melampaui apa yang dapat kita tanggung. Di lain pihak, mungkin Ia tidak akan
pernah mengirim kita ke penderitaan-penderitaan semacam itu. Tetapi, aku
menulis semua ini karena kalau Tuhan berkenan membiarkan sesuatu jiwa menjalani
penderitaan-penderitaan yang sedemikian berat, hendaknya ia tidak takut; dan
sejauh itu tergantung pada jiwa itu sendiri, hendaknya ia tetap setia kepada
Allah. Allah tidak akan merugikan satu jiwa pun sebab Ia sendiri adalah Sang
Kasih, dan dalam kasih-Nya yang tak terperikan Ia telah menciptakan jiwa itu.
Tetapi, ketika aku sedemikian disiksa, aku sendiri tidak memahaminya.
(107) O Allahku, aku baru tahu bahwa aku bukan dari dunia
ini; Tuhan telah mencurahkan kesadaran yang mendalam ini ke dalam jiwaku. Aku
lebih bersekutu dengan surga daripada dengan dunia meskipun aku sama sekali
tidak mengabaikan tugas-tugasku.
(108) Selama masa itu, aku tidak mempunyai pembimbing rohani;
aku tidak mendapatkan tuntunan apa pun. Aku minta kepada Tuhan, tetapi Ia tidak
memberikan kepadaku seorang pembimbing rohani. Yesus sendiri telah menjadi
Guruku sejak hari-hari masa kanak-kanakku sampai saat sekarang. Dia mendampingi
aku melintasi semua rimba dan semua bahaya. Aku melihat dengan jelas bahwa
Allah sendiri dapat menuntun aku tanpa terluka melalui bahaya-bahaya yang
begitu besar, dengan jiwaku tak ternoda dan melangkah dengan jaya melalui
segala kesulitan, betapa pun besarnya. Sementara aku keluar [...]. Kemudian,
Tuhan sungguh memberiku seorang pembimbing rohani.
(109) Sesudah penderitaan-penderitaan seperti itu, jiwaku
sampai pada suatu tahap kemurnian roh yang tinggi dan sangat dekat dengan
Allah. Tetapi, aku ingin menambahkan bahwa dalam siksaan-siksaan rohani itu,
jiwaku memang dekat dengan Allah, tetapi ia buta. Mata jiwaku diliputi
kegelapan. Memang, lebih dari kapan pun Allah begitu dekat dengan jiwa yang
sedang menderita, tetapi segalanya tersembunyi dalam kenyataan bahwa ia tidak
mengetahui apa-apa. Sungguh, jiwaku merasakan bahwa ia tidak hanya telah
ditinggalkan oleh Allah, tetapi ia menjadi sasaran kebencian-Nya. Betapa
beratnya penyakit yang menimpa mata jiwaku! Ketika diterpa oleh sinar ilahi,
jiwaku menegaskan bahwa terang itu tidak ada padahal justru karena terang ilahi
itu sedemikian cemerlang maka mata jiwaku menjadi buta. Tetapi kendati semuanya
itu, belakangan aku tahu bahwa pada saat-saat seperti itu Allah lebih dekat
pada jiwa daripada saat-saat lain sebab hanya dengan bantuan rahmat yang serba
biasa ia tidak akan mampu menanggung cobaan-cobaan itu. Di sini, kemahakuasaan
dan rahmat Allah yang luar biasa sungguh berperan sebab kalau tidak jiwa itu
pasti sudah tersungkur pada pukulan pertama.
(110) O Guru ilahi, apa yang terjadi dalam jiwaku adalah
karya-Mu sendiri! Engkau, o Tuhan, tidak takut menempatkan jiwa pada tebing
jurang yang mengerikan, tempat ia berdiri dengan cemas dan penuh ketakutan
sebab kemudian Engkau sendiri memanggil jiwa itu kepada-Mu. Inilah
misteri-misteri-Mu yang tak terselami.
(111) Ketika mengalami siksaan-siksaan batin itu, dalam
pengakuan dosa aku mempersalahkan diriku atas hal-hal yang amat kecil; imam
begitu heran bahwa aku tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang lebiih berat.
Maka, ia berkata kepadaku, “Suster, kalau
selama dirundung penderitaan-penderitaan itu engkau setia seperti itu kepada
Allah, itulah tanda nyata bagiku bahwa Allah menopangmu dengan rahmat khusus,
dan adalah baik bahwa engkau tidak memahaminya,” Bagaimana pun, sungguh
aneh bahwa para bapak pengakuan tidak dapat memahamiku atau tidak membuat
hatiku merasa tenang sehubungan dengan masalah-masalah itu, sampai aku berjumpa
dengan Pastor Andrasz dan, kemudian, dengan Pastor Sopocko.
(112) Beberapa patah kata mengenai pengakuan dosa dan bapak
pengakuan. Aku hanya akan berbicara mengenai apa yang telah kualami dan apa
yang sudah terjadi dalam jiwaku sendiri. Ada tiga hal yang menghalangi jiwa
memetik manfaat dari pengakuan dosa dalam masa-masa istimewa ini.
Pertama, kalau bapak pengakuan tidak begitu
memahami cara kerja Allah yang luar biasa, dan kalau ia merasa heran ketika
suatu jiwa mengungkapkan kepadanya misteri-misteri agung yang dikerjakan Allah
di dalamnya. Keheranan seperti itu membuat jiwa yang peka menjadi gemetar, dan
ia tahu bahwa bapak pengakuan ragu-ragu untuk memberikan pendapatnya; dan kalau
ia tidak tahu akan hal ini, ia pun tidak akan merasa lega, tetapi sesudah
pengakuan dosa itu ia malah akan lebih ragu-ragu daripada sebelumnya sebab ia
akan merasa bahwa bapak pengakuan berusaha menenteramkan jiwanya sedangkan ia
sendiri tidak yakin. Atau lagi, seperti pernah aku alami, ada bapak pengakuan
yang karena tidak mampu menyelami sejumlah misteri jiwa, denggan mendengarkan
pengakuan dosa, dan memperlihatkan ketakutan tertentu ketika jiwa itu
menghampiri kamar pengakuan.
Bagaimana jiwa yang berada dalam keadaan seperti itu akan
beroleh ketenangan dalam kamar pengakuan kalau ia telah menjadi terlalu peka
terhadap setiap kata yang diucapkan oleh imam? Menurut pendapatku pada
saat-saat jiwa mengalami pencobaan yang begitu khusus yang dikirim oleh Allah,
imam kalau ia sendiri tidak memahami jiwa itu, hendaknya menuntunnya kepada
seorang bapak pengakuan yang berpengalaman dan terlatih. Atau bisa juga, ia
sendiri hendaknya mencari terang untuk memberikan kepada jiwa itu apa yang
diperlukannya daripada menolak mentah-mentah pengakuan dosanya. Sebab dengan
cara itu, ia menempatkan jiwa tersebut dalam bahaya yang besar; dan lebih dari
satu jiwa bisa meninggalkan jalan yang menurut kehendak Allah harus ditempuh
oleh jiwa itu. Hal ini sangat penting karena aku sendiri sudah mengalaminya.
Aku sendiri mulai goncang; meskipun aku memperoleh anugerah-anugerah khusus
dari Allah, dan meskipun Allah sendiri menyakinkan aku, aku tetap ingin
memiliki juga meterai Gereja.
Kedua, kalau bapak pengakuan tidak
mengizinkan jiwa mengungkapkan diri dengan terus terang dan menunjukkan
ketidaksabaran. Dalam situasi demikian, jiwa itu lalu membisu dan tidak
mengatakan apa-apa [yang seharusnya ia katakan] dan karenanya, ia tidak memetik
manfaat apa pun. Lebih buruk lagi, kalau bapak pengakuan, tanpa sungguh
mengenal jiwa itu, mulai mengujinya. Dengan demikian, ia tidak hanya tidak
membantu jiwa itu, tetapi malah merugikannya. Jiwa itu sadar bahwa bapak
pengakuan tidak mengenal dirinya sebab ia tidak mengizinkan dia membuka diri
sepenuhnya, baik dalam kaitan dengan rahmat maupun dalam kaitan dengan
kepapaannya. Dengan demikian, ujian itu tidak sesuai. Aku telah mengalami sejumlah
ujian yang membuat aku tertawa geli.
Aku ingin mengungkapkannya lebih baik sebagai berikut: Bapak
pengakuan adalah dokter jiwa; bagaimana seorang dokter dapat memberikan obat
yang tepat kalau ia tidak tahu jenis penyakitnya? Tak mungkin ia mampu berbuat
demikian. Karena bisa terjadi, di satu pihak, obat itu tidak akan menghasilkan
buah yang diinginkan, atau di pihak lain obat itu akan terlalu kuat dan akan
memperparah penyakitnya, dan kadang-kadang - janganlah Allah mengizinkannya! -
bahkan mengakibatkan kematian. Aku berbicara berdasarkan pengalamanku sendiri
sebab dalam beberapa hal Tuhan sendirilah yang langsung menopang aku.
Ketiga, kadang-kadang juga terjadi bahwa
bapak pengakuan menyepelekan hal-hal kecil. Tidak ada yang kecil dalam
kehidupan rohani. Kadang-kadang hal yang tampaknya tidak penting akan
menyingkapkan suatu masalah yang memiliki konsekuensi besar, dan bagi bapak
pengakuan hal-hal kecil itu akan menjadi ibarat seberkas sinar yang membantu
dia mengenai jiwa itu. Banyak nilai rohani tersembunyi dalam hal-hal kecil.
Suatu bangunan yang megah tidak pernah akan muncul kalau kita
menolak batu bata yang kecil-kecil. Allah menuntut kemurnian besar dari
jiwa-jiwa tertentu, dan karena itu Ia memberi mereka pengetahuan yang lebih
mendalam tentang kepapaannya sendiri. Diterangi oleh sinar dari atas, jiwa
dapat mengenal dengan lebih baik apa yang berkenan di hati Allah dan apa yang
tidak. Kesadaran akan dosa bergantung pada tingkat pengetahuan dan terang yang
ada di dalam jiwa. Hal ini juga berlaku untuk kekurangan-kekurangan. Meskipun
jiwa mengetahui bahwa hanyalah dosa dalam arti sempit yang menuntut sakramen
tobat, tetapi bagi suatu jiwa yang mengupayakan kesucian, hal-hal yang sangat
kecil itu sangat penting, dan bapak pengakuan tidak boleh memandangnya remeh.
Kesabaran dan keramahan bapak pengakuan membuka jalan menuju rahasia-rahasia
jiwa yang paling dalam. Sungguh, tanpa sadar jiwa akan mengungkapkan
kedalamannya yang bukan alang-kepalang dan merasa lebih kuat serta lebih
tangguh; ia akan bertempur dengan keberanian yang lebih besar dan berusaha
mengerjakan tugas dengan lebih baik sebab ia tahu ia harus memberikan
pertanggungjawaban tentang semua itu.
Aku ingin menyebut satu hal lagi sehubungan dengan bapak
pengakuan. Adalah tugas bapak pengakuan untuk kadang-kadang menguji, mencobai,
memeriksa, mempelajari apakah ia sedang berhadapan dengan jerami, dengan besi,
atau dengan emas murni. Masing-masing dengan ketiga tipe jiwa ini membutuhkan
bentuk latihan yang berbeda. Bapak pengakuan harus - dan ini mutlak perlu -
memberikan penilaian yang tepat tentang masing-masing jiwa untuk mengetahui
seberapa berat beban yang dapat ia tanggung untuk waktu-waktu tertentu, dalam
situasi tertentu, atau dalam situasi khusus. Untuk aku sendiri, sesudah banyak
pengalaman [negatif], dan ketika aku tahu bahwa aku tidak dipahami, aku tidak
lagi membeberkan isi jiwaku atau membiarkan ketenteramanku dikacaukan. Tetapi,
hal ini terjadi hanya ketika semua rahmat sudah disampaikan kepada penilaian
seorang bapak pengakuan yang bijaksana, terlatih dan berpengalaman. Kini, aku
tahu apa yang harus kulakukan dalam hal-hal tertentu.
(113) Dan lagi, aku ingin menyampaikan tiga kata kepada jiwa
yang ingin teguh memperjuangkan kesucian dan memetik buah; yakni manfaat dari
pengakuan.
Kata pertama - ketulusan dan keterbukaan penuh.
Kalau suatu jiwa tidak tulus dan tidak terbuka, bahkan seorang bapak pengakuan
yang paling suci dan paling bijaksana pun tidak dapat dengan paksa menumpahkan
kepadanya apa yang ia inginkan. Jiwa yang tidak tulus dan tidak jujur
menghadapi bahaya besar dalam kehidupan rohaninya. Bahkan Tuhan Yesus sendiri
tidak akan memberikan diri-Nya pada tingkat yang tinggi kepada jiwa seperti itu
sebab Ia tahu bahwa jiwa itu tidak akan memetik manfaat dari rahmat istimewa
itu.
Kata kedua - kerendahan hati. Jiwa tidak akan
memetik manfaat sebagaimana mestinya dari sakramen pengakuan kalau ia tidak
rendah hati. Kesombongan membelenggu jiwa di dalam kegelapan. Jiwa itu tidak
tahu, dan tidak ingin memeriksa dengan cermat betapa memprihatinkan
kepapaannya. Ia mengenakan topeng dan menghindari segala sesuatu yang dapat
menyembuhkan dia.
Kata ketiga - Ketaatan. Suatu jiwa yang tidak
taat tidak akan memperoleh kemenangan, bahkan juga kalau Tuhan Yesus sendiri,
secara pribadi, mendengarkan pengakuan dosanya. Bapak pengakuan yang paling
berpengalaman pun tidak akan mampu memberikan pertolongan apa pun kepada jiwa
seperti itu. Jiwa yang tidak taat menjerumuskan diri kepada kemalangan yang
besar; ia tidak akan memperoleh kemajuan menuju kesempurnaan, juga tidak akan
berhasil dalam kehidupan rohani. Allah melimpahkan rahmat-Nya dengan sangat
murah hati kepada jiwa tetapi jiwa itu haruslah jiwa yang taat.
(114) Oh, betapa menyenangkan madah-madah yang mengalir dari
jiwa yang menderita! Seluruh surga bersukacita atas jiwa seperti itu, khususnya
ketika ia disentuh oleh Allah. Dengan suara yang menyayat hati ia melagukan
kerinduannya akan Allah. Luar biasa keindahannya sebab ia datang dari Allah.
Jiwa itu berjalan melintasi rimba kehidupan, terluka karena cinta akan Allah.
Dengan terpincang-pincang, ia menapaki tanah.
(115) Sesudah keluar dari penderitaan-penderitaan ini, jiwa
itu sungguh-sungguh rendah hati. Kemurnian jiwanya luar biasa. Tanpa harus
berpikir-pikir, seperti biasanya, ia mengetahui dengan lebih baik apa yang
harus ia laksanakan pada saat tertentu dan apa yang harus ia hindarkan. Ia
dapat merasakan sentuhan rahmat yang halus sekalipun, dan ia sangat setia
kepada Allah. Dari jauh ia sudah mengenali Allah dan terus menerus bersukacita
dalam Dia. Dengan sangat cepat ia menemukan Allah dalam jiwa-jiwa lain dan
dalam lingkungan pada umumnya. Jiwa itu sudah dimurnikan oleh Allah sendiri.
Allah, Roh yang Murni, mengantar jiwa itu kepada suatu kehidupan yang
sungguh-sungguh rohani. Allah sendiri sudah mempersiapkan dan memurnikan jiwa
itu. Artinya, Ia telah membuat dia mampu bersatu erat dengan diri-Nya. Dalam
penyerahan diri penuh cinta, jiwa itu bersatu dengan Tuhan secara rohani. Ia
berbicara kepada Allah tanpa perlu mengungkapkan diri lewat indra. Allah
memenuhi dia dengan terang-Nya.
