Tuesday, February 9, 2016

TELADAN KESEMPURNAAN KRISTIANI


            Spiritualitas Sr. Faustina berlandaskan misteri iman kita yang paling indah; misteri itu berbicara mengenai kasih kerahiman Allah kepada masing-masing manusia. Suster Faustina - dengan menuruti pedoman Konstitusi hidup membiara - sering merenungkan apa yang dilakukan Allah bagi manusia pada saat penciptaannya, apa yang diderita oleh Allah demi keselamatan kita, harta apa yang ditinggalkan-Nya bagi kita dalam Gereja yang kudus, dan apa yang disiapkan-Nya bagi kita dalam kemuliaan ilahi. Gema perenungan itu terdapat dalam Buku Harian yang berbicara mengenai kebaikan Allah dalam karya penciptaan (BH, 1749), dalam penciptaan para malaikat (BH, 1741-1742) dan manusia (BH, 1743-1744), dalam misteri penjelmaan dan kelahiran Putra Allah (BH, 1745-1746) serta dalam karya penebusan (BH, 1747-1748). Suster Faustina merenungkan misteri-misteri kerahiman ilahi bukan hanya berdasarkan teks-teks Kitab Suci, tetapi juga dengan membaca kitab kehidupan. Renungan-renungan tentang kerahiman ilahi yang demikianlah mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada sesaat pun tanpa kerahiman ilahi; kerahiman ilahi itu adalah bagaikan benang emas yang terjalin dengan semua saat keberadaan kita.
            Pengenalan misteri iman itu mengantarkan Sr. Faustina kepada kemampuan menemukan Allah dalam jiwanya. “Lubuk jiwaku laksana suatu dunia yang luas dan indah; di sana Allah dan aku hidup bersama. Selain Allah, tidak seorang pun diizinkan masuk ke dalamnya” (BH, 582). Suster Faustina membandingkan jiwanya dengan tabernakel, tempat Hosti yang hidup tersimpan. “Aku tidak mencari kebahagiaan di luar batinku sendiri karena di sinilah Allah bersemayam,” tulisnya dalam Buku Harian. “Aku bersukacita bahwa Allah bersemayam di dalam diriku; di sini aku senantiasa tinggal bersama Dia; di sinilah aku mengalami hubungan yang paling mesra dengan Dia; di sini aku merasa aman karena tinggal bersama-Nya; inilah tempat yang tidak dilihat oleh mata insani. Perawan Tersuci mendorong aku untuk bersatu dengan Allah dengan cara ini” (BH, 454). Kontemplasi Allah yang hidup di dalam jiwa ditopang olehnya dengan usaha tetap dan setiap hari, yang intinya ialah bersatu dengan Yesus melalui suatu doa pendek atau dengan mempersembahkan kepada-Nya apa yang sedang dialaminya (kerja, penderitaan, sukacita).
            Pengenalan misteri kerahiman ilahi membangkitkan dan menumbuhkan dalam jiwanya sikap berharap akan Tuhan Allah dan sekaligus keinginan untuk mengukir sifat ilahi itu di dalam hatinya sendiri dan dalam tindakan belas kasihan terhadap sesama. Tuhan Yesus, yang membimbing hidup rohaninya secara langsung, menuntut dari Sr. Faustina sikap yang demikian terhadap Allah dan sesama manusia. “Putri-Ku, kalau melalui engkau Aku minta agar manusia menghormati kerahiman-Ku, hendaknya engkau menjadi orang pertama yang unggul dalam harapan kepada kerahiman-Ku ini. AKu minta agar engkau melaksanakan perbuatan-perbuatan kerahiman, yang harus muncul dari kasih kepada-Ku. Kapan saja dan di mana saja, engkau harus mengamalkan belas kasihan kepada sesama. Engkau tidak boleh menghindarinya atau berusaha mencari-cari dalih untuk membebaskan diri darinya (BH, 742).
            Pengharapan bagi Sr. Faustina tidak searti dengan suatu perasaan suci, atau suatu penerimaan kebenaran iman dengan akal budi, tetapi keseluruhan pola hidup manusia di hadapan Tuhan Allah, yang menyatakan dirinya dalam melaksanakan kehendak ilahi yang tercakup dalam perintah-perintah, tugas-tugas harian, atau dalam ilham-ilham Roh Kudus yang telah dipahami. Orang yang mengenal misteri kerahiman ilahi tahu betul bahwa Allah selalu menghendaki kebaikan manusia dalam perspektif kekekalan; karena itulah ia menerimanya sebagai pemberian dan dengan penuh harapan. “Ada satu kata yang aku perhatikan dan terus menerus aku renungkan; kata itu adalah kehendak kudus Allah. Ia adalah makananku sehari-hari. Seluruh jiwaku mendengarkan dengan penuh perhatian kepada kehendak Allah. Aku selalu melakukan apa yang diminta Allah dariku meskipun naluriku sering kali gemetar dan aku merasakan bahwa kebesaran hal-hal ini melampaui kekuatanku” (BH, 652).
            Pengharapan (“Engkau andalanku!”) dalam spiritualitas Sr. Faustina menjadi gambaran relasinya dengan Allah, sedangkan kata “belas kasih” menunjukkan sikapnya terhadap manusia yang lain. Sumber, contoh, dan motivasi untuk berbelas kasih terhadap manusia ialah kerahiman ilahi. Inilah sebabnya belas kasih secara amat jelas berbeda dari sikap memberi secara alamiah dan berbeda sekali dari filantropi yang bisa beragam motivasinya. Suster Faustina menangkap keindahan dan kebesaran belas kasih kristiani yang mengambil bagian dalam kerahiman ilahi; itulah sebabnya ia ingin memancarkannya. “O Yesusku” - ia berdoa - “setiap orang kudus-Mu memancarkan salah satu keutamaan-Mu; aku ingin memancarkan hati-Mu yang pemurah, penuh kerahiman; aku ingin memuliakannya. Biarlah kerahiman-Mu, O Yesus, tercetak dalam hatiku dan dalam jiwaku ibarat suatu meterai, dan ini akan menjadi lencanaku dalam kehidupan yang sekarang dan yang akan datang” (BH, 1242). Dalam menunjukkan belas kasihan, ia mengikuti Yesus sampai salib; di situ ia mengorbankan hidupnya; di situ ia mengurbankan hidupnya demi kehidupan orang-orang berdosa, terutama jiwa-jiwa yang terancam keselamatannya.
            Spiritualitas Sr. Faustina mempunyai pula ciri kecintaan pada Gereja sebagai Bunda terbaik dan Tubuh Mistik Kristus, karisma pendekatan misteri kerahiman ilahi melalui perkataan, perbuatan dan doa, khususnya doa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga kecintaan pada Ekaristi dan devosi tulus kepada Bunda Allah Kerahiman.

            Di sekolah spiritualitas Sr. Faustina, orang dapat mengenali misteri kerahiman ilahi, belajar kontemplasi Allah dalam hidup sehari-hari, melatih diri dalam sikap penuh pengharapan terhadap Tuhan Allah dan berbelas kasih terhadap sesama, menghayati relasi dengan Yesus dalam Ekaristi dan dengan Bunda Maria. Inilah spiritualitas yang sangat dalam berakar dalam Injil, dan sekaligus mudah dan mungkin dipraktikkan dalam setiap jenis panggilan dan lingkungan; itulah alasannya spiritualitas ini menarik begitu banyak orang pada masa kini.

No comments:

Post a Comment