Budi yang telah diterangi dapat melihat dengan jelas dan
dapat membedakan berbagai tingkat kehidupan rohani. Ia menyadari [keadaan itu]
ketika kesatuannya dengan Allah belum sempurna: di sana indra terlibat, dan
dengan salah satu cara roh berpaut pada indra - bergairah, bersemangat, yakin -
tetapi belum sempurna. Masih ada kesatuan yang lebih tinggi dan lebih sempurna
dengan Allah; yakni, kesatuan intelektual. Di sini jiwa lebih terbebas dari
ilusi; hidup rohaninya lebih murni dan lebih mendalam. Dalam suatu kehidupan di
mana indra terlibat, bahaya ilusi lebih besar. Baik bagi jiwa maupun bagi bapak
pengakuan, kewaspadaan harus memainkan peran yang lebih besar. Ada saat-saat
ketika Allah mengantar jiwa itu kepada suatu keadaan yang murni-rohani. Semua
indra memudar dan tampak sudah mati. Jiwa sangat erat bersatu dengan Allah; ia
tenggelam dalam ke-Allah-an; pengetahuannya lengkap dan sempurna, tidak
sporadis seperti sebelumnya, tetapi total dan mutlak. Ia bersukacita karena hal
ini. Tetapi aku ingin berkata lebih lanjut tentang saat-saat pencobaan; pada
saat-saat seperti itu bapak pengakuan harus memiliki kesabaran terhadap jiwa
seperti itu. Dan jiwa itu harus memiliki kesabaran yang bahkan lebih besar
terhadap dirinya sendiri.
(116) Yesusku, Engkau tahu apa yang dialami jiwaku ketika
mengenang penderitaan-penderitaan ini. Aku sudah sering merasa kagum bahwa para
malaikat dan para kudus menjaga ketenangan mereka ketika melihat suatu jiwa
sedang menderita seperti itu. Sungguh, mereka memiliki cinta istimewa bagi kita
pada saat-saat seperti itu. Sudah sering jiwa berteriak kepada Allah, seperti
seorang anak kecil yang berteriak keras-keras ketika ibunya menutupi wajahnya
dan ia tidak dapat mengenalinya. O Yesusku, hormat dan kemuliaan bagi-Mu karena
ujian-ujian cinta ini! Sungguh besar dan tak terselami kerahiman-Mu! Semuanya,
o Tuhan, yang Kauinginkan bagi jiwaku, teresapilah oleh kerahiman-Mu.
(117) Di sini, aku ingin menyebutkan bahwa mereka yang
tinggal bersama orang seperti itu hendaknya tidak menambah
penderitaan-penderitaan lahiriah; sebab, sungguh barangkali piala jiwa itu
sudah penuh, dan tetes yang kita tambahkan merupakan satu tetes yang berlebih
sehingga piala kepahitan akan meluap. Dan siapa yang akan bertanggung jawab
atas jiwa seperti itu? Marilah kita waspada jangan sampai menambah penderitaan
orang lain sebab hal itu tidak berkenan di hati Allah. Apabila para suster atau
para superior tahu atau bahkan menangkap isyarat bahwa suatu jiwa sedang
mengalami cobaan-cobaan seperti itu, dan mereka toh masih menambahkan
penderitaan-penderitaan lain, kiranya mereka berdosa berat, dan Allah sendiri
akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka atas nama jiwa seperti itu. Di
sini aku tidak berbicara tentang hal-hal yang sedari hakikatnya dosa, tetapi
tentang hal-hal yang dalam situasi tertentu dapat menjadi dosa. Marilah kita
sendiri waspada jangan sampai kita menimpakan beban jiwa-jiwa seperti itu pada
hati nurani kita. Ini adalah suatu kekurangan besar dan umum dalam kehidupan
membiara; yakni, bahwa kalau orang melihat suatu jiwa sedang menderita, ia
selalu ingin menambahkan penderitaan
yang bahkan lebih berat. Aku tidak berkata bahwa setiap orang berlaku demikian,
tetapi ada beberapa. Kita dengan bebas menyampaikan segala macam penilaian, dan
kita bicara pada saat kita mestinya lebih baik tinggal diam.
(118) Lidah adalah anggota tubuh yang kecil, tetapi ia
melakukan hal-hal yang besar. Seorang biarawati yang tidak tinggal diam tidak
pernah akan mencapai kesucian; artinya, ia tidak pernah akan menjadi santa.
Jangan ia menipu dirinya - kecuali kalau Roh Allah sendiri yang berbicara di
dalam dirinya sehingga ia tidak boleh tinggal diam. Tetapi, supaya dapat
mendengarkan suara Allah, orang harus memiliki keheningan jiwa dan tetap
tinggal diam; bukan diam ragawi, tetapi diam batiniah; maksudnya merenung di
dalam Allah. Orang dapat mengatakan banyak hal tanpa memecahkan keheningan dan,
sebaliknya, orang dapat berbicara sedikit dan terus-menerus memecahkan
keheningan. Oh, sungguh tak dapat dipulihkan kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran keheningan! Ia mengakibatkan
banyak kerusakan pada sesama, tetapi lebih besar lagi pada diri sendiri.
(119) Menurut pendapatku dan menurut pengalamanku, peraturan
mengenai keheningan hendaknya ditempatkan sebagai peraturan pertama. Allah
tidak memberikan diri-Nya sendiri kepada jiwa yang bawel yang, seperti seekor
lebah jantan dalam sarang lebah, terus mendengung tetapi tidak menghasilkan
madu. Jiwa yang bawel itu kosong batinnya. Ia tidak memiliki, baik keutamaan
dasar maupun keakraban dengan Allah. Suatu kehidupan batin yang mendalam,
kehidupan yang diliputi damai yang tenang dan hening di mana Tuhan tinggal,
sama sekali tidak ada. Jiwa yang tidak mengecapi manisnya keheningan batin akan
menjadi roh yang selalu gelisah yang mengacaukan keheningan orang lain. Aku
telah melihat banyak jiwa berada di jurang neraka karena tidak menjaga
keheningan batin; mereka memberitahukan hal ini kepadaku ketika aku bertanya
apa yang menjadi sebab kebinasaan mereka. Mereka itu adalah jiwa-jiwa
biarawan/wati. Ya Allahku, betapa mengerikan membayangkan bahwa mereka tidak
mungkin berada di surga, padahal mereka dulu memiliki kemungkinan untuk menjadi
santo/a! O Yesus, tunjukkanlah kerahiman-Mu! Aku gemetar membayangkan bahwa aku
harus memberikan pertanggungjawaban mengenai lidahku. Dalam lidahku ada
kehidupan, tetapi juga ada kematian. Kadang-kadang kita membunuh dengan lidah:
kita sungguh-sungguh menjadi pembunuh. Dan kita masih memandangnya sebagai
suatu hal kecil? Aku sungguh tidak dapat mengerti hati nurani seperti itu. Aku
kenal dengan satu orang yang ketika tahu dari seseorang bahwa dirinya sedang
dibicarakan orang, ia jatuh sakit parah. Tekanan darahnya menurun drastis, ia
mencucurkan banyak air mata, dan keadaannya sangat menyedihkan. Bukanlah pedang
yang melakukan semua ini, tetapi lidah. O Yesusku yang pendiam, kasihanilah
kami!
(120) Aku telah membahas masalah keheningan. Tetapi, bukan
inilah yang ingin aku bicarakan. Aku ingin berbicara lebih-lebih tentang
kehidupan jiwa bersama Allah dan tentang tanggapannya terhadap rahmat. Apabila
jiwa sudah dibersihkan, dan dengan mesra Tuhan tinggal dengan dia, jiwa itu
mulai menggunakan seluruh kekuatan batinnya dalam berjuang mencari Allah.
Tetapi, jiwa itu tidak dapat melakukan apa pun dari dirinya sendiri. Hanya
Allah yang mengatur segala sesuatu. Jiwa itu tahu akan hal ini dan
menyadarinya. Ia masih berada di pembuangan dan ia sungguh-sungguh tahu bahwa
bisa terjadi hari-hari berawan dan hujan. Tetapi, sekarang ia harus memandang
segala sesuatu secara berbeda, tidak seperti sebelumnya. Ia tidak mencari
ketenteraman hati dalam kedamaian yang palsu, tetapi ia siap untuk bertempur.
Ia tahu bahwa dirinya berasal dari bangsa pejuang. Sekarang ia jauh lebih sadar
akan segala sesuatu. Ia tahu bahwa ia berasal dari tunggul rajawi. Ia peduli
akan semua yang luhur dan kudus.
(121) Ada serangkaian rahmat yang dicurahkan Allah ke dalam
jiwa sesudah pencobaan-pencobaan dengan api. Jiwa itu menikmati kesatuan mesra
dengan Allah. Ia memiliki banyak penglihatan, baik jasmani maupun rohani. Ia
mendengar banyak kata-kata adikodrati dan kadang-kadang mendengar
perintah-perintah yang jelas. Tetapi, meskipun menerima rahmat seperti itu, ia
tidak berpuas diri. Sungguh, ia bahkan merasa kurang sebagai akibat dari rahmat
Allah karena kini ia terbuka terhadap banyak bahaya dan dengan mudah dapat
jatuh menjadi mangsa khayalan. Ia harus minta kepada Allah supaya diberi
seorang pembimbing rohani; tetapi tidak cukup ia hanya meminta seorang pembimbing
rohani; ia juga harus sungguh berusaha untuk menemukan seorang pembimbing yang
ahli dalam masalah-masalah ini, sama seperti seorang pemimpin militer harus
tahu jalan-jalan yang harus ia lalui untuk memimpin [pasukannya] menuju medan
pertempuran. Suatu jiwa yang bersatu dengan Allah harus siap menghadapi
pertempuran yang dahsyat dan sengit.
Sesudah pemurnian dan ujian-ujian ini, secara istimewa Allah
tinggal di dalam jiwa itu, tetapi jiwa itu tidak selalu bekerja sama dengan
rahmat itu. Bukan karena jiwa itu sendiri tidak mau bekerja sama, tetapi karena
ia menghadapi begitu banyak kesulitan batin dan lahir; sungguh dibutuhkan suatu
mukjizat untuk mempertahankan jiwa ini agar tetap berada di puncak. Dalam hal
ini, ia mutlak memerlukan seorang pembimbing. Sering kali orang meragukan
jiwaku dan aku sendiri kadang-kadang menjadi takut ketika memikirkan bahwa
akhirnya aku adalah seorang yang tidak terpelajar dan tidak memiliki
pengetahuan mengenai banyak hal, terutama hal-hal rohani. Dan ketika keraguanku
meningkat, aku mencari terang dari bapak pengakuan atau dari para superiorku.
Tetapi, aku tidak mendapatkan apa yang kurindukan.
(122) Ketika aku membuka diri kepada para superiorku, salah
seorang dari mereka memahami jiwaku dan memahami pula jalan yang dikehendaki
Allah bagiku. Ketika aku mengikuti nasihatnya, aku mengalami kemajuan yang
pesat menuju kesempurnaan. Tetapi, ini tidak berlangsung lama. Ketika aku
membeberkan isi jiwaku lebih dalam lagi, aku tidak memperoleh apa yang
kuinginkan; tampak superiorku berpendapat bahwa rahmat-rahmat seperti ini [yang
telah dilimpahkan kepadaku] adalah mustahil, dan dengan demikian aku tidak
dapat memperoleh pertolongan lebih lanjut dari dia. Ia berkata kepadaku bahwa
tidak mungkin Allah bersatu dengan ciptaan-Nya dengan cara itu. “Aku cemas mengenai kamu, Suster;
jangan-jangan ini hanya satu khayalan! Lebih baik Suster pergi dan meminta
nasihat seorang imam.” Tetapi, bapak pengakuan pun tidak memahami aku dan
berkata, “Lebih baik Suster pergi dan
membicarakan hal ini dengan para superiormu.” Dan demikianlah aku pergi
dari superior ke bapak pengakuan dan dari bapak pengakuan ke superior, dan aku
tidak mendapatkan ketenangan. Rahmat ilahi itu menjadi suatu penderitaan berat
bagiku. Dan lebih dari satu kali aku berkata langsung kepada Tuhan, “Yesus aku takut akan Dikau; jangan-jangan
Engkau semacam hantu!” Yesus selalu menyakinkan aku, tetapi aku masih terus
ragu-ragu. Tetapi, sungguh aneh: semakin aku ragu-ragu, semakin jelas Yesus
memberikan bukti-bukti kepadaku bahwa semua hal itu datang dari Dia.
(123) Ketika aku menyadari bahwa hatiku tidak mendapatkan
ketenangan dari pada superiorku, aku memutuskan untuk tidak berbicara tentang
hal-hal yang sepenuhnya batiniah ini. Sebagai seorang biarawati yang baik,
secara lahiriah aku berusaha untuk menceritakan segala sesuatu kepada para
superiorku, tetapi jauh menyangkut keperluan jiwaku, aku hanya membicarakan
hal-hal itu di kamar pengakuan. Karena banyak alasan yang sangat masuk asal,
aku sadar bahwa seorang perempuan tidak dipanggil untuk memecahkan
misteri-misteri seperti itu. Aku harus banyak menghadapi penderitaan yang tidak
perlu. Selama waktu yang panjang, aku dipandang sebagai seorang yang dikuasai
roh jahat; orang memandang aku dengan rasa kasihan, dan superior mengambil
sejumlah tindakan yang amat hati-hati terhadap diriku. Suatu ketika aku
mendengar bahwa para suster juga memandang aku seperti itu. Dan langit pun
menjadi semakin kelam menyeliputi aku. Aku mulai menghindari rahmat-rahmat
ilahi itu, tetapi aku tidak mampu berbuat demikian. Tiba-tiba aku tenggelam
dalam perenungan yang sedemikian rupa sehingga, bertentangan dengan kehendakku,
aku tenggelam dalam Allah, dan Tuhan membuat aku sepenuhnya bergantung pada
diri-Nya.
(124) Pada saat-saat awal jiwaku selalu sedikit ketakutan,
tetapi kemudian ia dipenuhi dengan ketenangan dan kekuatan yang ajaib.
(125) Semua hal ini masih dapat kutanggung. Tetapi, ketika
Tuhan meminta agar aku melukis gambar itu, mereka mulai berbicara secara
terbuka mengenai aku dan memandang aku sebagai seorang yang histeris dan suka
berkhayal, dan desas-desus pun mulai menyebar lebih luas. Salah seorang suster
datang untuk berbicara secara pribadi. Ia mulai dengan mengungkapkan rasa
kasihan kepadaku dan berkata, “Aku telah
mendengar mereka mengatakan bahwa Suster adalah seorang yang suka berkhayal,
dan bahwa Suster telah mendapat penglihatan-penglihatan. Susterku yang malang,
belalah dirimu dalam hal ini.” Suster itu adalah seorang yang tulus, dan ia
menyampaikan kepadaku dengan tulus apa yang telah ia dengar. Tetapi, aku telah
mendengar hal seperti itu setiap hari. Hanya Allah yang tahu betapa letihnya
aku.
(126) Tetapi, aku memutuskan untuk menanggung segala sesuatu
dengan berdiam diri dan untuk tidak memberikan penjelasan apa pun kalau aku
ditanya. Sejumlah orang merasa risih dengan sikap diamku, khususnya mereka yang
memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar. Yang lain, yang merenung dengan
lebih mendalam, barkata, “Sr.Faustina pastilah sangat dekat dengan Allah kalau
ia memiliki kekuatan untuk menanggung penderitaan sebesar itu.” Seolah-olah aku
menghadapi dua kelompok hakim. Aku berjuang keras untuk mempertahankan
keheningan batin dan lahir. Aku tidak mengatakan suatu pun tentang diriku
meskipun aku ditanyai secara langsung oleh beberapa suster. Bibirku aku segel.
Aku menderita ibarat seekor merpati, tanpa mengeluh. Tetapi, sejumlah suster
tampak mendapatkan kepuasan dalam menggodaku dengan cara apa pun yang dapat
mereka lakukan. Kesabaranku mengusik mereka. Tetapi, Allah memberi kekuatan
batin yang sedemikian besar sehingga aku dapat menanggungnya dengan tenang.
(127) Aku menjadi tahu bahwa dalam situasi seperti itu aku
tidak dapat mengharapkan pertolongan dari siapa pun, dan aku mulai berdoa serta
memohon kepada Tuhan supaya Ia mengirim seorang bapak pengakuan. Aku
menginginkan supaya seorang imam mengatakan satu kata ini kepadaku, “Tenanglah, Suster berada di jalan yang
benar!” atau “Tolaklah semua ini
karena tidak berasal dari Allah.” Tetapi, aku tidak dapat menemukan seorang
imam yang tegas, yang dapat mengucapkan kata-kata itu dengan jelas dalam nama
Tuhan. Karena itu, ketidakpastianku pun terus berlanjut. O Yesus, kalau memang
Engkau menghendaki aku hidup dalam ketidakpastian seperti ini, terpujilah
nama-Mu! Aku mohon kepada-Mu, Tuhan, arahkanlah jiwaku kepada-Mu dan sertailah
aku karena dari diriku sendiri aku bukan apa-apa.
(128) Demikianlah aku dihakimi dari segala penjuru. Tidak ada
lagi suatu pun dalam diriku yang lolos dari penghakiman para suster. Tetapi,
kini tampaknya semua itu sudah basi, dan mereka mulai meninggalkan aku dalam
damai. Jiwaku yang tersiksa telah menikmati sedikit istirahat, dan aku menjadi
tahu bahwa Tuhan telah sangat dekat denganku pada saat-saat penganiayaan
seperti itu. [Genjatan senjata] ini berlangsung hanya dalam waktu yang singkat.
Suatu badai yang ganas menerpa lagi. Kini bagi mereka, kecurigaan-kecurigaan
lama itu menjadi seolah-olah fakta nyata, dan sekali lagi aku harus mendengar
nyanyian-nyanyian usang yang sama. Tuhan agaknya menghendaki seperti itu. Tetapi,
cukup aneh, kemudian aku mulai mengalami berbagai kegagalan, juga secara
lahiriah. Ini menimpakan kepada banyak penderitaan dengan segala jenis, yang
hanya diketahui oleh Allah. Tetapi, aku berusaha sebaik-baiknya untuk melakukan
segala sesuatu dengan maksud yang paling murni. Kini, aku dapat melihat bahwa
di mana-mana aku diawasi ibarat seorang pencuri: di kapel; di saat aku sedang
melaksanakan tugas-tugasku; di kamarku. Kini aku sadar bahwa di samping
kehadiran Allah, aku juga selalu merasakan di dekatku kehadiran insan. Dan, aku
harus mengatakan bahwa lebih dari satu kali kehadiran insan ini sangat
menggangguku. Kadang-kadang terjadi, aku bertanya-tanya apakah aku harus
menanggalkan bajuku waktu mandi atau tidak. Sungguh, bahkan tempat tidurku yang
sederhana itu banyak kali diperiksa. Lebih dari satu kali aku tertawa geli
ketika aku tahu bahwa mereka bahkan tidak membiarkan tempat tidurku tak
terjaga. Salah seorang suster memberi tahu aku bahwa ia sendiri datang untuk
mengawasiku di dalam kamarku setiap petang untuk melihat bagaimana tingkah
lakuku di dalam kamar.
Tetapi, para superior adalah tetap superior. Meskipun secara
pribadi mereka merendahkan aku dan kadang-kadang memenuhi aku dengan segala
macam keragu-raguan, mereka selalu mengizinkan aku melakukan apa yang diminta
Tuhan. Memang, tidak selalu dengan cara yang aku minta, tetapi dalam beberapa
cara yang berbeda, mereka memenuhi tuntutan-tuntutan Tuhan dan memberiku izin
untuk semua kurban serta mati raga [yang diminta Tuhan dariku].
(129) Suatu hari, salah seorang Muder menumpahkan
kemarahannya yang hebat kepadaku dan merendahkan aku sedemikian rupa sehingga
aku berpikir bahwa aku tidak akan mampu menahannya. Ia berkata kepadaku, “Hei manusia aneh, histeris dan pelihat,
keluarlah dari kamarku; aku tidak mau tahu Suster!” Ia terus menumpahkan ke
atas kepalaku apa saja yang dapat ia pikirkan. Ketika aku masuk ke kamarku, aku
menelungkupkan wajahku di hadapan salib, dan kemudian aku memandang Yesus;
namun aku tidak lagi mampu mengatakan sepatah kata pun. Tetapi, aku
menyembunyikan segala sesuatu dari orang lain dan bersikap seolah-olah tidak
ada sesuatu yang telah terjadi antara kami.
Setan selalu mengambil keuntungan dari saat-saat seperti itu;
bayangan keputusasaan mulai muncul ke permukaan: inilah ganjaranmu - untuk kesetiaan dan ketulusanmu. - Bagaimana
orang dapat menjadi tulus hati kalau ia sedemikian tidak dipahami? Yesus,
Yesus, aku tidak dapat melangkah lebih jauh lagi. Sekali lagi, dengan beban
ini, aku tersungkur di lantai dan keringatku mulai mengalir, dan rasa takut
mulai menguasai aku. Aku tidak memiliki seorang pun untuk menyandarkan diriku
secara batin. Tiba-tiba aku mendengar suatu suara di dalam jiwaku, “Jangan
takut; Aku menyertaimu.” Suatu sinar yang luar biasa menerangi budiku,
dan aku menjadi sadar bahwa aku tidak boleh menyerah dalam kesedihan seperti
ini. Aku dipenuhi dengan suatu kekuatan dan meninggalkan kamarku dengan
keberanian baru untuk menderita.
(130) Akan tetapi, aku mulai menjadi sedikit sembrono. Aku
tidak memberi perhatian kepada ilham-ilham batiniah dan berusaha mengalihkan
perhatianku. Tetapi, meskipun ada kegaduhan dan gangguan, aku tetap dapat
melihat apa yang sedang terjadi dalam jiwaku. Bicara Allah sungguh jelas, dan
tidak ada suatu pun yang dapat membungkamkan-Nya. Aku mulai menghindari
perjumpaan-perjumpaan dengan Tuhan di dalam jiwaku sebab aku tidak mau jatuh
menjadi mangsa khayalan-khayalan. Tetapi, dalam arti tertentu, Tuhan terus
memburu aku dengan anugerah-anugerah-Nya; dan sungguh, aku mengalami siksaan dan
sukacita, secara bergantian. Aku tidak menyebut di sini aneka penglihatan dan
rahmat yang diberikan Allah kepadaku selama waktu ini sebab aku telah
menuliskannya di tempat lain. Tetapi, di sini aku hanya akan mengatakan bahwa
aneka penderitaan telah mencapai puncaknya, dan aku memutuskan untuk mengakhiri
keragu-raguan sebelum kaul kekalku. Sepanjang masa probasiku, aku memohon
terang bagi imam yang harus mendengarkan aku membuka jiwaku sampai
sedalam-dalamnya. Aku minta kepada Allah agar Ia sendiri menolongku dan
memberiku rahmat untuk bisa mengungkapkan bahkan hal-hal yang paling rahasia
yang ada antara aku dan Allah; juga aku minta agar aku mampu menjadi sedemikian
terbuka sehingga apa pun yang akan diputuskan oleh imam akan aku terima sebagai
sesuatu yang datang dari Yesus sendiri. Tidak peduli keputusan macam apa yang
akan ia sampaikan kepadaku; yang aku inginkan hanyalah kebenaran dan jawaban
yang pasti atas beberapa pertanyaan. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya ke dalam
tangan Allah, dan yang dirindukan jiwaku hanyalah kebenaran. Aku tidak dapat
terus hidup dalam keragu-raguan lebih lama lagi meskipun, dalam lubuk jiwaku,
aku sedemikian yakin bahwa hal-hal ini datang dari Allah, dan aku siap
menyerahkan hidupku untuk ini. Tetapi, aku mau menempatkan pendapat bapak
pengakuan di atas semuanya. Aku menyiapkan hatiku untuk melaksanakan apa pun
yang ia pikir paling baik, dan untuk bertindak sesuai dengan nasihat yang akan
ia berikan kepadaku. Aku memandang ke depan, ke saat yang akan menentukan
kelangsungan kegiatanku selama sisa hidupku. Aku tahu bahwa segala sesuatu akan
tergantung pada saat ini. Tidak begitu menjadi masalah apakah yang akan ia
katakan kepadaku selaras dengan ilham-ilham yang kuterima atau sama sekali
lain; ini tidak lagi menjadi masalah bagiku. Aku ingin tahu kebenarannya dan
aku ingin mengikutinya.
(131) Yesus, Engkau dapat menolong aku! Sejak saat ini, aku
telah memulai sesuatu yang baru. Aku menyembunyikan segala rahmat di dalam
jiwaku dan menantikan siapa pun juga yang akan diutus Tuhan kepadaku. Tanpa
keragu-raguan dalam hati, aku minta kepada Tuhan sendiri agar berkenan
menolongku selama saat-saat ini. Dan, tida-tiba suatu keberanian menyusup ke
dalam jiwaku.
(132) Aku harus menyebutkan juga bahwa ada beberapa bapak
pengakuan yang tampaknya menjadi bapak pengakuan yang tampaknya menjadi bapak
rohani yang sejati, tetapi hanya selama segala berjalan dengan baik. Ketika
jiwa membutuhkan bantuan yang lebih besar, mereka menjadi bingung, dan entah
tidak dapat entah tidak mau memahami jiwa itu. Mereka berusaha menghindari
orang itu secepat mungkin. Tetapi, kalau jiwa itu randah hati, ia akan selalu
memetik manfaat walaupun sedikit. Kadang-kadang, Allah sendiri akan memancarkan
seberkas sinar ke dalam lubuk jiwa itu oleh karena kerendahan hati dan imannya.
Kadang-kadang, bapak pengakuan akan mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia
maksudkan, bahkan tanpa menyadarinya. Oh, biarlah jiwa itu percaya bahwa
kata-kata seperti itu adalah kata-kata Tuhan sendiri. Memang, kita harus
percaya bahwa setiap kata yang diucapkan di kamar pengakuan adalah kata-kata
Allah; yang aku maksud di sini adalah sesuatu yang datang langsung dari Allah.
Dan, jiwa itu merasa bahwa imam itu bukanlah tuan atas dirinya, yang sedang
mengatakan hal-hal yang tidak ingin ia katakan. Beginilah Allah mengganjar
iman.
Sering kali, aku sendiri mengalami hal-hal seperti ini. Salah
seorang imam yang sangat terpelajar dan sangat dihormati, yang kepadanya aku
kadang-kadang pergi mengaku dosa, selalu bersikap keras dan menentang
masalah-masalah [yang aku ungkapkan kepadanya]. Tetapi, pada suatu kesempatan
ia menjawab kepadaku, “Ingatlah, Suster,
bahwa kalau Allah meminta hal ini dari Suster, Suster hendaknya tidak melawan
Dia. Kadang-kadang Allah ingin dipuji justru dengan cara ini. Tenanglah; apa
yang sudah dimulai oleh Allah, akan Ia selesaikan. Tetapi, saya ingin
menegaskan hal ini kepada Suster: kesetiaan kepada Allah dan kerendahan hati.
Sekali lagi, kerendahan hati. Ingatlah baik-baik akan apa yang telah kukatakan
kepada Suster hari ini.” Hatiku sangat senang, dan aku berpikir bahwa
barangkali imam ini telah memahami aku. Tetapi, situasinya berubah sama sekali
sehingga aku tidak pernah lagi pergi mengaku dosa kepadanya.
(133) Pada suatu hari, salah seorang Muder yang sudah lanjut
usia memanggilku. Seolah-olah halilintar di siang bolong menyambar kepalaku
sedemikian dahsyat sehingga aku bahkan tidak dapat mengerti apa yang sedang ia
katakan. Tetapi, tidak lama kemudian aku mengerti bahwa yang ia lontarkan itu
berkaitan dengan suatu masalah yang sama sekali tidak tergantung dari aku. Ia
berkata kepadaku, “Suster, buanglah dari
kepalamu gagasan bahwa Tuhan Yesus mau bersatu dengan cara yang sedemikian
mesra dengan seonggok ketidaksempurnaan yang memprihatinkan seperti kamu!
Ingatlah bahwa hanya dengan jiwa-jiwa kuduslah Tuhan Yesus bergaul seperti
itu!” Aku mengakui bahwa ia benar sebab aku ini memang seorang yang malang,
tetapi aku masih percaya akan kerahiman Allah. Ketika aku berjumpa dengan Tuhan
aku merendahkan diri dan berkata, “Yesus,
tampaknya Engkau tidak bersatu erat dengan orang yang sedemikian malang seperti
aku.” “Tenanglah, Putri-Ku, persis lewat kepapaan seperti itu Aku ingin
menunjukkan kuasa kerahiman-Ku.” Aku memahami bahwa Muder ini hanya
ingin merendahkan aku.
(134) O Yesusku, sudah begitu banyak kali Engkau mencobai aku
dalam masa hidupku yang singkat ini! Aku sudah mulai mengerti begitu banyak
hal, bahkan sedemikian rupa sehingga aku menjadi heran. Oh, betapa indahnya
menyerahkan diri sama sekali kepada Allah dan memberi Dia kebebasan penuh untuk
bertindak di dalam jiwa.
(135) Selama masa probasi yang ketiga, Tuhan membuat aku
memahami bahwa aku harus mempersembahkan diriku kepada-Nya sedemikian rupa
sehingga Ia dapat bertindak terhadap aku seperti yang Ia kehendaki. Aku harus
tetap berdiri di hadapan-Nya sebagai suatu persembahan-kurban. Mula-mula, aku
sangat ketakutan karena aku menyadari bahwa diriku sedemikian memprihatinkan
dan karena aku tahu dengan baik diriku sendiri. Sekali lagi aku berkata kepada
Tuhan, “Aku ini sungguh papa; bagaimana
mungkin aku menjadi sandera [demi orang-orang lain]?” “Sekarang engkau belum
memahaminya. Besok, dalam adorasimu, Aku akan membuat engkau mengerti.”
Hatiku gemetar, demikian juga jiwaku, sedemikian dalamnya kata-kata itu menusuk
ke dalam jiwaku. Sabda Allah itu hidup.
Ketika aku datang ke adorasi aku merasakan dalam jiwaku bahwa
aku telah masuk ke dalam bait Allah yang hidup, yang keagungan-Nya luar biasa
dan tak terselami. Dan Ia membuat aku mengerti apa itu roh-roh yang bahkan
paling murni dalam pandangan-Nya. Meski aku tidak melihat suatu pun secara
lahiriah, kehadiran Allah meliputi diriku. Pada saat itu juga budiku disinari
terang yang ajaib. Suatu penglihatan melintas di depan mata jiwaku; tampaknya
seperti yang dialami oleh Yesus di Taman Zaitun. Mula-mula, penderitaan fisik
dan segala situasi yang akan memperberat penderitaan itu; [kemudian] sepenuhnya
penderitaan spiritual dan semua yang tak akan dimengerti oleh seorangpun.
Segala sesuatu melintas dalam penglihatan: kecurigaan semu, kehilangan nama
baik. Aku telah merangkumnya, tetapi pengetahuan ini sedemikian jelas sehingga
apa yang kualami kemudian sama sekali tidak berbeda dari apa yang aku saksikan
saat itu. Namaku adalah “kurban.”
Ketika penglihatan itu berakhir, keringat dingin membasahi wajahku.
(136) Yesus membuat aku mengerti bahwa, juga kalau aku tidak
memberikan persetujuan kepada penglihatan itu, aku masih dapat diselamatkan; Ia
tidak akan mengurangi rahmat-Nya, tetapi masih akan terus menjalin hubungan
intim yang sama denganku sehingga kalau pun aku tidak setuju melakukan
pengurbanan ini, kemurahan hati Allah tidak akan berkurang karenanya.
Dan, Tuhan membuat aku mengerti bahwa seluruh misteri itu
bergantung kepadaku, pada persetujuan bebasku terhadap pengurbanan yang kuberikan
dengan menggunakan segenap kemampuanku sepenuhnya. Dalam tindakan yang bebas
dan sadar ini terletak seluruh kekuatan dan nilai pengurbananku di hadapan
keagungan-Nya. Bahkan kalau tidak satu pun dari hal-hal ini, yang untuknya aku
mempersembahkan diriku sendiri, akan terjadi dalam masa hidupku, di hadapan
Tuhan segala sesuatu seolah-olah sudah digenapi.
Pada saat itu aku menyadari bahwa aku sedang masuk ke dalam
persekutuan dengan Keagungan yang tak terselami. Aku merasa bahwa Allah sedang
menantikan kata-kataku, persetujuanku. Kemudian rohku membenamkan diri dalam
Tuhan, dan aku berkata, “Lakukanlah
padaku seperti yang Engkau kehendaki. Aku menaklukkan diriku kepada
kehendak-Mu. Sejak hari ini, kehendak-Mu yang kudus akan menjadi makanan
bagiku, dan dengan bantuan rahmat-Mu aku akan setia kepada
perintah-perintah-Mu. Lakukanlah kepadaku seperti yang Engkau kehendaki. Aku
mohon kepada-Mu, o Tuhan, sertailah aku setiap saat di sepanjang hidupku.”
(137) Sesudah aku menyampaikan persetujuanku kepada pengurbanan
itu, dengan segenap hatiku dan seluruh kehendakku, tiba-tiba kehadiran Allah
meliputi aku. Jiwaku terbenam di dalam Allah dan dibanjiri dengan kebahagiaan
yang sedemikian rupa sehingga aku tidak dapat melukiskannya dalam tulisan meski
hanya bagian yang paling kecil sekalipun. Aku merasa bahwa Keagungan-Nya
menyelubungi diriku. Aku dipersatukan secara luar biasa dengan Allah. Aku
melihat bahwa Allah sangat berkenan akan daku dan sebaliknya rohku membenamkan
diri di dalam Dia. Sadar akan kesatuan dengan Allah ini, aku merasa diriku
dicintai secara istimewa dan sebaliknya aku mencintai-Nya dengan segenap
jiwaku. Suatu misteri yang agung terjadi selama adorasi itu, suatu misteri
antara Tuhan dan diriku. Aku merasa bahwa aku akan mati karena mencintai [karena
menyaksikan] tatapan mata-Nya sekilas. Aku berbicara banyak dengan Tuhan, namun
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan Tuhan bersabda kepadaku, “Engkaulah
kesukaan Hati-Ku; mulai hari ini, setiap perbuatanmu, juga yang paling kecil,
akan menjadi kesukaan bagi mata-Ku, apa pun yang engkau lakukan.” Pada
saat itu, aku mengalami suatu transkonsekrasi. Badan fanaku tetap sama, tetapi
jiwaku berbeda; kini Allah hidup di dalamnya dengan totalitas kesukaan-Nya. Ini
bukan suatu perasaan, tetapi suatu realitas yang disadari, yang tidak
dikaburkan oleh suatu pun. Suatu misteri yang agung antara Allah dan aku telah
digenapi. Keberanian dan kekuatan telah menetap di dalam jiwaku. Ketika saat
adorasi berakhir, aku keluar dan dengan tenang menghadapi segala sesuatu yang
sebelumnya sangat kutakuti.
(138) Ketika aku keluar ke lorong biara, suatu penderitaan
dan penghinaan berat, dari pihak seseorang, langsung harus kuhadapi. Aku
menerimanya dengan ketaklukkan kepada kehendak yang luhur dan aku merapat erat
pada Hati Yesus yang Mahakudus, Tuhan, sambil membiarkan Dia mengetahui bahwa
aku siap untuk menanggung apa pun; untuk itu aku telah mempersembahkan diriku.
Penderitaan tampak bermunculan seolah dari bawah tanah.
Bahkan Muder Margareta sendiri heran. Bagi orang-orang lain, banyak hal lolos
dari perhatian karena memang hal itu tidak berharga untuk menyita perhatian
sedikit pun dari mereka; tetapi bagiku, tidak suatu pun lolos dari perhatian;
setiap kata dianalisis, setiap langkah diawasi. Seorang suster berkata kepadaku,
“Bersiaplah, Suster, untuk menerima
sebuah salib kecil dari tangan Muder Superior. Saya merasa kasihan kepadamu.”
Tetapi dalam lubuk jiwaku, aku sendiri bersukacita atas hal ini; sudah lama aku
siap untuk itu. Ketika ia melihat keberanianku, ia menjadi heran. Aku kini
melihat bahwa jiwa tidak dapat melihat banyak hal dari dirinya sendiri, tetapi
bersama Allah ia dapat melakukan segala sesuatu. Inilah yang dapat dikerjakan
berkat rahmat Allah. Tidak banyak jiwa yang selalu waspada untuk rahmat ilahi,
dan lebih sedikit lagi jiwa yang mengikuti ilham-ilham itu dengan setia.
(139) Namun, jiwa yang setia kepada Allah tidak dapat
mengukuhkan sendiri ilham yang diterimanya; ia harus menundukkannya di bawah
pengawasan imam yang sangat bijaksana dan terpelajar; dan sebelum menjadi
sangat pasti, hendaknya hal itu tetap diragukan. Hanya dengan prakarsa sendiri,
ia hendaknya tidak mempercayai ilham-ilham itu dan semua rahmat lain yang lebih
tinggi sebab dengan begitu ia dapat menempatkan dirinya dalam bahaya kehancuran.
Memang, jiwa bisa serta merta membedakan ilham palsu dari
ilham yang datang dari Allah. Meskipun demikian, ia harus berhati-hati sebab
banyak hal tidak pasti. Allah senang dan bersukcita kalau jiwa tidak percaya
kepada-Nya demi Dia sendiri; karena mencintai Allah, ia menjadi waspada dan ia
sendiri meminta serta mencari pertolongan untuk memastikan bahwa sungguh
Allahlah yang bertindak di dalam dirinya. Dan begitu seorang bapak pengakuan
yang terlatih menegaskan hal itu, hendaknya jiwa itu menjadi tenang dan
menyerahkan dirinya kepada Allah, sesuai dengan arahan-arahan-Nya; yakni,
sesuai dengan arahan-arahan bapak pengakuan.
(140) Cinta yang murni mampu melakukan perbuatan-perbuatan
besar, dan ia tidak dipatahkan oleh kesulitan ataupun penderitaan. Sebagaimana
cinta tetap kuat di tengah kesulitan-kesulitan besar, demikian juga ia bertahan
dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang rutin dan membosankan. Ia tahu
bahwa hanya satu hal yang diperlukan untuk menyenangkan hati Allah: melakukan
bahkan hal-hal yang paling kecil karena cinta yang besar - cinta, dan hanya
cinta.
Cinta yang murni tidak pernah sesat. Sinarnya sungguh gilang
gemilang. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang barangkali tidak berkenan di
hati Allah. Ia tulus dalam melakukan apa yang lebih berkenan di hati Allah, dan
tidak seorang pun akan menyamainya. Ia merasa bahagia kalau ia dapat
mengosongkan dirinya sendiri dan membakarnya ibarat suatu persembahan yang
murni. Semakin ia memberikan dirinya sendiri, semakin bahagia ia. Tetapi juga,
tidak seorang pun dapat merasakan bahaya-bahaya dari jauh seperti yang dapat
dirasakan oleh cinta; ia tahu bagaimana membuang kedok dan juga tahu dengan
siapa ia berhadapan.
(141) Tetapi, siksaan-siksaanku mulai berakhir. Kini, Tuhan
memberikan kepadaku pertolongan yang ia janjikan. Aku dapat melihatnya dalam
diri dua orang imam; yakni Pastor Andrasz dan Pastor Sopocko. Dalam retret
dalam kaul-kaul kekalku, aku sungguh-sungguh merasakan kedamaian untuk pertama
kalinya, dan kemudian aku dituntun ke arah yang sama oleh Pastor Sopocko.
Inilah penggenapan janji Tuhan.
(142) Ketika aku ditenteramkan dan diajar bagaimana mengikuti
jalan-jalan Allah, rohku bersukacita dalam Tuhan, dan aku merasakan bahwa aku
sedang berlari, bukan berjalan. Sayap-sayapku dibentangkan dan aku siap
terbang; aku membubung menembus panasnya matahari, dan aku tidak akan turun
sebelum aku beristirahat dalam Dia; dalam Dia, jiwaku lenyap untuk
selama-lamanya. Dan aku menundukkan diriku sepenuhnya kepada pengaruh rahmat.
Allah membungkuk sangat dalam kepada jiwaku. Aku tidak mundur, dan juga tidak
menahan Dia, tetapi aku lenyap di dalam Dia sebagai satu-satunya hartaku. Aku
menjadi satu dengan Tuhan. Seolah-olah jurang pemisah antara kami, Pencipta dan
ciptaan, menghilang. Selama beberapa hari, jiwaku berada dalam keadaan ekstase
yang terus menerus. Kehadiran Allah tidak meninggalkan aku sesaat pun. Dan
jiwaku tetap berada dalam kesatuan cinta yang terus menerus dengan Tuhan.
Tetapi, ini sama sekali tidak menghalangi pelaksanaan tugas-tugasku. Aku merasa
diriku ditransformasi ke dalam cinta; seluruh cintaku bernyala, tetapi aku
tidak menjadi hangus. Tanpa henti aku membenamkan diriku di dalam Allah; Allah
menarik aku kepada diri-Nya sedemikian kuat dan penuh kuasa sehingga
kadang-kadang aku tidak sadar bahwa aku masih ada di bumi. Sudah begitu lama
aku memasang penghalang dan takut terhadap rahmat Allah, dan sekarang Allah
sendiri, lewat Pastor Andrasz, telah menghapus segala kesulitan. Rohku telah
berpaling kepada Sang Surya dan berkat sinar-Nya rohku telah berbunga hanya
bagi Dia; aku tidak tahu lagi.... [kalimat terputus di sini dan mulailah suatu
gagasan yang sama sekali baru dalam baris berikutnya.]
(143) Aku telah menyia-nyiakan banyak rahmat Allah karena aku
selalu takut tertipu. Allah menarik aku kepada diri-Nya sedemikian kuat
sehingga sering kali aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan rahmat-Nya
ketika aku tiba-tiba terbenam di dalam dia. Pada saat-saat seperti itu, Yesus
memenuhi diriku dengan damai yang sedemikian besar sehingga, kalaupun aku
berusaha menjadi tidak tenang, aku tidak dapat berbuat demikian. Dan tiba-tiba
aku mendengar suara ini di dalam jiwaku, “Supaya engkau tenang bahwa Akulah yang
meminta semua hal ini darimu, Aku akan memberimu damai yang sedemikian teduh
sehingga bahkan kalaupun hari ini engkau ingin merasa gelisah dan takut, engkau
tidak kuasa untuk berbuat demikian; cinta akan membanjiri jiwamu sampai engkau
lupa akan dirimu sendiri.”
(144) Kemudian, Yesus memberikan aku seorang imam lain; atas
perintah Yesus, aku menyingkapkan jiwaku di hadapannya. Mula-mula aku
melakukannya dengan sedikit bimbang, tetapi suatu teguran keras dari Tuhan
Yesus membangkitkan kerendahan hati yang mendalam dalam jiwaku. Di bawah
bimbingannya, jiwaku mengalami kemajuan yang pesat dalam cinta akan Allah, dan
banyak keinginan Tuhan terlaksana secara lahiriah. Sering kali, aku kagum akan
keberaniannya dan akan kerendahan hatinya yang mendalam.
(145) Oh, betapa malangnya jiwaku karena sudah menyia-nyiakan
begitu banyak rahmat! Aku telah lari jauh dari Allah; tetapi, dengan
rahmat-Nya, Ia mengejar aku. Aku paling sering mengalami rahmat Allah ketika
aku paling tidak mengharapkannya. Sejak saat Ia memberiku seorang pembimbing
rohani, aku lebih setia kepada rahmat Allah. Syukur atas pembimbing rohani ini,
dan atas perhatiannya kepada jiwaku. Aku menjadi tahu apa artinya bimbingan dan
bagaimana Yesus memandangnya. Yesus memperingatkan aku tentang kesalahan yang
paling kecil dan menekankan bahwa Ia sendirilah yang memutuskan apa yang aku
sampaikan kepada bapak pengakuanku; dan [Ia berkata kepadaku] bahwa “...setiap
pembangkangan terhadap bapak pengakuan merupakan pembangkangan terhadap Aku
sendiri.”
Di bawah bimbingannya, jiwaku mulai mengalami ketenangan dan
damai yang sangat teduh. Ketika itu, aku seering mendengar suara ini di dalam
jiwaku, “Kuatkanlah dirimu untuk menghadapi pertempuran” -
kadang-kadang suara ini terulang beberapa kali dan dalam berbagai kesempatan.
Yesus sering memberitahukan kepadaku apa yang tidak Ia
senangi di dalam jiwaku, dan lebih dari satu kali Ia mencela aku karena apa
yang tampaknya sepele, tetapi sesungguhnya merupakan hal-hal yang amat penting.
Ia memperingatkan dan menguji aku seperti seorang Guru. Selama bertahun-tahun
Ia mendidik aku, sampai tiba saatnya Ia memberiku seorang pembimbing rohani.
Sebelumnya, Ia sendiri menjelaskan kepadaku apa yang tidak kupahami; tetapi
sekarang, Ia menyuruh aku bertanya kepada bapak pengakuanku mengenai segala
sesuatu dan sering kali Ia berkata, “Aku akan menjawabmu lewat mulutnya. Tenanglah!”
Belum pernah terjadi padaku, aku menerima jawaban yang bertentangan dengan apa
yang dikehendaki Tuhan dari aku ketika aku menyampaikannya kepada pembimbing
rohaniku. Kadang-kadang bahwa terjadi Yesus menyuruh beberapa hal kepadaku,
yang tidak diketahui oleh seorang pun, dan kemudian ketika aku berlutut di
kamar pengakuan, bapak pengakuanku menyuruh aku melakukan hal yang sama -
tetapi, ini sangat jarang.
Bisa jadi, selama masa yang panjang, jiwa menerima banyak
terang dan banyak ilham, dan kemudian para bapak pengakuan membenarkan
ketenangannya dan sumber asalnya; kalau cinta jiwa itu besar, Yesus akan
memberitahukan kepadanya kapan saatnya melaksanakan apa yang telah ia terima.
Jiwa itu menyadari bahwa Allah menuntut pertanggungjawaban atas hal itu, dan
pengetahuan ini memperkuat jiwa itu. Ia tahu bahwa menjadi setia berarti harus
sering menghadapi aneka kesulitan. Tetapi, jiwa itu percaya akan Allah dan
berkat kepercayaan ini, ia mencapai tahap ke mana Allah memanggilnya.
Kesulitan-kesulitan tidak membuatnya gentar; baginya, semua itu merupakan
makanan sehari-hari, seperti sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu tidak
menakutkan dan menggentarkan jiwanya, ssama seperti seorang pahlawan yang gigih
bertempur tidak digentarkan oleh letusan meriam. Ia sama sekali tidak gentar,
namun mendengarkan dari arah mana musuh melancarkan serangan, untuk dapat
mengalahkannya. Ia tidak melakukan suatu pun secara membabi buta, tetapi
meneliti dan menimbang segala sesuatu secara mendalam. Ia tidak mengandalkan
dirinya sendiri, tetapi berdoa dengan khusyuk dan memohon nasihat dari
pejuang-pejuang yang lain yang berpengalaman dan bijaksana. Apabila jiwa
bertindak seperti ini, hampir pasti ia selalu menang.
Ada serangan-serangan ketika suatu jiwa tidak memiliki waktu
untuk berpikir atau mencari nasihat atau apa saja; maka ia harus masuk ke dalam
suatu pertempuran hidup-mati. Kadang-kadang baik untuk lari berlindung dalam
luka Hati Yesus, tanpa menjawab sepatah kata pun. Dengan tindakan ini, musuh
sudah dikalahkan.
Jika dalam masa damai, jiwa terus berusaha, sama seperti
dalam masa perang. Ia harus melatih diri, dan melakukan dengan segenap daya;
kalau tidak, ia tidak memiliki kesempatan untuk memetik kemenangan. Aku
memandang masa damai sebagai suatu masa persiapan untuk meraih kemenangan. Jiwa
harus selalu waspada; waspada, dan sekali lagi, waspada. Jiwa yang banyak
merenung menerima banyak terang. Jiwa yang kacau menanggung risiko jatuh, dan
janganlah heran kalau ia sungguh jatuh. O Roh Allah, Pembimbing jiwa,
bijaksanalah orang yang telah Kaulatih! Tetapi, agar Roh Allah dapat bekerja di
dalam jiwa, diperlukan damai dan ketenangan di dalam jiwa itu.
(146) Doa - Dengan doa, jiwa mempersenjatai diri untuk
menghadapi segalam macam pertempuran. Dalam keadaan apa pun jiwa berada, ia harus
berdoa. Jiwa yang murni dan elok harus berdoa; kalau tidak, ia akan kehilangan
keelokkannya; jiwa yang gigih mengupayakan kemurnian harus berdoa; kalau tidak,
ia tidak pernah akan mencapainya; jiwa yang baru bertobat harus berdoa; kalau
tidak, ia akan jatuh lagi ke dalam dosa; jiwa yang berdosa, yang tenggelam
dalam dosa, harus berdoa supaya dapat bangkit lagi. Tidak ada jiwa yang tidak
harus berdoa karena melalui doa setiap rahmat turun kepada jiwa.
(147) Aku ingat bahwa aku telah menerima terang yang paling
cemerlang dalam adorasi yang kulakukan sambil meniarap di depan Sakramen
Mahakudus selama setengah jam setiap hari selama masa Prapaskah. Selama waktu
itu, aku dapat melihat diriku sendiri dan mengenal Allah dengan lebih mendalam.
Memang, aku telah mendapat izin para superior untuk melakukan adorasi seperti
itu; meskipun demikian; aku menghadapi banyak rintangan untuk berdoa dengan
cara itu. Biarlah jiwa menjadi sadar bahwa untuk berdoa dan bertahan dalam doa,
orang harus mempersenjatai diri dengan kesabaran dan berani menghadapi
kesulitan-kesulitan lahiriah dan batiniah. Kesulitan-kesulitan batiniah adalah
rasa kecil hati, kegersangan, kemalasan roh, dan godaan-godaan.
Kesulitan-kesulitan lahiriah adalah penilaian insani dan waktu; orang harus
mematuhi waktu yang ditetapkan untuk berdoa. Ini merupakan pengalamanku sendiri
sebab ketika aku tidak berdoa pada waktu yang ditentukan untuk berdoa, kemudian
aku tidak juga melakukannya karena tugas-tugasku menghalangi aku; atau kalau
aku berusaha untuk berbuat demikian, aku hanya dapat melakukannya dengan
kesulitan yang besar sebab aku terus memikirkan tugas-tugasku. Aku juga
mengalami kesulitan ini: ketika jiwa sudah berdoa dengan baik dan hasilnya
ialah suasana renungan batin yang khusyuk, orang-orang lain mengganggu dia
dalam keheningan itu; maka, jiwa harus bersabar untuk tetap bertahan dalam doa.
Sering kali terjadi bahwa ketika jiwaku terbenam lebih dalam di dalam Allah,
aku memetik buah yang lebih banyak dari doa, kehadiran Allah menyertaiku
sepanjang hari, dan dalam bekerja aku memberikan perhatian, ketelitian, serta
usaha yang lebih besar pada tugasku; justru pada saat seperti inilah biasanya
aku menerima teguran yang paling banyak karena lalai dalam tugasku dan tidak
peduli akan suatu pun; sebab jiwa-jiwa yang kurang konsentrasi ingin agar
orang-orang lain menjadi seperti mereka karena mereka terus-menerus menjadi
alasan mereka merasa dicela.
(148) Jiwa yang luhur dan lembut, juga yang paling sederhana,
tetapi memiliki kepekaan yang tajam, melihat Allah dalam segala sesuatu,
menemukan Dia di mana-mana, dan mengetahui bagaimana menemukan Dia bahkan di
dalam hal-hal yang paling tersembunyi. Ia menyadari bahwa semua bermakna; ia
sangat menghargai semua hal; dan ia bersyukur kepada Allah karena semua hal; dari
segala sesuatu, ia menarik manfaat bagi jiwa, dan ia memberikan segala
kemuliaan kepada Allah. Ia menaruh kepercayaannya kepada Allah dan tidak
gelisah ketika penderitaan tiba. Ia tahu bahwa Allah selalulah Bapa yang
terbaik, dan ia tidak peduli banyak tentang apa yang dipikirkan orang. Ia
mengikuti dengan setia setiap embusan Roh Kudus yang paling lembut sekalipun;
ia bersukacita atas Tamu Rohani ini dan menggelayut pada-Nya seperti seorang
anak pada ibunya. Di mana jiwa-jiwa lain sama sekali berhenti dan ketakutan,
jiwa ini melintas tanpa takut atau kesulitan.
(149) Apabila Allah sendiri menghendaki dekat dangan suatu
jiwa dan ingin menuntunnya, Ia akan menghilangkan segala sesuatu yang bersifat
lahiriah. Ketika aku merasa sakit dan di bawa ke kamar orang sakit, aku sangat
menderita ketidknyamanan karena hal berikut ini. Waktu itu, aku dan seorang
suster lain dirawat di kamar itu. Para suster datang untuk menjenguk Suster N,
tetapi tidak seorang pun menjenguk aku. Memang benar, di sana hanya ada satu ruang
untuk orang sakit, tetapi setiap orang mempunyai satu kamar. Malam-malam musim
dingin begitu panjang, dan Suster N mempunyai lampu serta radio, sedangkan aku
bahkan tidak dapat menyiapkan meditasiku karena tidak ada lampu.
Hampir dua tahun keadaan ini berlangsung. Pada suatu petang,
aku mengeluh kepada Tuhan bahwa aku sangat menderita dan bahwa aku bahkan tidak
dapat menyiapkan meditasiku karena tidak ada lampu. Maka, Tuhan berkata bahwa
Ia akan datang setiap petang dan memberiku pokok-pokok untuk renungan hari
berikutnya. Pokok-pokok renungan itu selalu berkaitan dengan Sengsara-Nya yang
pedih. Ia berkata kepadaku, “Renungkanlah penderitaan-penderitaan-Ku di
hadapan Pilatus!” Dengan demikian, hari demi hari, aku merenungkan
Sengsara-Nya yang memilukan selama satu pekan. Sejak saat itu, suatu sukacita
yang besar memenuhi jiwaku, dan aku tidak lagi menginginkan entah pengunjung
entah lampu; Yesus mencukupi aku dengan segala sesuatu. Para superior memang
sangat peduli akan orang sakit, tetapi Tuhan mengatur agar aku merasa
ditinggalkan. Guru yang paling baik ini akan menjauhkan setiap barang ciptaan
suapaya Ia sendiri dapat bertindak. Banyak kali, aku telah mengalami
penderitaan-penderitaan dan penganiayaan-penganiayaan semacam itu sehingga
Muder M sendiri berkata kepadaku, “Suster,
di sepanjang jalanmu, penderitaan-penderitaan bermunculan dari tanah. Aku
menyaksikan Suster seperti seorang yang tersalib. Tetapi, aku dapat melihat
bahwa Yesus campur tangan dalam hal ini. Setialah kepada Tuhan!”
(150) Aku ingin menuliskan suatu mimpi yang kualami mengenai
Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Waktu itu, aku masih seorang novis dan
mengalami sejumlah kesulitan, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ada
kesulitan-kesulitan batiniah yang berkaitan dengan kesulitan-kesulitan
batiniah. Aku berdoa novena kepada beberapa orang kudus, tetapi semakin hari
semakin sulit. Penderitaan-penderitaan yang ditimbulkannya padaku sedemikian
berat sehingga aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupku. Tiba-tiba muncul
gagasan dalam diriku untuk berdoa kepada Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus.
Aku memulai novena kepada santa ini sebab sebelum masuk biara aku sudah
memiliki devosi yang besar kepadanya. Akhir-akhir ini aku sedikit mengabaikan
devosi ini, tetapi karena terdesak kebutuhan, aku mulai lagi berdoa dengan
semangat yang lebih besar.
Pada hari kelima novena itu, aku bermimpi tentang Santa
Theresia, tetapi seolah-olah ia masih hidup di bumi. Ia menyembunyikan dari aku
kenyataan bahwa ia seorang kudus dan mulai menghibur aku sambil berkata bahwa
aku tidak boleh cemas mengenai masalahku itu, tetapi hendaknya lebih percaya
kepada Allah. Ia berkata, “Aku pun sangat
menderita.” Tetapi aku tidak begitu percaya bahwa dia banyak menderita dan
aku berkata, “Aku merasa bahwa engkau
sudah tidak menderita sama sekali.” Tetapi, Santa Theresia menjawab aku
dengan cara yang sangat menyakinkan bahwa ia sungguh telah menderita sangat
banyak dan berkata kepadaku,”Suster,
ketahuilah bahwa pada hari ketiga Suster akan berhasil memecahkan masalah itu
dengan gemilang!” Ketika aku masih enggan untuk mempercayainya, ia
menyatakan kepadaku bahwa ia adalah seorang kudus. Pada saat itu juga, sukacita
yang besar memenuhi jiwaku, dan aku berkata kepadanya, “Engkau seorang kudus?” “Ya,” jawabnya, “aku seorang kudus. Percayalah bahwa masalah ini akan terpecahkan dalam
tiga hari.” Dan aku berkata, “Theresia
yang tercinta, katakan kepadaku, apakah aku akan pergi ke surga?” Dan ia
menjawab, “Ya, engkau akan pergi ke
surga, Suster.” “Dan apakah aku akan menjadi seorang santa?” Atas
pertanyaan ini ia menjawab, “Ya, engkau
akan menjadi seorang santa.” “Tetapi, o Theresia yang kecil, apakah aku menjadi
seorang santa seperti engkau, yang diangkat ke altar?” Dan ia menjawab, “Ya, engkau akan menjadi seorang santa sama
seperti saya, tetapi engkau harus mengandalkan Tuhan Yesus.” Kemudian, aku
bertanya kepadanya apakah ibu dan ayahku akan di surga, akan ... [kalimat tidak
dilanjutkan]. Dan, ia menjawab bahwa mereka akan masuk surga. Aku bertanya
lagi, “Dan apakah saudara dan saudariku
akan masuk surga?” Ia menyuruh aku berdoa keras bagi mereka, tetapi ia
tidak memberikan jawaban yang pasti kepadaku. Aku mengerti bahwa mereka
membutuhkan banyak doa.
Ini adalah suatu mimpi. Dan seperti dikatakan pepatah, mimpi
adalah khayalan; Allah adalah iman. Tetapi, pada hari ketiga kesulitanku
terpecahkan dengan sangat mudah, sama seperti yang sudah ia katakan. Dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan masalah ini terjadi persis seperti yang ia
katakan. Itu adalah suatu mimpi, tetapi mimpi itu bermakna.
(151) Pernah ketika aku berada di dapur bersama Suster N, ia
sedikit marah kepadaku. Sebagai hukuman aku disuruhnya duduk di meja sementara
ia sendiri terus bekerja keras, membersihkan dan menyikat. Sementara aku masih
duduk di sana, para suster datang dan sangat heran mendapatiku duduk di meja,
dan setiap orang berkomentar sekehendaknya. Yang seorang berkata bahwa aku
adalah seorang pemalas dan yang lain, “Sungguh
aneh!” Waktu itu, aku adalah seorang postulan. Suster-suster lain berkata,
“Akan menjadi Suster macam apa dia?” Tetapi, aku tidak dapat turun sebab suster
telah memerintahkan aku untuk duduk di sana demi ketaatan sampai ia menyuruh
aku turun. Sungguh Allah sendiri tahu betapa banyak tindak penyangkalan diri
telah terjadi. Aku merasa sudah mati karena malu. Allah sering membiarkan
hal-hal seperti itu demi pembinaan batinku, tetapi Ia mengimbangi perendahanku
ini dengan penghiburan yang besar. Dalam kebaktian kepada Sakramen Mahakudus,
aku melihat Dia sangat elok. Yesus memandangku dengan mesra dan berkata, “Putri-Ku,
jangan takut akan penderitaan; Aku menyertaimu.”
(152) Pernah, aku mendapat tugas jaga malam, dan hatiku
sangat menderita sehubungan dengan pelukisan gambar itu, dan aku belum tahu
jalan yang harus kutempuh sebab mereka terus menerus berusaha meyakinkan aku
bahwa semua itu adalah khayalan. Di lain pihak, seorang imam berkata bahwa
barangkali Allah menghendaki disembah lewat gambar ini dan karena itu aku harus
berusaha agar gambar itu dapat dilukis. Sementara itu, jiwaku mengalami
keletihan yang luar biasa. Ketika aku memasuki kapel kecil, aku mendekatkan
kepalaku ke tabernakel, mengetuknya sambil berkata, “Yesus, pandanglah kesulitan-kesulitan besar yang kuhadapi sehubungan
dengan pelukisan gambar itu.” Dan aku mendengar suara dari tabernakel, “Putri-Ku,
penderitaanmu tidak akan berlangsung lebih lama lagi.”
(153) Pada suatu hari, aku melihat dua jalan. Yang satu
lebar, dilapisi dengan pasir dan bertaburan bunga-bunga, penuh dengan sukacita,
musik dan segala macam kenikmatan. Orang menapaki jalan itu sambil menari dan
bersenang-senang. Mereka sampai pada ujung jalan itu, ada suatu jurang yang
mengerikan; itulah jurang neraka. Jiwa-jiwa itu berjatuhan ke dalamnya; begitu
mereka melangkah, langsung mereka jatuh. Dan jumlah mereka sedemikian besar
sehingga tidak mungkin untuk menghitungnya. Dan aku melihat jalan lain, atau
lebih tepat, suatu lorong sebab jalan itu sempit dan berhamparan duri serta
batu-batu; dan orang yang menapak di jalan ini mencucurkan air mata, dan segala
macam penderitaan menimpa mereka. Sejumlah dari mereka jatuh di atas batu-batu
itu, tetapi langsung bangkit lagi dan melanjutkan perjalanan. Pada ujung jalan
itu, ada sebuah taman yang sangat indah, penuh dengan segala macam kebahagiaan,
dan semua jiwa itu masuk ke dalamnya. Seketika itu juga mereka lupa akan segala
penderitaan mereka.
(154) Pernah ketika dilaksanakan adorasi di biara
Suster-suster Keluarga Kudus, aku pergi ke sana pada petang hari bersama salah
seorang suster kami. Begitu aku masuk kapel, kehadiran Allah memenuhi jiwaku.
Aku berdoa seperti yang kulakukan pada waktu-waktu lain, tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Tiba-tiba, aku melihat Tuhan, yang berkata kepadaku, “Ketahuilah
bahwa kalau engkau mengabaikan masalah pelukisan gambar itu dan seluruh karya
kerahiman, engkau harus mempertanggungjawabkan keselamatan sejumlah besar jiwa
pada hari penghakiman.” Sesudah kata-kata Tuhan ini, suatu ketakutan
memenuhi jiwaku, dan peringatan itu terus mengiang di telingaku. Meskipun
berusaha sekuat tenaga, aku tidak dapat menenangkan diriku. Kata-kata itu terus
mengiang di telingaku: Jadi pada hari menghakiman, aku tidak hanya harus
mempertanggungjawabkan diriku sendiri tetapi juga jiwa-jiwa orang lain.
Kata-kata ini menusuk tajam dalam hatiku. Sesuah pulang, aku pergi kepada Yesus
kecil, menelungkupkan wajahku di depan Sakramen Mahakudus dan berkata kepada
Tuhan, “Aku akan melakukan segala sesuatu
sesuai dengan kemampuanku, tetapi aku mohon kepadamu untuk selalu menyertahiku
dan memberiku kekuatan untuk melaksanakan kehendak-Mu yang kudus; karena Engkau
dapat melakukan segala sesuatu, sedangkan aku tidak dapat melakukan suatu pun
dari diriku sendiri.”
(155) Sejak waktu tertentu, aku mengalami bahwa tiba-tiba aku
merasakan dalam jiwaku ada seseorang yang berdoa bagiku. Aku segera
merasakannya di dalam jiwaku. Demikian pula aku merasakan dalam jiwaku ketika
suatu jiwa minta kudoakan meskipun mereka tidak berbicara kepadaku tentang hal
itu. Perasaan itu seperti suatu kegelisahan, seolah-olah seseorang sedang
memanggilku; dan ketika aku berdoa, aku beroleh ketenteraman.
(156) Pernah aku ingin sekali menyambut komuni kudus, tetapi
aku agak ragu-ragu, dan aku tidak pergi. Aku sangat menderita karena hal ini.
Aku merasa bahwa hatiku terbakar karena rasa sakit. Ketika aku siap-siap
mengerjakan tugasku, hatiku penuh dengan kepahitan. Tiba-tiba, Yesus berdiri di
sampingku dan berkata, “Putri-Ku, jangan sampai engkau tidak
menyambut komuni kudus kecuali kalau engkau tahu bahwa dosamu memang berat;
lepas dari ini, jangan sampai keragu-raguan apa pun menghalangimu untuk
menyatukan dirimu dengan-Ku dalam misteri cinta-Ku. Kesalahan-kesalahanmu yang
ringan akan terhapus dalam cinta-Ku seperti sebatang jerami dilemparkan ke
dalam perapian yang berkobar-kobar. Ketahuilah bahwa engkau sangat mendukakan
Hati-Ku kalau engkau tidak menyambut Aku dalam komuni kudus.”
(157) Pada suatu petang ketika aku masuk ke kapel kecil, aku
mendengar suara-suara ini dalam jiwaku, “Putri-Ku, renungkanlah kata-kata ini:
Ketika menghadapi sakratulmaut, semakin sungguh-sungguh Ia berdoa!”
Ketika aku mulai merenungkan kata-kata itu lebih mendalam, cahaya benderang
memancar ke dalam jiwaku. Aku tahu betapa kita sangat membutuhkan ketekunan
dalam berdoa, dan aku pun tahu bahwa keselamatan kita sering tergantung pada
doa semacam ini.
(158) Pernah aku berada di Kiekrz guna menggantikan salah
seorang suster untuk waktu yang singkat. Ketika itu, selepas tengah hari aku
melintasi kebun dan berhenti di pinggir danau; aku berdiri di sana untuk waktu
yang lama, sambil memandangi alam sekitarku. Tiba-tiba, aku melihat Tuhan Yesus
berada di dekatku, dan dengan ramah Ia berkata kepadaku, “Semuanya ini Kuciptakan
bagimu, Mempelai-Ku; dan ketahuilah bahwa segala keindahan ini sama sekali
tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah Kusiapkan bagimu di alam
abadi.” Jiwaku pun diluapi dengan penghiburan sedemikian rupa sehingga
aku tinggal di sana sampai petang, dan waktu itu rasanya terlalu singkat
bagiku. Itulah hari luangku, yang kukhususkan untuk retret satu hari sehingga
aku sangat bebas untuk membaktikan diriku untuk berdoa. Oh, betapa Allah yang
mahabaik itu melimpahi kita dengan kebaikan-Nya! Sangatlah sering terjadi bahwa
Tuhan memberikan kepadaku rahmat-rahmat terbesar ketika aku sama sekali tidak mengharapkannya.
(159) O Hosti Kudus, yang tersembunyi bagiku dalam piala
emas, supaya di tengah luasnya padang pembuangan aku boleh melintas - murni,
tak ternoda, tak bercela; oh, berilah agar berkat kekuatan cinta-Mu , hal ini
dapat menjadi kenyataan.
O Hosti Kudus, tinggallah di dalam jiwaku, o Engkau, kasih
hatiku yang paling murni! Hendaknya kecemerlangan-Mu menlenyapkan kegelapan.
Janganlah menahan rahmat-Mu bagi hati yang rendah ini.
O Hosti Kudus, pesona seluruh surga, meski keindahan-Mu
terselubung dan Engkau menampakkan diri-Mu dalam remah-remah roti, iman yang
kuat menyingkapkan selubung itu.
(160) Hari perang salib yang diperingati pada tanggal lima
setiap bulan, kebetulan jatuh pada Jumat pertama dalam bulan. Inilah hariku
untuk tetap berjaga di hadapan Tuhan Yesus. Adalah tugasku untuk
mempersembahkan doa penyilihan kepada Tuhan untuk semua pelanggaran dan
tindakan tidak hormat dan untuk berdoa agar, pada hari ini, tidak ada dosa
sakrilegi yang dilakukan. Pada hari ini, hatiku bernyala-nyala karena cinta
yang istimewa untuk Ekaristi. Aku merasa seolah-olah diriku diubah menjadi api
yang berkobar-kobar. Ketika aku siap menyambut komuni kudus, ada Hosti lain
yang jatuh ke lengan baju si imam, dan aku tidak tahu Hosti yang mana yang
harus kusambut. Sesudah aku ragu-ragu sejenak, imam membuat tata gerak yang
tidak sabar dengan tangannya untuk menyuruhku menyambut Hosti itu. Ketika aku
mengambil Hosti yang ia berikan kepadaku, Hosti yang lain lagi jatuh ke
tanganku. Imam pergi ke bangku komuni untuk membagikan komuni, dan selama waktu
itu aku terus memegang Tuhan Yesus dalam tanganku. Ketika imam menghampiri aku
lagi, ia mengambil Hosti itu untuk dikembalikan ke dalam sibori sebab ketika
tadi aku menerima Yesus aku tidak dapat berbicara sebelum menyantap Hosti itu,
dan karena itu tidak dapat memberitahukan kepadanya bahwa ada Hosti lain yang
telah jatuh. Tetapi, sementara aku memagang Hosti itu di tanganku, aku
merasakan kekuatan cinta yang sedemikian besar sampai-sampai sepanjang hari itu
aku tidak dapat makan dan tidak dapat menjadi sadar kembali. Aku mendengar
suara ini dari Hosti itu, “Aku ingin beristirahat di dalam tanganmu,
bukan hanya di dalam hatimu.” Dan pada saat itu juga aku melihat
Kanak-kanak Yesus. Tetapi, ketika imam mendekat, sekali lagi yang kulihat
Hosti.
(161) O Maria, Perawan yang tak bernoda, Kristal murni bagi
hatiku, engkaulah kekuatanku, O sauh yang kokoh! Engkaulah perisai dan
perlindungan bagi hati yang lemah. O Maria, engkau murni! Kemurnianmu tiada
taranya; engkau sekaligus Perawan dan Bunda, engkau indah laksana surya, tanpa
cacat, dan jiwamu tiada bandingnya.
Keindahanmu memesona mata Tritunggal yang Esa sehingga Ia
turun dari surga, meninggalkan takhta kekal-Nya, dan mengambil Tubuh serta
Darah dari hatimu dan selama sembilan bulan tersembunyi dalam hati seorang
Perawan.
O Bunda, Perawan, tak seorang pun memahami bahwa Allah yang
tak terhingga telah menjadi manusia. Hanya karena kasih dan kerahiman-Nya yang
tak terselami, Melalui Engkau, Bunda, kami diberi rahmat hidup bersama dia
untuk selamanya
O Maria, Perawan-Bunda dan Pintu Gerbang surgawi, melalui
Engkau datang keselamatan kepada kami. Segala rahmat memancar bagi kami melalui
tanganmu. Hanya dengan setia meneladani engkau, aku akan dikuduskan.
O Bunda, o Perawan, yang terindah di antara semua bakung,
hatimu adalah kediaman pertama Yesus di bumi. Hanya karena tidak ada kerendahan
hati yang melebihi kerendahan hatimu, engkau ditinggikan melebihi paduan suara
para malaikat dan semua orang kudus.
O Maria, Bundaku yang manis, aku memberikan kepadamu jiwaku,
tubuhku, dan hatiku yang papa. Jadilah penjaga hidupku, khususnya pada saat
kematian, dalam perjuangan akhir.
(162) 1 Januari 1937
Yesus, Engkau Andalanku.
Kartu pemeriksaan batin. Pemeriksaan batin khusus - untuk
semakin bersatu dengan Kristus yang rahim. Pelaksanaan: keheningan batin, ketat
menjaga silentium.
Suara Hati
Januari: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
41, gagal 4. Doa seruan: Tetapi Yesus tetap diam.
Februari: Allah dan jiwa; hening, Berhasil
36, gagal 3. Doa seruan: Yesus, Engkau Andalanku.
Maret: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
51, gagal 2. Doa seruan: Yesus, nyalakanlah hatiku dengan cinta.
April: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
61, gagal 4. Doa seruan: Bersama Allah, aku dapat mengerjakan segala sesuatu.
Mei: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
92, gagal 3. Doa seruan: Dalam nama-Nya aku kuat.
Juni: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
64, gagal 1. Doa seruan: Segala sesuatu bagi Yesus.
Juli: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
62, gagal 8. Doa seruan: Yesus, beristirahatlah di hatiku.
Agustus: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
88, gagal 7. Doa seruan: Yesus, Engkau tahu...
September: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
99, gagal 1. Doa seruan: Yesus, sembunyikanlah aku di dalam Hati-Mu.
Oktober: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
41, gagal 3. Doa seruan: Maria, satukanlah aku dengan Yesus.
November: Allah dan jiwa; hening. Barhasil...
gagal ... Doa seruan: O Yesusku, kasihanilah aku!
Desember: Allah dan jiwa; hening. Berhasil
... gagal ... Doa seruan: Salam, Hosti yang hidup!
(163) 1937 - Latihan Umum:
O Tritunggal yang mahakudus, seperti seringnya aku bernapas,
seperti seringnya jantungku berdenyut, dan seperti seringnya darahku mengalir
ke seluruh tubuhku, demikianlah seringnya aku ingin memuliakan kerahiman-Mu.
Aku ingin diriku sepenuhnya diubah menjadi kerahiman-Mu dan
menjadi pantulan-Mu yang hidup. O Tuhan, semoga lewat hati dan jiwaku sifat-Mu
yang paling utama, yakni kerahiman-Mu yang tak terselami, sampai kepada
sesamaku.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya mataku penuh dengan belas
kasihan sehingga aku tidak pernah mencurigai atau menilai orang atas dasar
penampilan lahiriah, tetapi melihat apa yang indah dalam jiwa sesama dan siap
menolong mereka.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya telingaku penuh dengan belas
kasihan sehingga aku dapat memberi perhatian kepada kebutuhan sesamaku dan
tidak bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan dan keluh kesah mereka.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya lidahku penuh dengan belas
kasihan sehingga aku tidak pernah berbicara jelek terhadap sesamaku, tetapi
mengucapkan kata-kata penghiburan dan pengampunan untuk semua orang.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya tanganku penuh dengan belas
kasihan dan penuh dengan perbuatan baik sehingga aku berbuat baik kepada
sesamaku dan menanggung sendiri tugas-tugas yang sulit serta berat.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya kakiku penuh dengan belas
kasihan sehingga aku dapat bergegas menolong sesamaku, dengan mengalahkan
kelelahan dan keletihanku sendiri. Istirahatku yang sesungguhnya adalah
melayani sesamaku.
Tolonglah aku, ya Tuhan, supaya hatiku penuh dengan belas
kasihan sehingga aku sendiri dapat merasakan semua penderitaan sesamaku. Aku
memberikan hatiku kepada semua orang. Aku akan bersikap tulus uga kepada mereka
yang, aku tahu, akan menyalahgunakan kebaikkanku. Aku mau mengurung diriku
dalam Hati Yesus yang maharahim. Aku akan menanggung penderitaanku sendiri
dengan berdiam diri. Semoga kerahiman-Mu, o Tuhan, bersemayam di dalam hatiku.
Engkau sendiri memerintahkan supaya aku mau melatih diri
dalam tiga tingkat kerahiman. Yang pertama: karya belas kasihan - yakni
melakukan apa saja yang mengungkapkan belas kasihan. Yang kedua: tutur belas
kasihan - kalau tidak dapat melakukan satu karya belas kasihan, aku akan
melakukannya dengan kata-kataku. Dan yang ketiga: doa belas kasihan - kalau aku
tidak dapat menunjukkan belas kasihan lewat perbuatan dan ucapan, aku selalu
dapat mengungkapkan belas kasihan itu dengan doa. Sebab doaku dapat mencapai
tempat-tempat yang secara fisik tak dapat dicapai.
O Yesus, ubahlah diriku menjadi diri-Mu sendiri sebab tidak
ada hal yang mustahil bagi-Mu.
[empat halaman kosong]
(164) Warsawa 1933
Probasi Sebelum Kaul Kekal:
Ketika aku tahu bahwa aku harus
pergi untuk menjalani masa probasi, hatiku berdetak dengan sukacita karena
membayangkan rahmat yang sedemikian besar, yakni kaul-kaul kekal. Aku pergi ke
hadapan Sakramen Mahakudus; dan ketika aku tenggelam dalam doa syukur, aku
mendengar suara ini dalam jiwaku, “Anak-Ku, engkau adalah kesukaan-Ku, engkau
adalah penghibur Hati-Ku. Aku memberikan kepadamu rahmat sebanyak yang dapat
engkau rengkuh. Kalau engkau ingin membuat-Ku bahagia, sering berbicaralah
kepada dunia mengenai kerahiman-Ku yang besar dan tak terselami.”
(165) Beberapa pekan sebelum aku diberi
tahu mengenai probasi itu, aku masuk ke kapel sejenak dan Yesus berkata
kepadaku, “Pada saat ini juga para superior sedang memutuskan para suster yang
akan mengikrarkan kaul kekal. Tidak semua akan mendapat rahmat ini, tetapi ini
karena kesalahan mereka sendiri. Orang yang tidak mau mempergunakan
rahmat-rahmat yang kecil tidak akan diberi rahmat yang besar. Tetapi, kepadamu,
Anak-Ku, rahmat itu diberikan.” Jiwaku dipenuhi dengan rasa kagum yang
penuh sukacita sebab beberapa hari sebelumnya salah seorang dari para suster
telah berkata kepadaku, “Suster, kamu
tidak akan pergi ke probasi yang ketiga. Aku sendiri akan berusaha supaya kamu
tidak diizinkan untuk mengikrarkan kaulmu.” Aku tidak mengatakan apa-apa
kepada suster itu; aku merasa sangat pedih, tetapi aku berusaha menyembunyikan
perasaan itu sekuat tenagaku.
O Yesus, sungguh aneh
jalan-jalan-Mu! Sekarang, aku tahu bahwa tidak banyak hal yang bisa dilakukan
orang dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sebab ternyata aku dapat
menjalani masa probasiku seperti telah diberitahukan Yesus kepadaku.
(166) Dalam doa, aku selalu
mendapatkan terang dan kekuatan roh meskipun ada saat-saat yang sedemikian
melelahkan dan menyakitkan, sampai kadang-kadang sulit untuk mengerti bahwa
hal-hal seperti itu dapat terjadi di suatu biara. Anehnya, kadang-kadang Allah
membiarkan semua itu terjadi; tetapi selalu untuk menyatakan atau mengembangkan keutamaan di dalam suatu
jiwa. Itulah sebabnya ada pencobaan-pencobaan.
(167) Hari ini [November 1932], aku
tiba di Warsawa untuk menjalani probasi ketiga. Sesudah pertemuan ramah-tamah
bersama para Muder, aku pergi ke kapel kecil untuk beberapa saat. Tiba-tiba
kehadiran Allah memenuhi jiwaku, dan aku mendengar kata ini, “Putri-Ku,
Aku ingin agar hatimu dibentuk mengikuti model Hati-Ku yang rahim. Engkau harus
sepenuhnya dipenuhi dengan kerahiman-Ku.”
Muder Pembimbing yang tercinta
tiba-tiba menanyai aku apakah aku sudah menjalani suatu retret pada tahun itu,
dan aku berkata belum. “Kalau begitu, engkau harus menjalani lebih dulu suatu
retret sekurang-kurannya selama tiga hari.”
Syukur kepada Allah, di Walendow
sedang dilaksanakan suatu retret delapan hari, dan aku dapat ambil bagian di
dalamnya. Tetapi, kesulitan-kesulitan muncul dalam kaitan dengan kepergianku ke
retret itu. Ada orang yang sangat menentang kepergianku, dan [tampaknya] aku
tidak dapat pergi. Sesudah makan siang, aku masuk ke kapel untuk adorasi selama
lima menit. Tiba-tiba aku melihat Tuhan Yesus, yang berkata kepadaku, “Putri-Ku,
Aku sedang mempersiapkan banyak rahmat bagimu, yang engkau akan terima selama
retret yang akan engkau mulai besok pagi.” Aku menjawab, “Yesus, retret itu sudah dimulai, dan aku
konon tidak akan pergi.” Dan Yesus berkata kepadaku, “Bersiaplah untuk retret itu
sebab engkau akan memulai retret itu besok. Dan mengenai keberangkatanmu, Aku
akan mengaturnya dengan para superior!” Dalam sekejap Yesus menghilang.
Aku mulai bertanya-tanya bagaimana
mungkin hal ini terjadi. Tetapi, dalam sekejap aku dapat menyingkirkan semua
pikiran itu dan memanfaatkan waktu yang kupunyai untuk berdoa, memohon agar Roh
Kudus memberikan terang untuk dapat melihat seluruh kepapaan yang ada padaku.
Sesaat kemudian, aku meninggalkan kapel kecil untuk melaksanakan tugas-tugasku.
Sekonyong-konyong Muder Jederal memanggil aku dan berkata, “Suster, hari ini engkau akan pergi ke Walendow bersama Muder Waleria
sehingga engkau dapat memulai retret itu besok. Untunglah, Muder Waleria
kebetulan ada di sini dan engkau dapat pergi bersamanya.” Dalam waktu
kurang dari dua jam, aku sudah berada di Walendow. Aku merenung sejenak dalam
hatiku dan menyadari bahwa hanya Yesus yang dapat mengatur hal-hal seperti itu.
(168) Ketika orang yang dengan
begitu keras menentang keikutsertaanku dalam retret itu melihat aku pergi, ia
menunjukkan rasa heran dan kecewanya. Tanpa memperhatikan hal itu, dengan ramah
aku memberi salam kepadanya dan pergi mengunjungi Tuhan, untuk minta petunjuk
bagaimana aku harus bertingkah laku selama retret.
(169) Inilah percakapanku dengan
Tuhan Yesus sebelum retret. Yesus memberi tahu aku bahwa retret ini akan
sedikit berbeda dengan retret-retret lain.
“Engkau harus bersikap sangat
tenang dalam persekutuanmu dengan Aku. Aku akan menghapus segala keragu-raguan
yang ada dalam kaitan dengan hal ini. Aku tahu bahwa engkau sekarang merasa
damai karena Aku sedang berkata-kata kepadamu, tetapi pada saat Aku berhenti
berbicara, engkau akan mulai menghadapi keragi-raguan. Tetapi Aku ingin engkau
tahu bahwa Aku akan menguatkan jiwamu sedemikian rupa sehingga bahkan kalau engkau
mau membuat dirimu cemas, engkau tidak akan mampu melakukannya. Dan sebagai
bukti bahwa Akulah yang sedang berbicara denganmu, pada hari kedua retret ini
engkau akan pergi mengaku dosa kepada imam yang sedang memimpin retret ini;
engkau harus pergi kepadanya begitu ia menyelesaikan konferensinya dan paparkanlah
kepadanya segala keragu-raguanmu mengenai Aku. Aku akan menjawab engkau lewat
bibirnya, dan kemudian ketakutanmu akan sirna. Selama retret ini, penuhilah
silentium dengan ketat seolah-olah tidak ada sesuatu di sekitarmu. Engkau hanya
akan berbicara dengan Aku dan dengan bapak pengakuanmu; kepada para superiormu,
engkau hanya akan minta penitensi.” Aku merasakan sukacita yang sangat
mendalam bahwa Tuhan berkenan menunjukkan kepadaku kebaikan yang sedemikian
besar dan mau merendahkan diri-Nya sedemikian rupa kepadaku.
(170) Hari pertama retret. Aku
berusaha menjadi orang pertama yang ada di kapel pada waktu pagi; sebelum
meditasi aku memiliki sedikit waktu untuk berdoa kepada Roh Kudus dan kepada
Bunda Tersuci. Dengan sungguh-sungguh, aku mohon kepada Bunda Allah supaya
memperoleh bagiku rahmat kesetiaan kepada ilham-ilham batin dan melaksanakan
kehendak Allah dengan setia, apa pun bentuknya. Aku memulai retret ini dengan
suatu keberanian yang istimewa.
(171) Berjuang untuk tetap hening.
Seperti biasa, para suster dari berbagai komunitas datang ke retret ini. Salah
seorang suster yang sudah sangat lama tidak kulihat, datang ke kamarku dan
berkata bahwa ia memiliki sesuatu untuk disampaikan kepadaku. Aku tidak
menjawabnya, dan ia melihat bahwa aku tidak mau melanggar silentium. Ia berkata
kepadaku, “Aku baru tahu bahwa Suster
sedemikian aneh,” dan ia pergi. Aku sungguh sadar bahwa ia tidak mempunyai
urusan denganku kecuali sekadar mau memuaskan cinta dirinya yang serba tahu. O
Allah, jagalah aku dalam kesetiaan.
(172) Imam yang memimpin retret
datang dari Amerika. Ia datang ke Polandia hanya waktu yang singkat, dan sangat
kebetulan bahwa ia memimpin retret kami. Suatu kehidupan batin yang mendalam terpancar
dari orang ini. Penampilannya memberikan kesaksian tentang kebesaran jiwanya.
Mati raga dan konsentrasi merupakan ciri khas imam ini. Tetapi kendati
keutamaan-keutamaan yang begitu besar, aku mengalami banyak kesulitan dalam
mengungkapkan jiwaku kepadanya dalam kaitan dengan rahmat yang kuterima; sejauh
menyangkut dosa-dosa, selalu mudah untuk melakukannya, tetapi dalam kaitannya
dengan rahmat, aku harus berusaha mati-matian, dan meskipun demikian akhirnya
aku tidak mengatakan banyak.
(173) Godaan setan di dalam
meditasi. Aku merasakan suatu ketakutan yang aneh bahwa imam itu tidak akan
memahamiku, atau bahwa ia tidak akan punya waktu untuk mendengarkan segala
sesuatu yang akan kukatakan. Bagaimana aku akan mengatakan semua ini kepadanya?
Kalau itu Pastor Bukowski, aku akan dapat melakukannya dengan lebih mudah,
tetapi imam Yusuit ini baru kulihat untuk pertama kali ini. ... Maka, aku ingat
akan nasihat Pastor Bukowski bahwa aku harus sekurang-kurangnya membuat catatan
singkat tentang terang yang diberikan kepadaku oleh Allah selama retret-retret
dan memberikan kepadanya sekurang-kurangnya suatu laporan singkat tentang semua
itu. Ya Allahku, satu setengah hari sudah berlangsung dengan mudah, dan kini
pergulatan hidup dan mati sedang dimulai. Konferensi sudah akan dimulai dalam
setengah jam lagi, dan kemudian aku harus pergi ke pengakuan dosa. Setan
berusaha membujuk aku untuk percaya bahwa kalau para superiorku telah memberi
tahu aku bahwa kehidupan batinku adalah suatu khayalan, mengapa aku harus bertanya
lagi dan menganggu bapak pengakuan? “Tidakkah
Muder X memberitahu engkau bahwa Tuhan Yesus tidak bersatu dengan jiwa-jiwa
yang memprihatinkan seperti jiwamu? Bapak pengakuan ini akan memberi tahu
engkau hal yang sama. Mengapa berbicara kepadanya tentang semua ini? Ini bukan
dosa, dan Muder X mengatakan kepadamu dengan jelas bahwa semua persatuan dengan
Tuhan Yesus adalah mimpi di siang bolong dan histeria melulu. Jadi, mengapa
harus mengatakannya kepada bapak pengakuan ini? Lebih baik engkau membuang semua
ini sebagai khayalan. Perhatikan betapa banyaknya penghinaan yang engkau derita
karena semua itu, dan betapa banyak lagi yang masih menantikanmu, dan semua
suster tahu bahwa engkau adalah seorang histeris.” “Yesus!” aku berseru
dengan segenap kekuatan jiwaku.
Pada saat itu, imam masuk dan
memulai konferensi. Ia berbicara sangat singkat, seolah-olah ia terburu-buru.
Sesudah konferensi, ia pergi ke kamar pengakuan. Melihat bahwa tak seorang
suster pun pergi ke sana, aku bangkit dari tempatku berlutut, dan langsung
pergi ke kamar pengakuan.
(174) Tidak ada waktu untuk
menimbang-nimbang. Sebagai ganti mengatakan kepada imam tentang keragu-raguan
yang telah diciptakan dalam diriku dalam kaitan dengan hubungan-hubunganku
dengan Tuhan Yesus, aku mulai berbicara tentang godaan-godaan yang baru saja
aku lukiskan di atas. Bapak itu langsung memahami situasiku dan berkata,
“Suster, engkau tidak percaya akan Tuhan Yesus sebab ia memperlakukan engkau
dengan begitu baik. Baiklah Suster, tenanglah. Yesus adalah Gurumu, dan
persatuanmu dengan dia bukanlah mimpi di siang bolong, juga bukan sekedar
histeria atau khayalan. Ketahuilah bahwa engkau berada di jalan yang tepat.
Berusahalah untuk setia kepada rahmat-rahmat ini; engkau tidak boleh
menghindarinya. Suster tidak perlu berbicara dengan para superior mengenai
rahmat-rahmat batin ini kecuali kalau Tuhan Yesus dengan jelas menyuruh untuk
berbuat demikian; tetapi dalam hal ini, engkau hendaknya lebih dulu
berkonsultasi dengan bapak pengakuan. Tetapi, kalau Tuhan Yesus menuntut
sesuatu yang lahiriah, dalam hal ini, sesudah berkonsultasi dengan bapak
pengakuan, engkau hendaknya melaksanakan apa yang diminta Yesus darimu, Juga
kalau itu menuntut pengurbanan yang amat besar. Di lain pihak, Suster harus
mengatakan segala sesuatu kepada bapak pengakuanmu. Sungguh, tdak ada jalan
lain bagi Suster. Berdoalah agar engkau dapat menemukan seorang pembimbing
rohani; kalau tidak engkau akan
menyia-nyiakan anugerah besar Aku ulangi sekali lagi; tenangkanlah hatimu;
engkau menempuh jalan yang tepat. Jangan peduli akan sesuatu yang lain, tetapi
setialah selalu kepada Tuhan Yesus, tak peduli apa pun yang akan dikatakan
orang tentang Suster. Justru dengan jiwa yang memprihatinkan seperti ini, Tuhan Yesus bersatu secara
mesra. Dan semakin Suster merendahkan diri, semakin erat Tuhan Yesus akan
menyatukan diri-Nya denganmu.”
(175) Ketika aku meninggalkan kamar
pengakuan, sukacita yang tak terperikan memenuhi jiwaku sehingga aku menyendiri
ke tempat yang terpencil di dalam taman untuk menyembunyikan diriku dari
suster-suster supaya aku dapat membiarkan hatiku menumpahkan perasaannya kepada
Allah. Kehadiran Allah meresapi aku dan, dalam sekejap, segenap kehampaanku
tenggelam di dalam Allah; dan pada saat yang sama aku merasakan, atau lebih tepat
menyaksikan, Ketiga Pribadi Ilahi tinggal di dalam diriku. Dan aku merasakan
damai yang sedemikian teduh di dalam jiwaku sampai aku sendiri merasa heran
bahwa aku dapat memiliki begitu banyak rasa waswas.
(176) Keputusan: Setia kepada
ilham-ilham batin meskipun aku tidak dapat membayangkan seberapa besar
pengurbanan yang harus kutanggung untuk itu. Aku tidak boleh melakukan suatu
pun atas prakarsa sendiri tanpa lebih dulu berkonsultasi dengan bapak
pengakuan.
(177) Pembaruan kaul. Sejak saat
aku bangun tidur pada pagi hari, rohku sepenuhnya tenggelam di dalam Allah, di
dalam Samudra Kasih itu. Aku merasa bahwa aku telah sepenuhnya tenggelam di
dalam Dia. Dalam misa kudus, cintaku akan Dia mencapai puncak intensitasnya.
Sesudah pembaruan kaul dan komuni kudus, tiba-tiba aku melihat Tuhan Yesus,
yang berkata kepadaku dengan amat mesra, “Putri-Ku, pandanglah Hati-Ku yang
maharahim.” Ketika aku menatap Hati Yang Mahakudus, berkas sinar yang
sama, seperti yang terlihat dalam gambar sebagai darah dan air, memancar
darinya, dan aku memahami betapa besarnya kerahiman Tuhan. Dan sekali lagi
Yesus berkata kepadaku dengan mesra, “Putri-Ku, berbicaralah dengan imam mengenai
kerahiman-Ku yang tak terselami. Api kerahiman membakar Aku; Aku ingin terus
mencurahkannya ke atas jiwa-jiwa; tetapi jiwa-jiwa tidak mau percaya kepada
kebaikan-Ku.” Tiba-tiba Yesus menghilang. Tetapi, sepanjang hari itu
rohku tetap tenggelam dalam kehadiran Allah yang nyata, kendati ada kegaduhan
dan obrolan yang biasanya terjadi sesudah retret. Semua itu tidak sedikit pun
mengganggu aku. Rohku berada dalam Allah meskipun secara lahiriah aku ambil
bagian dalam percakapan dan bahkan pergi untuk berkunjung ke Derdy.
(178) Hari ini, kami memulai
probasi yang ketiga. Kami bertiga bertemu di kamar Muder Malgorzata, sedangkan
suster-suster yang lain menjalani probasi mereka di novisiat. Muder Malgorzata
membuka pertemuan dengan suatu doa dan menjelaskan kepada kami rangkaian acara
yang ada dalam probasi ketiga, dan kemudian berbicara mengenai betapa besarnya
rahmat kaul kekal. Tiba-tiba, aku mulai menangis keras. Serta merta segala
rahmat Allah tampak di hadapan mata jiwaku, dan aku melihat diriku sedemikian
malang dan tak tahu terima cinta terhadap Allah. Para suster mulai menegur aku
dengan berkata, “Mengapa ia tiba-tiba begitu menangis? Tetapi, Muder Malgorzata
membela aku dengan berkata bahwa ia tidak heran.
Pada akhir acara, aku pergi ke
hadapan Sakramen Mahakudus dan, seperti orang yang paling malang dan
menyedihkan, aku memohon kerahiman-Nya agar Ia berkenan menyembuhkan dan
memurnikan jiwaku yang papa. Saat itulah aku mendengar suara ini, “Putri-Ku,
semua kepapaanmu sudah hangus dalam nyala cinta-Ku, iabarat satu tunas kecil
yang sudah hangus dalam api yang berkobar-kobar. Dengan merendahkan dirimu
dengan cara ini, engkau menarik seluruh samudra kerahiman-Ku kepada dirimu
sendiri dan kepada jiwa-jiwa lain.” Aku menjawab, “Yesus, bentuklah hatiku yang
papa ini seturut kesukaan ilahi-Mu.
(179) Selama masa probasi ketiga,
tugasku adalah membantu suster di vestiarium (ruang tempat menyimpan pakaian
para suster dan sekaligus ruang untuk menjahit). Tugas ini memberi aku banyak
kesempatan untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan. Kadang-kadang, aku harus
mengantar pakaian ke suster-suster tertentu tiga kali dan masih ada juga yang
tidak memuaskan mereka. Tetapi, aku juga mulai menyadari keutamaan-keutamaan
besar beberapa suster yang selalu meminta barang-barang yang paling sederhana
dari ruang itu. Aku kagum akan semangat kerendahan hati dan mati raga mereka.
(180) Ketika tiba Masa Adven, dalam
jiwaku muncul kerinduan yang membara akan Allah. Dengan sekuat tenaga, rohku
bergegas menuju Allah. Pada waktu itu, Tuhan memberiku terang cemerlang untuk
mengenal sifat-sifat-Nya.
Sifat pertama yang Tuhan
perkenalkan kepadaku adalah Kekudusan-Nya.
Tuhan itu sedemikian kudus sehingga segala Kuasa dan Kekuatan gemetar di
hadapan-Nya. Roh-roh yang murni menyelubungi wajahnya dan merunduk dalam
adorasi yang tak kunjung henti, dan hanya dengan satu kata mereka mengungkapkan
hormat yang paling tinggi, yakni Kudus. .... Kekudusan Allah dicurahkan ke atas
Gereja dan ke atas setiap jiwa yang hidup di dalamnya, tetapi dengan tingkat
yang berbeda-beda. Ada jiwa-jiwa yang sepenuhnya diilahikan oleh Allah, dan ada
juga yang hanya sekadar hidup.
Sifat kedua yang diberi tahukan
Tuhan kepadaku adalah Keadilan-Nya.
Allah itu sedemikian adil, dan keadilan-Nya meresap sampai ke lubuk hati segala
ciptaan sehingga di hadapan-Nya segala sesuatu tampak serba transparan, dan
tidak ada suatu pun yang dapat menyembunyikan sesuatu dari-Nya.
Sifat ketiga adalah Kasih dan Kerahiman. Dan aku memahami bahwa sifat Allah yang tertinggi adalah
kasih dan kerahiman. Sifat ini menyatukan ciptaan dengan Pencipta. Kasih yang
paling besar dan kerahiman yang paling dalam ini kukenal dalam penjelmaan Sang
Sabda dan dalam penebusan [umat manusia], dan di sinilah aku menyadari bahwa
inilah sifat Allah yang paling tinggi.
(181) Hari ini, aku membersihkan
kamar salah seorang suster. Meskipun aku berusaha membersihkannya dengan sangat
saksama, ia terus menerus mengawasiku dan berkata, “Di sini ada debu, di situ ada noda.” Menanggapi setiap celaannya,
aku membersihkan tempat-tempat itu sampai belasan kali sekadar untuk memuaskan
dia. Bukanlah pekerjaannya yang membuat aku letih, tetapi semua tuntutannya
yang bawel dan keterlaluan. Kemartiranku sepanjang hari rupanya belum cukup
baginya sehingga suster itu pergi kepada Suster Pembimbing dan mengeluh, “Muder, siapa suster yang tanpa peduli ini?
Ia tidak tahu bagaimana bekerja dengan cepat!” Hari berikutnya, aku pergi
lagi melaksanakan tugas yang sama, tanpa berusaha menjelaskan diriku. Ketika ia
mulai mendesak aku, aku berpikir, “Yesus,
orang dapat menjadi martir dengan tetap diam; tenagaku tak berkurang karena
pekerjaan, tetapi karena kemartiran ini.”
(182) Aku tahu bahwa sejumlah orang
memiliki bakat istimewa untuk menyakiti orang lain. Mereka berusaha sekuat
mungkin untuk mencobai kamu. Jiwa malang yang jatuh ke dalam tangan mereka akan
serba salah; usaha-usahanya yang paling baik pun dikritik dengan penuh dengki.
Malam Natal.
Hari ini, aku bersatu erat dengan
Bunda Allah. Aku merasakan perasaan-perasaan batinnya. Pada petang hari sebelum
upacara pemecahan oplatek (sejenis
pengenan tipis yang dibuat dari tepung gandum dan air), aku pergi ke kapel
untuk berbagi oplatek, dalam roh,
dengan orang-orang yang kucintai, dan aku minta kepada Bunda Allah rahmat bagi
mereka. Rohku sepenuhnya terbenam di dalam Allah. Dalam Misa Malam [bernama Pasterka, yaitu Misa Para Gembala], aku
melihat Kanak-kanak Yesus di dalam Hosti, dan rohku terbenam di dalam Dia.
Meskipun Ia itu Anak yang kecil, keagungan-Nya meresapi jiwaku. Aku sungguh
diresapi oleh misteri ini. Inilah perendahan diri yang luar biasa dari pihak
Allah, penghampaan diri yang tak terselami. Perasaan-perasaan ini terus hidup
di dalam jiwaku sepanjang pesta Natal. Oh, kita tidak akan pernah memahami
perendahan diri yang luar biasa dari pihak Allah ini; semakin aku
memikirkannya, ...[permenungan tidak
dilanjutkan].
(183) Pada suatu pagi sesudah
komuni kudus, aku mendengar suara ini, “Aku ingin agar engkau menemani Aku apabila
Aku pergi mengunjungi orang sakit.” Aku menjawab bahwa aku sangat
senang, tetapi sesudah merenung sejenak aku mulai bertanya-tanya bagaimana aku
akan melakukannya; para suster kelompok kedua tidak mendapat tugas mendampingi
pelayanan komuni kepada orang sakit. Selalu suster anggota kelompok pembimbing
yang pergi untuk pelayanan ini. Aku berpikir dalam hati: Yesus akan menemukan
jalan keluar. Tidak lama kemudian, Muder Rafaela memanggilku dan berkata, “Suster, engkau harus menemani Tuhan Yesus
apabila imam pergi mengunjungi orang sakit.” Dan selama masa probasiku,
akulah yang membawa lilin bernyala, menyertai Tuhan, dan ibarat seorang ksatria
Yesus, aku selalu berusaha memperlengkapi diriku dengan ikat pinggang besi
sebab tidak cocoklah mendampingi Raja dalam busana harian saja. Dan, aku
mempersembahkan mati raga ini untuk orang sakit.
(184) Jam Kudus. Selama ibadat Jam
Kudus ini, aku berusaha merenungkan sangsara Tuhan. Hatiku dipenuhi dengan
sukacita, dan tiba-tiba aku melihat Kanak-kanak Yesus. Tetapi, keagungan-Nya
meresapi diriku sedemikian rupa sehingga aku berkata, “Yesus, Engkau sedemikian kecil, tetapi aku tahu bahwa Engkau adalah
Pencipta dan Tuhanku.” Dan Yesus menjawabku, “Benar, dan Aku menyertai engkau
sebagai seorang anak untuk mengajarkan kepadamu kerendahan hati dan
kesederhanaan.”
Aku menghimpun segala penderitaan
dan kesulitanku menjadi suatu buket bagi Yesus untuk hari pertunangan abadi kami.
Tidak ada suatu pun yang sulit bagiku apabila aku ingat bahwa semua itu untuk
Mempelaiku sebagai bukti dari cintaku kepada-Nya.
(185) Keheninganku bagi Yesus. Aku
berusaha menciptakan keheningan yang dalam bagi Yesus. Di tengah hiruk pikuk
yang paling bising, Yesus selalu menemukan keheningan di dalam hatiku meskipun
kadang-kadang hal ini menuntut banyak pengurbanan dariku. Tetapi, apakah yang
dapat dianggap terlalu besar bagi Yesus, bagi Dia yang kucintai dengan segenap
kekuatan hatiku?
(186) Hari ini, Yesus berkata
kepadaku, “Aku ingin agar dengan lebih mendalam engkau mengenal cinta yang
berkobar-kobar dalam Hati-Ku bagi jiwa-jiwa, dan engkau akan memahami hal ini
apabila engkau merenungkan Sengsara-Ku. Serukanlah kerahiman-Ku bagi
orang-orang berdosa; Aku merindukan keselamatan mereka. Apabila, dengan hati
yang remuk redam dan dengan iman yang kuat, engkau mendaras doa ini atas nama
seorang berdosa, Aku akan memberikan rahmat pertobatan kepadanya.”
(187) Inilah doanya: O Darah dan Air
yang memancar dari Hati Yesus sebagai sumber kerahiman, Engkau andalanku.
(188) Pada hari-hari terakhir dari
pesta karnaval ketika sedang melaksanakan ibadat Jam Kudus, aku melihat betapa
Tuhan Yesus menderita tatkala Ia sedang didera. Oh, siksaan yang sunggh tak
terselami! Betapa hebatnya penderitaan Yesus ketika Ia didera! Hai, kamu
orang-orang berdosa yang malang, pada hari pengadilan nanti bagaimana kamu akan
menghadapi Yesus yang sekarang kamu siksa dengan begitu kejam? Darah-Nya
mengalir ke tanah, dan di beberapa bagian tubuh, daging-Nya mulai berjatuhan.
Di punggung-Nya, aku melihat beberapa tulang sudah tanpa daging. Yesus yang
lembut merintih lirih dan mengeluh.
(189) Sekali peristiwa, Yesus
menyadarkan aku betapa menyenangkan hati-Nya suatu jiwa yang dengan setia
mematuhi peraturan [biara]. Jiwa akan menerima ganjaran yang lebih besar karena
mematuhi peraturan daripada karena pertobatan dan mati raga-mati raga yang
berat. Tobat dan mati-raga juga akan diberi ganjaran kalau semua ini
dilaksanakan demi dan dengan mengutamakan peraturan, tetapi tidak akan diganjar
kalau mereka mengabaikan peraturan.
(190) Pernah dalam suatu adorasi,
Tuhan meminta agar aku menyerahkan diri kepada-Nya sebagai suatu persembahan,
dengan menanggung sejumlah penderitaan sebagai penyilihan, bukan hanya untuk
dosa-dosa dunia pada umumnya, tetapi khususnya untuk pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan di dalam komunitas ini. Serta merta aku berkata, “Baik, aku
siap!” Namun, Tuhan Yesus memperlihatkan kepadaku apa yang harus kuderita, dan
dalam sekejap seluruh penderitaan terbentang satu per satu di depan mataku.
Pertama, maksud-maksud baikku tidak akan dipahami; akan muncul segala macam
kecurigaan dan ketidakpercayaan dan juga berbagai penghinaan serta
kesengsaraan. Aku tidak akan menyebutkan segalanya di sini. Semua penderitaan
itu membentang di hadapan mata jiwaku seperti awan yang gelap gulita; dari sana
setiap saat halilintar siap menyambar, hanya menunggu persetujuanku. Sejenak,
sedari kodratku aku merasa takut. Kemudian, tiba-tiba bel makan malam berbunyi.
Aku meninggalkan kapel, gemetar dan bingung. Tetapi pengorbanan itu terus
menerus terpampang di hadapanku karena aku belum memutuskan untuk menerimanya,
atau menolak Tuhan. Aku ingin
menempatkan diriku sepenuhnya dalam kehendak-Nya. Kalau Tuhan Yesus
sendiri menimpakan penderitaan itu atas diriku, aku siap. Tetapi, Yesus
memberitahukan kepadaku bahwa aku sendiri harus memberikan persetujuan bebasku
dan menerimanya dengan penuh kesadaran; kalau tidak, semua itu akan sia-sia.
Seluruh maknanya ada dalam keputusan bebasku di hadapan Allah. Tetapi, pada
saat yang sama, Yesus membuatku paham bahwa keputusan itu sepenuhnya ada di
dalam kekuasaanku. Aku dapat menerima atau menolaknya. Maka, dengan serta merta
aku menjawab, “Yesus, aku menerima segala
sesuatu yang ingin Kausampaikan kepadaku; aku percaya akan kebaikan-Mu.” Pada
saat itu, aku merasa bahwa dengan keputusan ini aku sangat memuliakan Allah.
Ttetapi, aku mempersenjatai diriku sendiri dengan kesabaran. Begitu
meninggalkan kapel, aku sudah harus berhadapan dengan kenyataan. Aku tidak mau
melukiskannya secara rinci, tetapi beratnya sebatas aku mampu menanggungnya.
Aku tidak akan mampu menanggung lebih dari itu meskipun hanya satu tetes lagi.
(191) Pada suatu pagi, aku
mendengar suara ini dalam jiwaku, “Pergilah kepada Muder Jenderal dan katakan
kepadanya bahwa hal yang terjadi dalam komunitas ini dan komunitas itu tidak
berkenan di hati-Ku.” Aku tidak dapat menyebutkan masalah apa dan
komunitas mana yang dimaksud, tetapi aku sungguh memberitahukannya kepada Muder
Jenderal, meskipun itu menuntut pengurbanan sangat berat dariku.
(192) Pernah, aku mengalami sendiri
suatu cobaan mengerikan yang akan menimpa salam seorang siswi kami di komunitas
Warsawa. Ia tergoda untuk bunuh diri. Selama tujuh hari aku menderita; dan
sesudah tujuh hari, Yesus memberinya rahmat yang ia minta, dan sesudah itu
penderitaanku pun berhenti. Itu sungguh penderitaan yang sangat berat. Aku
sering mengalami sendiri siksaan yang seharusnya menimpa para siswi kami. Yesus
mengizinkan aku mengalami hal ini, dan demikian juga bapak pengakuanku.
(193) Hatiku adalah tempat kediaman
permanen bagi Yesus. Tidak seorang pun dapat menghampirinya kecuali Yesus. Dari
Yesuslah aku menimba kekuatan untuk berjuang melawan kesulitan-kesulitan dan
orang-orang yang menentangku. Aku ingin diubah menjadi seperti Yesus supaya aku
mampu menyerahkan diriku sepenuhnya bagi jiwa-jiwa. Tanpa Yesus, aku tidak akan
menghampiri jiwa-jiwa sebab aku tahu siapakah aku dari diriku sendiri. Aku
menyerap Allah ke dalam diriku supaya aku dapat memberikan jiwa-jiwa kepada
Allah.
(194) 27 Maret. Aku ingin berusaha,
bekerja dan menghampakan diriku sendiri demi menolong jiwa-jiwa yang kekal.
Tidak menjadi masalah kalau usaha-usaha ini harus memperpendekkan hidupku;
hidupku bukan lagi milikku, tetapi milik Kongregasi. Aku ingin bermanfaat bagi
seluruh Gereja dengan menjadi taat kepada Kongregasiku.
(195) O Yesus, hari ini jiwaku
seolah-olah menjadi gelap gulita karena penderitaan. Tidak ada satu berkas
sinar pun. Badai sedang menerpa, dan Yesus sedang tidur. O Guruku, aku tidak
ingin membangunkan Engkau; aku tidak akan mengganggu tidur-Mu yang nyenyak. Aku
percaya bahwa tanpa kuketahui, Engkau menguatkan aku.
O Roti Hidup, selama jam-jam yang
panjang aku menyembah Engkau di tengah kegersangan berat yang menimpa jiwaku. O
Yesus, Kasih yang murni, aku tidak membutuhkan penghiburan; oleh kehendak-Mu,
aku disegarkan, o Yang Mahakuasa! Kehendak-Mua adalah tujuan hidupku. Aku
merasakan bahwa seluruh dunia melayani aku dan bergantung kepadaku. Engkau,
Tuhan, memahami jiwaku dengan segala aspirasinya.
Yesus, apabila aku sendiri tidak
dapat melambungkan madah cinta bagi-Mu, aku mengagumi nyanyian para Serafim,
yang sedemikian Kaucintai. Aku inigin membenamkan diriku sendiri di dalam Dikau
seperti mereka. Kasih yang demikian tak dapat dibendung sebab tiada kekuatan
yang berkuasa atasnya. Ia ibarat halilintar yang memecahkan kegelapan, tetapi
tidak tinggal di dalam kegelapan itu. O Guruku, bentuklah jiwaku menurut
kehendak-Mu dan menurut rancangan-rancangan abadi-Mu.
(196) Ada orang yang tampaknya
merasa mendapat tugas untuk menguji keutamaanku dengan segala macam cara. Pada
suatu hari, ia menghentikan aku di lorong dan mulai dengan berkata bahwa ia
tidak mempunyai alasan untuk mempersalahkan aku. Tetapi, ia menyuruh aku
berdiri di seberang kapel kecil selama setengah jam dan menunggu Muder Superior
yang akan lewat di situ sesudah rekreasi; dan aku disuruhnya mengaku salah atas
berbagai hal yang telah ia katakan kepadaku. Memang, aku tidak mempunyai
gambaran apa-apa mengenai semua itu di dalam jiwaku. Tetapi, aku taat dan
menantikan Muder Superior selama setengah jam penuh. Setiap suster yang lewat
memandang aku dengan menyeringai. Ketika aku mengakui kesalahan-kesalahanku di hadapan
Muder Superior ia mengirim aku kepada bapak pengakuanku. Ketika aku
melaksanakan pengakuan dosa, imam langsung melihat bahwa semua ini tidak keluar
dari jiwaku sendiri dan bahwa aku tidak mungkin memiliki ide gila seperti itu.
Ia merasa sangat heran bahwa orang itu berani mengambil sendiri wewenang untuk
memberikan perintah-perintah seperti itu.
(197) O Gereja Allah, engkau adalah
bunda yang paling baik, hanya engkau yang dapat membesarkan jiwa dan membuatnya
berkembang. Oh, betapa besarnya cinta dan hormatku bagi Gereja, bunda yang
terbaik itu!
(198) Pada suatu hari, Tuhan
berkata kepadaku, “Putri-Ku, kepercayaan dan cintamu menghambat keadilan-Ku; Aku tak
dapat menjatuhkan hukuman karena engkau menghalangi Aku berbuat demikian.”
O, betapa besarnya kekuatan jiwa yang penuh dengan kepercayaan!
(199) Ketika aku merenungkan kaul
kekalku dan Allah yang ingin menyatukan diri denganku, selama berjam-jam aku
tenggelam dalam ingatan akan Dia. Bagaimana ini dapat terjadi; Engkau adalah
Allah dan aku.... aku adalah ciptaan-Mu. Engkau, Raja yang abadi dan aku,
seorang pengemis dan seorang hina! Tetapi sekarang semuanya menjadi jelas
bagiku; rahmat-Mu dan cinta-Mu, o Tuhan, telah menimbun jurang yang memisahkan
Engkau, ya Yesus, dan aku.
(200) O Yesus, betapa dalamnya jiwa
terluka ketika ia selalu berusaha bersikap tulus, tetapi ada yang menuduhnya
bersikap munafik dan tidak mau mempercayainya. O Yesus, Engkau juga menderita
seperti ini untuk menjadi penyilihan bagi Bapa-Mu.
No comments:
Post a Comment